Surat tanpa penerima

148 16 2
                                    

Aku sudah pergi, Senja.
Pergi dari Bira dan sampai ke sini
Aneh bukan? Orang pertama yang mengajakku ke Malino, itu kamu.
Pria pertama yang memberi tumpangan selain ayah, itu juga kamu.
Aku ingat,  ingat ketika kamu bilang "Kalau bajunya yang kamu pegang, jatuh nanti nggak ada aku. Tapi kalau tubuhku yang kau peluk, bukan jatuh, melainkan aman dan nyaman tentunya."  Modus kamu.

Cinta, rindu dan luka. Hanya satu kata, terdiri dari beberapa huruf saja. Tapi sulitnya mengalahkan rumus matematika. Bagiku yah, karena aku tak tahu matematika.

Apa salah, aku bilang cinta tapi dahulu kita hanya saling menjaga.
Apa salah, aku bilang ikhlas ketika hatiku masih ingin pulang.
Pulang pada rumahnya, pulang ke tempat ternyaman.

Aku punya Zabir, iya aku punya dia.
Tetapi, kau menyakitiku sekali dan selamanya. Namun Zabir,
Menyakiti pelan-pelan walaupun bukan selamanya.

Sekarang kutanya, sakit mana?

Sudahlah, ini pesan terakhirku untukmu, kuharap begitu.

Besok kembali ke Bandung, jangan ikut!
Lukamu, cintamu, semua tentangmu ingin kutinggalkan dengan baik.

Tolong, tolong yah Senja.
Beritahu ke Zabir, bilang kalau iya tak ingin Amanda atau siapapun. Dan bilang padanya, harus jelas.

Wanita itu juga butuh kepastian-

-Bintang Zanaya, surat tanpa penerima-

***


Masih di tempat yang sama, Malino. Suasana berbalut kabut tebal serta indahnya pohon pinus membuat semua orang enggan untuk kembali ke Bandung. Selain karena merasa damai, tugas yang diberikan juga belum terselesaikan.

"Duh Bin, gimana nih? Aku samasekali nggak mencatat satupun." Rengek Yuli.

"Yaudah" Balas Bintang acuh. Ia tak tahu harus bagaimana karena masalah datang silih berganti.

"Lo udah?" Yuli menutup pelan matanya, merasakan tangan Ansel yang menyentuh pipinya. Memberi kehangatan.

"Belum. Santai aja kali, palingan ada yang udah. Salin aja!"

"Lo bukan lagi Bintang yang dulu." Jawab Yuli, masih menutup mata dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

"Gw sadar Yul, peringkat itu hanya pengukur tapi bukan tolak ukur."

Seorang pria mengenakan hoodie berwarna biru datang membawa beberapa gelas teh hangat. Diletakkannya gelas-gelas itu di atas nakas berukuran sedang.

"Minum nih, buat yang jomlo!" Sindir Rio ketika melihat Yuli dan Ansel.

"Punya gw ama Yuli mana?" Ansel melirik tiga gelas teh yang dibawa Rio. Hanya tiga.

"Yang lo lakukan kurang memberi kehangatan?" Tanya Rio lagi dengan nada menyindir.

"Hm" Ansel hanya berdehem.

Bintang memerhatikan tiga gelas teh itu, ia berpikir sejenak.

"Kenapa ada tiga?" Tanya Bintang memegang salah satunya.

"Gw, Azka ama lo. Emang lo mau mati kedinginan?"

"Katanya buat yang jomlo, lo apa-apaan sih Yo!!" Bukan Bintang yang berucap, tetapi Yuli.

"Lah iya yah. Gw kan liat Zabir tadi lagi jalan-jalan ama si itu, kelas tetangga Bin."

Mereka sibuk mempermasalahkan teh hangat, tanpa memerhatikan Azka yang hanya diam. Seperti tak bernyawa lagi.

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang