Sekadar Mengharap

262 21 5
                                    


Aku rindu, apa rindu cukup untuk kuucap. Hanya satu kata yang tak bisa kuartikan. Ingin berharap lebih, tapi semesta memberontak. Memaki tak ada gunanya, kembalikan saja waktuku yang kau renggut dengan rinduku. Kian membara tapi tak terobati. Ingin bercerita, pada siapa? Apa semua manusia bisa menjadi tempat berbagi luka? Atau hanya memberi luka? Ah sudahlah. Semesta, sampaikan pada makhluk yang disebut manusia itu, aku sangat menyanginya, melebihi diriku.

***
Bintang menatap lekat lembaran-lembaran kertas yang berpadu jadi satu, buku vintage miliknya. Ia menarik nafas panjang, terlalu sulit untuk berbohong. Jujur juga sangat pahit.

"Aku itu tak suka banyak hal, tapi melihatmu melebihi dari kata suka, kuartikan dengan apa itu?"

Ia menutup mata, berusaha memutar memorinya kembali. Jika sama seperti memori ponsel, akan ia museumkan. Bisakah?

"Eh kamu kenapa ngelamun.?" Lamunanya buyar ketika mendapat teguran, untuk apa Zabir peduli.

"Nggak kok kak. Beban itu massanya berapa sih? Rasanya sangat berat untuk dipikul." Ucapnya lirih.

Air mata mengalir dari kedua pelupuk mata gadis itu, dengan sigap Zabir memberi tangannya. Zabir tau, tangan lelaki itu tak selembut tissue ataupun sapu tangan. Tapi tulusnya Zabir membuat senyum kecil terbentuk diwajah gadis itu meski hampir tak terlihat.

"Beban itu dibuang Bintang, jangan dipikul mulu. Buang sedikit demi sedikit. Bahagia selalu, ya.?" Zabir mengacak gemas hijab Bintang, membuat Bintang memelototinya.

"Makasih kak. Bintang harap kak Zabir juga bahagia." Ucapnya tersenyum tulus.

"Apa lagi yang kau harap.?" Tanya Zabir.

Bintang mengernyit heran, mengapa pria itu terlalu membuat otaknya berputar.

"Emm Bintang harap kakak bisa selalu menang main basket, kakak bisa lulus, sukses, jadi orang lebih baik lagi, aku mengharapkan yang terbaik buat kakak.!"

"Satu yang tidak perlu kau harap.!"

Mereka saling bertatapan
Bintang memicingkan matanya menatap Zabir, kata apa selanjutnya.

"Kau bisa berharap pada lingkunganku, tapi tidak dengan diriku.!"

"Kenapa kak.?"

"Kau bisa berharap aku jadi sukses, tapi jangan harap itu padaku. Kau mengerti? Berharap pada lingkunganku Bintang, berharplah lingkungan yang kutempati bisa merubah harapanmu menjadi nyata. Jika tak sesuai harapan kau tidak akan sakit, karena kau mengerti lingkunganku yang salah bukan aku. Tapi jika ke aku, tidak Bintang. Jangan pernah berharap pada manusia.!"

Bintang tak mengerti, tapi ia tak bertanya sedikitpun. Mata Zabir sendu, lelaki itu terlalu kuat untuk menahan luka.

"Kenapa tak perlu berharap pada manusia.? Kau ingin tanyakan itu Bintang? Tanyakan saja! Diammu membuatku merasa bersalah!" Ditariknya dagu kecil itu mengahdap ke arahnya. Tangannya berpindah memegang kedua pipi Bintang.

"Kenapa kak?" Tanya Bintang mengalihkan pandangan. Jantungnya bisa copot jika terus berhadapan pada pria yang bahkan baru dikenalinya.

"Kau mau rasakan? Cobalah berharap padaku, tapi jangan menghukum dirimu sendiri jika sakit nantinya."

"Bi-bintang sudah merasakan sakit itu kak.!"

Mereka terdiam sejenak, Zabir segera membuka pintu mobilnya menyuruh Bintang masuk. Mereka sama-sama canggung. Zabir sesekali melirik Bintang yang menghadap keluar.

"Indah!" Gumam Bintang.

Zabir mendengarnya, ia tak tahu apa yang indah, dirinyakah?

"Indah Bin? Apa yang indah di luar sana sampai kau lupa kalau di sini ada yang jauh lebih indah, di sampingmu ini." Zabir tak tahan diam, ia suka berbicara.

"Senja indah kak, tapi kenapa tak beriringan saja bersama Bintang? Bintang tak ingin mereka bergantian, kakak pahamkan?"

"Aku tak sebodoh kamu Bintang!!"

"Perlu diketahu kak Zabir, Bintang itu selalu juara olimpiade.!!"

"Tapi tak pernah menempati posisi pertama sesekolah, lemah.!"

"Itu karena nilai olahraga Bintang, gurunya jahat.!!"

"Kamu yang bodoh sayang!"

Bintang terdiam, apakah semudah itu seorang Zabir mengucap sayang.?

"Kenapa diam? Di mana rumahmu? Sedari tadi kita hanya jalan saja!"

"Kita sedang naik mobil kak!"

"Mengendarai mobil, Bintang.!"

Bintang tersenyum, ia merencanakan sesuatu.

"Menumpangi, kakakku sayang!!" Ucapnya memperbaiki. Bintang sengaja ia hanya ingin melihat reaksi Zabir. Nyatanya orang itu hanya diam.

"Sudah sampai!" Ucap Zabir, ia berjalan mendahului Bintang, tak romantis.

Zabir mengetuk pelan kaca mobilnya karena Bintang tak kunjung keluar, apakah gadis itu sangat betah duduk di dalam?

"Sabar kak!"

"Sayang Bintang! Kakak sayang!" Zabir membenarkan.

"Aku tidak menyayangimu kak!" Tegas Bintang, memberi penekanan pada menyayangi.

"Kau itu muridku sekarang, kau harus menyayangiku. Atau apa kau mengharap sayang yang lain dari itu? Aku bisa, jika kau mau. Aku akan berusaha!"

Bintang memukul kasar dada bidang itu, ia meninggalkan Zabir dengan senyuman manis yang tercetak di wajah pria tersebut.

Bintang memukul kasar dada bidang itu, ia meninggalkan Zabir dengan senyuman manis yang tercetak di wajah pria tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zabir merasa aneh, ia tak sadar dirinya berkata aku-kamu ke Bintang.
-
-
-
Ingin bahagia? Cobalah berharap pada pencipta, jangan pada manusia-Zabir







Vote teman-teman

(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang