Titik Temu

702 28 4
                                    

"Muka kok ditekuk gitu, kenapa Bin.?"

Yuli menghela nafas pelan, tak biasanya Bintang bersikap murung.

"Udah liat pengumuman Yul.?" Bintang bertanya ke Yuli yang tengah menatapnya penasaran.

Yuli yang sadar akan hal itu mengerti kenapa Bintang bersikap demikian. Ia juga tak tahu harus merespon apa jika sahabatnya itu sudah murung. Yuli tau Bintang, ia sudah bersama Bintang sejak SMP.

"Nonton basket aja, gimana.?" Tanya Yuli berusaha membujuk.

"Nggak.! Palingan kamu pengen liat ketuanya kan.?"

"Bintang, orang ganteng memang untuk dinikmati. Ayo?!"

Yuli menarik paksa lengan Bintang. Ia tau betul kalau sahabatnya itu tak suka dengan hal yang berbaur olahraga. Jika disuruh memilih, Bintang akan memilih duduk bersama tumpukan buku dibanding lari 10 meter. Bintang benci bergerak.

Sebelum ke lapangan, Bintang menemani Yuli untuk membeli sebotol air, tak lupa juga ia beli untuk dirinya. Mereka duduk terpisah karena memang tempat kosong tersisa sedikit. Yuli memilih untuk duduk di tengah, sementara Bintang memilih duduk paling ujung.

"Pasti liatin ketuanya, kan?"

Bintang melirik ke sekelilingnya. Ia yang berada tepat di samping cowok itu, tapi Bintang mengeacuhkannya karena ia tak mengenal cowok tersebut.

"Kalau di tanya nyahut, dek!" Ujar pria tersebut.

Bintang yang mendengar embel-embel "dek" segera berbalik menatap pria itu.

"Maaf, saya.?" Tanyanya ragu.
"Iya kamu, Bintang.!"

Bintang tak tahu kenapa cowok tersebut bisa mengetahui namanya, bahkan nametag Bintang tak terlihat karena terbalut hijab.

"Kenapa bisa tau.?" Tanya Bintang pelan.

"Seorang ketua osis harus tau murid-murid di sekolah ini."

Bintang semakin heran, pasalnya Bintang memang tak tahu siapa yang sedang menjabat sebagai ketua osis. Waktu pemilihanpun ia tak sempat hadir karena beberapa halangan.

"Maaf kak ketua osis, Bintang tidak tau itu kakak." Katanya sopan.

"Panggil Ansel aja.!"

Bintang merasa canggung berada di dekat Ansel, hidung mancung milik Ansel membuat Bintang tak bisa menatap fokus pertandingan. Hingga ia tak sadar seorang pria tinggi tengah menghampirinya.

Pria tersebut dengan senonoh menyambar sebotol air yang belum Bintang sentuh. Seisi lapangan teriak kecewa, bahkan Bintang tak tau kenapa semua orang berteriak  frustasi.

"Kenapa liatin gw? Emang ini air buat gw kan.?" Kata pria tersebut, sadar mendapat tatapan aneh dari Bintang.

"Itu air Bintang. Bintang beli itu buat Bintang sendiri.!" Ucap Bintang sebal.

"Ck. Lo harusnya bersyukur gw ngambil air lo. Nggak liat lo, ada berapa banyak orang yang nunggu gw buat minum airnya.?!" Pria tersebut membentak Bintang.

Bintang hanya bisa pasrah, ia bisa membeli lebih banyak air. Tapi bagi Bintang sopan santun juga penting.

"Udahlah Zabir.! Kasihan anak orang lo bentak. Nanti kakak beliin air yang baru, Bin.!" Ansel menepuk pelan pundak Bintang. Ia juga berusaha menenangkan Zabir yang emosinya kian meluap.

"Nggak usah kakak-kakaan deh di depan gw, jijik.!" Zabir mengembalikan botol air milik Bintang yang sudah dihabiskannya. Ia melangkah untuk kembali ke tengah lapangan.

Bintang yang merasa ingat akan suatu hal menarik lengan Zabir. Perlakuan Bintang ke Zabir lagi-lagi menghebohkan seisi lapangan.

"Kak. Bintang boleh minta diajarin olahraga sama kakak.?" Bintang menunduk malu, ia memang harus memohon pada Zabir agar nilai olahraganya meningkat.

Zabir yang mendengar, tersenyum miring ke arah Bintang. Ia mengakui kepopuleran dirinya dikalangan wanita. Bahkan Zabir tak pernah menyatakan cinta ke wanita, ia selalu didatangi para wanita yang menggilai seorang Ahmad Zabir.

"Pulang sekolah ke lapangan.!"

Bintang yang mendengar ucapan Zabir merasa senang. Jika disampingnya ada Yuli, mungkin ia akan memeluknya. Tapi tidak, di sampingnya itu seorang ketua osis.

"Kenapa minta diajarin Zabir, suka kan.?" Tanya Ansel.

"Nggak kak. Bintang aja baru tau namanya kak Zabir. Nilai olahraga bintang jelek, makanya Bintang mau belajar." Bintang berusaha menjelaskan karena ia memang tak tau Zabir, ia hanya tau ketua basket yang digilai banyak wanita.

Ansel menatap lekat ke arah Bintang, menggemaskan.

"Lain kali, kalau nonton basket nonton aja. Nggak usah bawa buku dulu dek!" Ansel mengambil buku yang dipegang Bintang. Ia sedari tadi memerhatikan Bintang yang tengah asyik membaca novel romansa itu.

Bintang mengangguk paham, ia juga tak tahu apa enaknya menonton pertandingan.

"Punya pacar.?"

Pertanyaan Ansel yang tiba-tiba membuat Bintang mengalihkan pandangan ke  pertandigan.

Ansel tersenyum melihat rona merah di pipi gadis itu. Ia beranjak pergi sebelum pertandingan usai.

"Kak.! Kak Ansel buku Bintang kak.!" Teriaknya di pinggir lapangan.

Ansel mendengar teriakan Bintang, namun ia tak peduli. Ansel terus berjalan menuju kelasnya, XII MIA 1. Di sisi lain, seseorang tak fokus bertanding. Mungkin karena suara Bintang yang terlalu cempreng.

"Kakakk ketua osis..! Kak Ansellll.!" Teriakan Bintang semakin keras.

Ansel mendadak menghentikan langkahnya, membuat Bintang menabrak tubuh tinggi milik Ansel.

"Teriaknya nggak usah kencang juga adikku, kakak bisa beliin yang lebih banyak."

"Bintang belum baca semuanya kak. Bintang harus habisin semua bab dari buku itu! Kalau hari ini Bintang nggak baca, Bintang penasaran ending ceritanya gimana. Atau gini deh kak Ansel bawa pulang, terus besok ceritaain ke Bintang, yah??" Bujuk Bintang.

Ansel sama sekali tak mengerti apa maksud gadis tersebut. Ia hanya memukuli jidat Bintang dengan novel setebal 200 halaman itu.

"Pulang sekolah barengan, kalau mau bukunya kembali!" Perintah Ansel.

"Ta-"

"Nggak ada penolakan adikku." Ansel menaruh jari telunjukknya ke bibir Bintang, sehingga Bintang bungkam.

Melihatmu membuat mataku takjub, jantungku masih biasa saja. Apa hanya kagum?-Bintang'
-
-
-
Jangan lupa di vote.!

Siapa kira-kira visualnya

Bintang?

Ansel?

Zabir.?

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang