Suara ketukan ranting pada jendela kamar menjadi satu-satunya suara yang ada saat salah seorang gadis berdiam diri dengan menatap lurus kaca yang ada di hadapannya.
Gadis itu sesekali menghela nafas dan menghembuskannya kasar. Merasa dadanya semakin penuh, mata sang gadis tak pelak memanas. Sedangkan dirinya sendiri berusaha agar tidak menangis karena sebentar lagi lelakinya akan 'pulang'.
"Herin, hold on! Kau tak boleh menangis!" Hardik Herin pada dirinya sendiri.
"Kau tak boleh membuat Jeno Oppa khawatir saat dirinya sudah cukup lelah karena pekerjaannya!"
Tapi apa yang dikatakan oleh bibirnya berbanding terbalik dengan keadaan yang justru menampilkan fakta dirinya sudah menangis dengan menutup mulutnya menahan isakan.
Pikirannya melayang kembali pada forum internet yang menampilkan beragam komentar tentangnya dan Jeno. Dia mengutuk dirinya sendiri yang sudah menjadi bodoh karena melanggar janjinya pada Jeno. Jeno sudah melarang keras pada Herin agar tidak melihat hal-hal tentangnya di internet. Cukup Herin percaya pada Jeno semua akan baik-baik saja, begitu kata Jeno. Tapi rasa penasaran Herin mengenai asumsi publik tentang hubungan mereka membuat Herin berani melakukannya.
Jeno memang benar. Jika saja Herin terus menurut, gadis itu tidak akan jatuh dengan luka yang digali olehnya sendiri sekarang.
Helaan napas berat berkali-kali terdengar. Herin ingin menangis keras, tapi ia sudah berjanji untuk tidak menjadi cengeng.
"Apa aku ke rumah Koeun eonni saja?" Gumam Herin bermonolog.
"Tapi Jeno Oppa akan pulang!", "Ahh aku bisa stress!!!" Pekik Herin keras-keras karena pusing sudah terlalu banyak berpikir.
"Herin?? Kau kenapa?!"
Seruan nyaring dari luar kamar mengangetkannya. "Eh, Hina eonni?"
Segera Herin beranjak dan membuka pintu dengan cepat. Hina yang akan mengetuk lagi hampir saja memukul kening Herin.
Melihat Herin yang tampak berantakan di matanya tak urung membuat Hina ikut gelisah. Wanita itu menangkup pipi Herin dan mengelusnya pelan, "Kenapa hm??"
Suara lembut yang cenderung tengah menenangkannya itu membuat mata Herin kembali memanas. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menggeleng keras.
Hina tak melepaskan tangannya. Tangan Hina terus mengusap pipi Herin dan tak lama, tangannya basah. Herin menangis dengan tangannya yang ikut mengenggam tangan Hina yang masih berada di pipinya.
Hina tak sabar. Hatinya mencelos melihat adiknya yang menjadi begitu diam dan bungkam jika itu berhubungan dengan masalah yang di hadapinya. Hina tak suka Herin tumbuh dewasa dengan sikapnya yang berubah menjadi 'tertutup'.
"Apa ada yang menyakitimu lagi? Atau kau kembali memikirkan Jaemin? Tenang saja... Ia akan segera bangun."
Mendengar penuturan Hina membuat Herin berpikir untuk menyembunyikan semuanya lagi. Ia tak mau membuat Kakaknya berpikir semakin keras dengan pikiran yang sebenarnya sudah sangat penuh itu.
"Aku tau... Hanya saja, melihatmu banyak termenung membuatku ikut gelisah." Herin memutuskan untuk berbohong.
Hina melepas pelukannya dan menatap Herin dalam. Secepat kilat ia tersenyum dengan senyuman yang begitu teduh. Setelan putih dengan rambutnya yang di kucir setengah itu membuatnya terlihat seperti malaikat. Kulit putihnya juga ikut bersinar walaupun penerangan di kamar yang Herin huni itu sedikit redup.
"Kau tak harus percaya keajaiban, Herin. Tapi kau harus percaya, semua tidak mengingkari janji tanpa alasan. Walaupun dengan alasan terburuk sekalipun, kita harus ingat saat orang itu tulus mengucapkan janjinya. Jaemin berjanji untuk terus datang saat aku memanggil. Aku akan berlari saat Jaemin membutuhkanku. Aku dan lelaki itu sudah menjadi satu tubuh. Aku dan kalian pun juga menjadi satu kehidupan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We? Forever(End)
Roman pour AdolescentsDulu, aku pikir kita semua akan bersama selamanya. Setelah kita melewati masa kecil, kita berantakan dalam kehidupan yang sempit dan gila ini. Mimpi yang penuh warna warni, semuanya meluap dalam genggaman kedua tanganmu. Tetaplah genggam impian itu...