Selamat Jalan

257 17 12
                                    

Sepoi-sepoi angin menelusup masuk ke ventilasi, Zabir dengan hoodie kesukaannya serta rambut acak-acakan bersiap kembali pulang ke rumahnya. Ia tak bisa satu atap dengan Bintang, gadis itu pada akhirnya merelakan Zabir.

"Kenapa di sini?" Tanya Mamanya terkejut, dengan secangkir kopi di tangan. "Yah, minum" lanjut mamanya.

Zabir tertawa ketika mendapati ayahnya yang sudah tak memiliki sehelai rambut pun " Papa kena razia? Sampai dibotakin gitu?" Tanya Zabir membekap mulut dengan tangannya, tak kuasa menahan tawa.

"Papamu kanker."

Bukannya berhenti tertawa, ia justru semakin mengeraskan tawanya. "Ah bercanda aja." Ucapnya enteng.

"Papa kanker nak. Maaf" Ujar sang Papa, meletakkan secangkir kopi di atas nakas. Ia menepuk sofa di sampingnya."Duduk dulu."

Zabir menurut, duduk di antara mama dan papanya. Dulu Bintang pernah bilang papanya kanker tapi ia menyangkal.

"Maaf yah nak, papa kanker." Ucap Papanya pelan.

Zabir meraih mama dan papanya ke dalam pelukannya. Ia menangis, menangisi hidupnya, menangisi takdir dan semesta yang bercanda gurau padanya.

"Kenapa semua orang harus meninggalkan Zabir?" Tanyanya semakin mempererat pelukan.

"Oh iya, Bintang mana?"
Merasa sesak, sang mama melepas pelukan Zabir. Ia meneliti sekeliling, calon menantunya tak menampakkan dirinya.

"Bintang menyerah."

Mama dan Papanya saling melempar tatap, mereka tak mau menanyakan banyak hal pada Zabir. Berita penyakit yang diderita papanya sudah cukup.

"Sejak kapan?" Tanya Zabir menatap nanar dinding-dinding.

".."

"Sejak kapan?"

"Sejak kakakmu pergi."

"Oh, makasih sandiwaranya. Ma, Pa."

Zabir melangkah masuk ke kamarnya. Tak peduli seberapa keras suara mama dan papanya yang memanggil.
Semua orang terlalu tak percaya padaku, sampai ada banyak hal yang tidak kuketahui. Batinnya.

"Zabir, buka pintunya sayang!!"

Tok tok tok

"ZABIR!!"

Suara ketukan pintu tak kalah nyaring dengan tangis yang hening itu. Ia menenggelamkan wajahnya pada jajaran bantal yang sudah tak tertata rapi.

"Biar mama bicara dulu, ya sayang?" Bujuk sang mama masih mengetuk-ngetuk pintu kamar Zabir.

"Zabir nggak lemah Ma. Kenapa Mama sama Papa nyembunyiin ini?" Tanya Zabir dengan nada serak.

"Mama nggak mau membebani mu. Buka dulu pintunya, ya?!"

"Makan dulu nak." Suruh sang papa juga ikut menunggu anaknya keluar dari kamar.

"MALASS!!" Teriak Zabir, ia memutar musik. Sengaja mengencangkan frekuensinya agar tangis serta teriakan orang tuanya tak terdengar.

***

"Bintang, tunggu!!"

Refleks Bintang berbalik, mendapati Amanda dengan pakain berantakan. Rambut gadis itu terikat asal. Bahkan Amanda tak mengenakan alas kaki.

Bintang tak peduli, ia segera menarik kopernya melangkah maju, menjauhi apartemen Zabir. Baginya, apartemen itu bukan lagi haknya.

"Tunggu!!" Cegah Amanda menarik koper Bintang.

"Jangan drama." Balas Bintang sinis.

"Gw nggak butuh Zabir!!"

"Gw udah kasih Zabir ke lo Amanda. Apa lagi huh?"

"Gw nggak mau Zabir juga ikut balapan Bintang!"

Bintang mengernyitkan alisnya, ia tak mengerti apa yang dimaksud Amanda.

"Malam ini Zabir mau ikut balapan, melawan Sky. Geng motor yang dibentuknya sendiri." Jelas Amanda ngos-ngosan, takut jika Bintang langsung melangkah pergi.

"??"

"Duh, ZABIR MAU IKUT BALAPAN!!" Teriak Amanda di kuping Bintang.

"Gw nggak tuli, Amanda."

"Jadi?"

"Nggak boleh. Hentiin, kan Zabir udah punya lo!"

"Enteng banget tuh mulut. Jangan gitu dong!"

"Terus?"

"Ih Bintang, kok nyebelin sih!!"

Bintang tak peduli dengan Amanda yang mengatainya menyebalkan. Tetapi Bintang benar-benar tak ingin jika Zabir harus bergabung dan bermain di jalanan.

"Cegah Amanda!! Gw nggak mau kehilangan Zabir." Ucao Bintang memelas.

"Lo sendiri kenapa kasih ke gw."

"Gw nggak tahan kalau bocah yang minta."

"Jadi??" Tanya Amanda lagi.

"Jadi?" Bintang ikut bertanya juga.

"Hentiin lah, geblek!!" Balas Amanda, mendorong pelan pundak Bintang.

***

"Bir, lo jangan ikut balapan." Cegah Azka yang melihat Zabir tengah memodifikasi motor Langit,kakaknya.

"Siapa lo? Lo cuma pem.bu.nuh." Bantah Zabir menekankan kata -pembunuh-

"Jangan pakai motor Langit!" Azka mendorong kasar tubuh Zabir agar menjauh dari motor itu. Ia tak ingin diam lagi.

"Kenapa? Lo apain motor ini?" Tanya Zabir tersenyum bak iblis.

"Gw- pokoknya jangan!" Larang Azka, ia kembali menutup motor Langit dengan kain hitam. Namun Zabir  dengan cepat menarik penutup itu. "Sudah saatnya motor ini gw pakai." Ucap Zabir juga mendorong tubuh Azka agar menjauh.

"Pikirin Sky. Untuk apa lo membentuk mereka kalau ujung-ujungnya lo juga yang bakal ngelawan mereka?" Azka kembali mencegah Zabir, pria itu tertawa.

"Ck, terserah gw. Minggir lo!"

Saat Azka ingin kembali menghentikan Zabir, terdengar suara tepukan tangan.

"Bagus bagus!" Ucap Rafael menepuk-nepuk pundak Zabir.

Sejujurnya Zabir benci, pria seperti Rafael berani memegangnya. Namun ini semua karena Bintang yang dengan mudah terperdaya kata-kata seorang anak kecil.

"Sejam lagi, anggota Sky datang bro!" Ujar Rafael yang membuat Azka menatap tak percaya padanya. "Mereka sudah tau, Zabir yang akan melawan mereka. Dan Ansel, ketuanya sendiri yang akan turun tangan." Lanjut Rafael, seakan mengerti maksud dari tatapan Azka.

Zabir bersiap-siap, memasang helmnya dan mengambil jaket yang tergelatak di kursi.

"Lo cuma modif motor ini doang?" Tanya Azka, sementara Zabir menghiraukannya. Ia tetap berkeliling di sekitar ruangan itu, untuk mempersiapkan apa yang harus di persiapkan.

***

"Sudah siap?" Tanya seorang perempuan dengan bendera kecil di tangannya. Zabir mengeratkan helmnya, matanya tak berhenti mencari sosok gadis yang dicintainya, Bintang.

"Penghianat Lo Bir." ucap Ansel juga ikut mengeratkan helmnya.

"Kemana gadis itu?" Batin Zabir.

Siapp

One

Two

Three



Go!!!!

"Minggir!!"

Pertandingan berlangsung, tiba-tiba..






Sreeetttttttt bughhhh



"ZABIRRR!!" Teriak Bintang yang baru saja tiba."

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang