See you, Bira

146 20 2
                                    

Masih di tempat yang sama dengan perasaan yang berbeda, pada orang yang berbeda pula. Bintang selalu yakin akan titipan semesta. Ia juga yakin, dirinya dan cintanya hanya titipan. Anak itu titipan untuk dijaga, sama seperti cinta. Namun bukan berarti kita semena-mena hanya karena sebatas titipan. Justru semesta tahu mana yang pantas diberi titipan dan mana yang tidak.

Bintang kini berada di pemakaman Langit. Mereka sempat meminta izin pada Bu Jamilah sebelum ke tempat ini.

Hai, Langit--

Hai, Senjaku.

Aku datang, gadis kecil pengecut.

Maaf.
Maaf karena memilih pergi.
Maaf karena tak sempat mengantarmu.

Hmm, aku yakin naluri mu itu kuat.

Kenapa?
Kau sempat menitip pesan padaku.
Kala itu kau juga tak bilang ingin balapan, biasanya kan bilang.

Jangan takut, yah?!
Jangan takut pada kegelapan, jangan takut karena kau pasti di surga.

Aku cemburu,
cemburu pada bidadari cantik di sana. Apa kau jadi rebutan mereka? Ah sudah pasti iya.

Terimakasih pernah menjadi alasanku untuk tetap hidup

Terimakasih pernah menjadi alasan aku tersenyum

Terimakasihku adalah bukti nyata, Bira adalah tempat nyata.

Langit saksinya, ombak iramanya dan burung-burung penghiasnya.

Merekalah yang tau, bahwasanya
Dahulu sebelum senja datang dan setelah pamit. Dua orang duduk santai, saling bercengkrama dan berbagi senyum.

Aku tahu, kita hanya sebatas saling, yang tak pernah benar-benar nyata.

Saling tersenyum, saling sayang. Tapi tak saling beriringan.

Semesta mencintaimu, aku juga.
Tapi cintanya semesta lebih besar dariku.

-Bintang Zanaya-


"Aku harap aku bisa menggantikanmu kak, tapi kurasa kau tetaplah Langit, dan aku Zabir." Ucap Zabir lirih, memegang batu nisan Langit.

Bintang menatap lekat makam itu, ia menangis tapi masih bisa menyeka air matanya. Di balik pohon, Azka juga menangis. Merutuki kebodohan dirinya.

Orang bilang, lebih baik diam. Tapi diam tak selalu baik.

"Besok kita sudah ke Bandung kak Ansel?" Tanya Bintang di sela-sela tangisnya.

"Belum. Ada dua pilihan tempat." Jawab Ansel menunuduk, memperhatikan nisan Langit. "Kau mau ke mana Bin? Malino atau Toraja?" Lantas Ansel duduk di tepi nisan, memungut dedaunan di sana.

"Malino aja kak." Balas Bintang sendu.

"Pasti pengen dipeluk aku kan?" Goda Zabir, berusaha menghibur Bintang.

"Kakak kok mikirnya gitu sih?!" Bintang mendorong pelan pundak Zabir, ia kesal. Namun tercetak senyum kecil di bibirnya.

"Malinokan dingin, kamu nggak bawa jaket. Pasti sengaja, kan?" Goda Zabir lagi.

"Lupa!"

"Lupa karena ada jaket yang bisa memberi kehangatan lebih."

"Pulang yuk? Malas aku lihat kak Zabir!" Bintang balas menggoda pria itu juga. Ia menarik lengan Rio yang berada di depannya. "Heh Rio!" Teriak Zabir yang ditinggal Bintang dan teman-temannya.

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang