Tentang Masa lalu

146 18 10
                                    

Tak sedikit manusia yang benci pada masa lalu, entah karena pernah disakiti, atau apapun itu. Masa lalu adalah hal yang tak bisa dilupakan karena kita pernah berjalan di masa itu.

Tentang masa sekarang, ini akan jadi masa lalu juga. Makanya perbaiki jika tak ingin berakhir seperti dulu.
Tapi yang namanya hidup seakan potongan-potongan puzzle yang empunya pun tak tahu ke mana perginya potongan itu, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat.

Bira-2017

"Kau hanya perlu diam!" Tegas pria itu.

"Ta-tapi yang kau lakukan sangat salah!!"

"Kau masih bocah, lagian kau tak akan pernah bisa jadi anggota RM jika masih Langit yang pegang!"

"Aku tidak mau membunuh!!"

"Kita tidak membunuh Denan, kau hanya perlu diam!"

Azka Denanda, pria yang masih duduk di bangku SMP, ia menyaksikan Rafael yang tengah mengotak-atik motor milik Langit. Azka yang masih kecil tak mengerti apa-apa. Ia sangat ingin bergabung dengan RM tapi Langit selalu melarangnya dengan alasan usia.

"Langit tak pernah ingin ke Bandung. RM juga tak akan beralih jika bukan aku ketuanya. Ini jalan satu-satunya!" Rafael berucap, tangannya masih lihai  membongkar motor yang akan dipakai langit nanti.

"Salahkan Langit yang membentuk Rem Monster, maka remnya pula yang akan membawanya pergi." Lantas Rafael merusak remnya. Ia masih dengan lihai memainkan motor milik Langit.

"Bagaimana kalau Langit lihat? Kau pembunuh Fel!!" Tegas Azka yang masih diam memperhatikan.

"Ini masih sore, dia pasti sama gadis kecilnya itu. Kita tak pernah membunuh Denan, motor Langit sendiri yang akan membunuh tuannya!!"

"Tetapi aku tidak mau! Kau hentikan Fel!!" Azka menahan lengan Rafael tapi pria itu dengan cepat menghempasnya.

"Setelah ini berakhir, RM akan ke Bandung. Jika kau merasa bersalah, kau lindungi saja adik Langit yang di Bandung. Atau kau gantikan posisi Langit untuk mencintai Bintang, gadis kecil itu."

"Aku mencintai Kia!" Tegas Azka memberi sedikit penekanan.

"Kalian itu kenapa sih! Jelas Langit lebih cocok dengan Kia yang seusianya. Kau bisa sama Bintang yang lebih muda darimu!" Pekerjaan Rafael telah selesai, ia membersihkan sisa oli yang ada di wajahnya.

Malam itu, setelah Senja di alam pamit. Langit bergegas ke markas, ia menerima tawaran Rafael. Langit ingin berhenti menjadi ketua dan kembali bersama keluarganya, menata masa depan agar bisa hidup bersama Bintang. Tapi Langit tahu, apa yang ia mulai harus diselesaikannya. Langit akan mundur jika ada yang mengalahkannya.

Hujan deras mengguyur tempat itu, tapi Langit dan Rafael bersikukuh ingin melanjutkan.

"Sedang hujan, jalanan licin!" Kia merasa khawatir.

"Tenang saja, kita mengendarai dengan aman, kan Rafael? Kalau gw jatuh, Rafael menang, gw ngaku kalah deh hehe" Langit tersenyum, ia akan senang jika Rafael bisa mengalahkannya.

Sementara di antara puluhan anggota RM yang menonton, Azka duduk menatap Langit yang masih setia tersenyum, ia bungkam.

One..
Two...
Three..

Go..!!!

Mereka tak punya tempat khusus, di tengah-tengah ramainya kendaraan berlalu lalang dan hujan yang mengguyur, Langit menancap gas meninggalkan Rafael yang jauh di belakang Langit. Tepat di perempat jalan, truk melintas. Langit berusaha menghentikan motornya, namun nihil.

Sreeeeeeetttt bugh

"Bawalah motorku ke adikku Zabir! Dan bilang pada orangtuaku, terutama ayah. Anakmu ini ,sudah bahagia. Jangan katakan apapun pada Bintang, biarlah semesta yang memberitahunya." Suara langit pelan, ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.

"Langit!! LANGIT BANGUNN!!! Bintang akan menunggumu sampai senja tenggelam.  Kau tahu kan, senja pamit tapi janji untuk kembali, gadis itu masih kecil untuk kau tinggal. BRENGSEK KAU, BANGUNNNN!!" Kia menyandarkan kepala langit di pangkuannya. Ia terus mengguncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

Ia sangat dekat pada Langit. Ketika pria itu bercerita tentang Bintangnya, Kia sangat tahu betul bagaimana Langit sangat menyayangi Bintang.

***

"Pa, kita harus menjemput Langit!" Mamanya Langit memberitahu ke suaminya itu. Ia merasa tak berdaya ketika mendengar kabar anaknya meninggal. Ia juga merasa bersalah membuat Langit pergi dan menjemputnya ketika hanya tubuh yang bisa dijemput.

"Tidak Ma! Anak itu harus meninggalkan hobinya dulu baru bisa ke sini! Dia membawa pengaruh buruk bagi adiknya, Zabir." Pratama, ayah Langit dan Zabir meneguk secangkir kopi hangat. Malam itu, hujan juga tengah mengguyur kota Bandung, meski tak selebat di kota Makassar.

"Dia tidak bisa lagi mempengaruhi Zabir. Anakku sudah tiada Pa. Kau jahat! Kau jahat! Aku ingin memeluk tubuh anakku, aku tak pernah memberinya kehangatan seorang ibu! Kau jahat, hiks." Wanita itu memukul keras dada bidang suaminya. Ia seperti kehilangan separuh hidupnya.

Tanpa mereka ketahui, seorang pria kecil bersembunyi di balik gorden, mendengar ucapan mereka.

"Kau jangan membohongiku! Candaanmu keterlaluan!" Pak Pratama meletakkan secangkir kopi di atas meja, ia menatap lekat istrinya yang tak berhenti menangis.

"Kau baru kehilangan saat anak kita benar-benar sudah pergi! Kau ayah yang tega Prata!!"

Zabir berlari menuju kamarnya, ia menangis melihat orang tuanya bertengkar, Zabir juga menangis karena hanya sepintas dalam hidupnya bertemu dengan Langit.

Sejak saat kecelakaan itu, Pratama memilih menghapus namanya dari nama Zabir, ia merasa gagal menjadi ayah. Selain itu, Pramata mendapat kabar buruk kalau dirinya mengidap penyakit kanker hati.

***

Gadis kecil berambut pendek duduk di tepi pantai, menatap air biru yang damai. Ia sesekali menyandarkan kepala ke batu, menatap birunya Langit. Ketika sinar mentari berubah senja, ia tersenyum. Gadis itu menunggu, ia menatap sekeliling. Senjanya belum datang.

Gadis itu memilih mencoba hal yang pernah di larang Langit. Bintang masuk ke dalam air, melangkah tertatih-tatih. Ombak kala itu menyambut baik dirinya. Ia mulai melangkah lebih dalam, saat kakinya tak sengaja menginjak terumbu karang, Bintang memilih mundur.

Kembali menyandar dan bermain bersama pasir putih. Hari itu benaknya tak pernah absen untuk memikirkan Langit.

Apa yang kau tangiskan? Omelan oma yang menyuruhmu kembali? Atau diriku yang kau harapkan?

Apa yang kau khawatirkan? Pergi meninggalkan tempat ini, atau pergi karena ditinggalkan?

Apa yang mengukir senyummu? Bisa menatap senja di langit Bira. Atau menatap senja bernama Langit?

Bintang menutup mata, ia bingung mengapa semesta terus menampakkan Langit dalam benaknya.

Saat Bintang telah tahu Langit sudah tertidur nyenyak, ia tak berniat membawa pria itu ke tempat terakhirnya. Hari di mana keluarga Langit datang mengubur jasad anaknya, ialah hari di mana Bintang melepas Langit dengan segala kenangannya. Ia menyelesaikan liburannya, yang awalnya berniat menetap di tempat itu, Bintang memilih mundur. Pulang pada rumahnya, meninggalkan seribu luka yang tak bisa ditemukan obatnya.

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang