4 - Bukan Anak Tiri

3.2K 256 1
                                    


Tahun 2015

"Hei, kita satu kelompok. Nama kamu siapa?"

"Elvina. Kamu?" Kedua mata itu berbinar saat melihat wajah di depannya dengan jelas.

"Rivan Dewanata. Aku da--... ... ..."

Suara itu mendadak melambat di telinga Elvina dan tiba-tiba ia tak bisa mendengar yang pemuda itu katakan. Ia fokus pada mata almond pemuda itu, lalu pandangannya menyusuri hidungnya yang proporsional dengan wajahnya. Terakhir pandangannya mendarat di bibir yang tampak sangat manis saat tersenyum.

"Kamu asli sini?"

"Apa? Maaf."

"Ehem. Kamu asli sini?" Tanya Rivan sekali lagi. Elvina mengangguk dan tersenyum, "Wah bagus dong.. Kapan-kapan ajak aku keliling kota ya hehe.. Sebagai pendatang, aku merasa kesulitan tinggal disini."

"Oh gampang itu..." Jawab Elvina seraya mengedipkan sebelah matanya pada Rivan.

Kali ini Rivan yang dibuat terdiam oleh kedipan mata yang bulat itu. Bulu mata panjang nan lentik mempercantik keberadaan keduanya. Rambutnya yang tertiup angin, menghilangkan konsentrasinya. Hidung gadis itu yang mancung dan bibirnya tipis seperti bibir bayi membuatnya bertanya-tanya, apakah gadis di hadapannya benar-benar manusia atau bidadari yang lupa kembali ke kahyangan.

"Hei.." Elvina mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Rivan. Pemuda itu serba salah. Mereka tertawa.

Rivan adalah teman satu-satunya di jurusan yang dekat dengannya. Semenjak kuliah dimulai, ia jarang bertemu dengan Deasy, karena kesibukan masing-masing. Sejak pertemuan di air mancur taman universitas itu, Elvina dan Rivan sering bertemu dan saling mengisi satu sama lain.

"Seneng banget kayaknya, Vin?" Tanya Zafrina tiba-tiba melihat kakak tirinya datang dengan wajah yang sumringah. Tidak seperti biasanya.

"Sopan sedikit. Bagaimanapun aku ini kakakmu."

"Cih."

"Siapa sih yang didik kamu untuk gak sopan gitu?" Elvina melotot pada adiknya.

"Aku. Masalah apa sama kamu? Tahu apa kamu soal mendidik anak? Gak usah bicara soal kegagalanku mendidik Zafrina. Kamu produk gagal didikanku yang pertama." Potong sang ibu yang datang tiba-tiba.

"Setidaknya aku lebih sopan pada orang yang lebih tua."

"Seperti sekarang?"

"Kan mama yang mengajariku." Jawab Elvina sambil meniti tangga. Tak memedulikannya.

"Anak sialan!"

Brak! Elvina membanting pintu.

"Mama, lihat aku gambar Doraemon dan Nobita..." Elvina yang berusia enam tahun itu bahagia dengan hasil karyanya di tangan.

"Kamu gak lihat mama lagi sama dede bayi??"

"Mei, Vina juga anakmu.. Dia juga butuh perhatian dari kamu." Ujar ibu tua itu.

"Ibu benar, Mei..." Timpal Daniel.

"Ibu bawa saja dulu, Vina. Biar Vina tinggal dengan ibu dulu, kalau ibu kasihan." Jawab Mei. Elvina kecil yang mendengar itu, matanya berkaca-kaca. Baris kalimat itu terekam sangat jelas di dalam otak Elvina, hingga ia dewasa.

Sejak hari itu ia tinggal bersama neneknya di pedesaan dan kembali ke rumah itu saat masuk sekolah menengah pilihan ibunya. Sejak SMA ia diberitahu ibunya bahwa ia dilarang jatuh cinta dan memiliki pacar. Elvina berusaha keras mengikutinya dan menjadi anak yang penurut. Banyak anak laki-laki yang menyukainya, tapi ia berhasil menolaknya. Lama-kelamaan ia meragukan alasan yang dikemukakan ibunya tentang hal tersebut. Elvina tak pernah tahu rencana perjodohannya saat itu.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang