Sandara masih ingat Ibu nya pernah berkata; harapan itu setinggi langit dan sejatinya akan selalu terbang ke atas. Sampai apa yang kita harapan tidak sesuai keinginan kita, disaat itulah harapan juga bisa jatuh terperosok lebih dalam, seperti itu yang Sandara rasakan saat ini.
Suara dari Tante Laras terdengar saat menyebutkan nama Clara apalagi cewek itu sudah di sana dan menunggu Bima. Sandara ingin berpura-pura tidak mendengar, tapi nyatanya sepintar apapun ia menutupi tetap saja hatinya terluka mendengar nya.
Bisa Sandara pastikan raut wajah lelaki disamping nya juga berubah. Bima dengan telepon yang masih menyambung dengan Bunda nya menatap wajah Sandara, lagi-lagi dengan rasa bersalah.
Sandara tersenyum tipis. Lalu tanpa menjawab perkataan Bunda nya, Bima langsung mematikan sambungan telepon dengan Laras. Di tatap nya wajah Sandara saat ini. Bima tentu saja tahu kedua mata Sandara saat ini sudah berkaca-kaca, tapi tetap saja senyum yang semakin membuat nya merasa bersalah itu masih Sandara perlihatkan. Seolah semua nya tidak apa-apa bagi perempuan manis itu.
Belum sempat Bima menjelaskan apa yang terjadi suara Sandara sudah terdengar.
"Nggak, apa-apa Kak. Kakak pulang aja, temuin Clara. Siapa tau emang penting."
Gue nyakitin lo lagi, San. Batin Bima.
Kepala Bima menggeleng,"Clara bukan siapa-siapa aku lagi. Buat apa aku temuin dia. Sekarang yang penting itu kamu, San."
Sandara juga sama, menggelengkan kepalanya dua kali,"Aku udah bilang kan sama Kakak. Selesain apa yang belum selesai antara kalian."
"Aku nggak mau, San. Aku mau disini sama kamu."
Sedetik setelah mengucapkan itu, telepon milik Bima kembali berbunyi, menampilkan nama Clara.
"Aku mohon. Jangan bikin aku tambah sakit lagi dengan Kakak nggak pergi dari sini." ucap Sandara lirih.
"Kamu salah, Sandara. Dengan aku pergi dari sini, aku bakalan lebih bikin kamu sakit lagi, dan aku nggak mau. Kamu ngerti kan?"
"Dengan Clara yang terus ada di layar hape Kak Bima?"
Bima menghembuskan napas, mematikan ponsel nya juga."Aku udah pernah bikin kamu sakit. Aku nggak mau bikin kamu sakit lagi buat yang kedua kali nya. Aku sayang kamu, Sandara."
Sandara memalingkan wajah nya dari Bima. Berusaha menutupi air matanya yang sebentar lagi mengalir di pipi pucat nya.
Jauh dalam hati nya juga ia ingin Bima tetap disini. Tapi entah kenapa justru membuat dadanya semakin sesak, seakan ada yang menghantam nya keras-keras. Semakin ia ingin Bima disini semakin sesak yang ia rasakan.
***
Sehari setelah kejadian di taman itu, Sandara jadi lebih diam. Ia bahkan tidak ikut bergabung dengan teman-teman nya ke kantin. Pikiran dan hati nya saat ini sedang kacau. Sandara harusnya bisa mengesampingkan perasaan nya dan tetap seperti biasa. Tapi sekali lagi sepintar apapun ia menutupi tetap saja hatinya tidak bisa ia bohongi.
Jam istirahat kali ini, Sandara tetap di dalam kelas, ditemani novel-novel yang baru ia beli kemarin. Pesan-pesan dari Bima semalam—setelah mengantarkan nya pulang tidak ia balas. Sandara sedang ingin sendiri kali ini.
"San, dipanggil tuh." suara Kiki dari bangku depan membuyarkan lamunan nya.
"Hah, iya? Kenapa Ki?" tanya nya.
Kiki menunjuk kearah pintu dengan dagu nya. Disana terlihat Dito yang sedang berdiri di dekat pintu kelas nya.
Mau tidak mau Sandara harus menghampiri ketua ekstrakulikuler jurnalis nya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR
Teen Fiction[ follow dulu sebelum baca ] Kisah tentang Bima Dirgantara, most wanted disekolah nya dengan masa lalu yang belum sepenuhnya ia lupakan. Dan, Sandara Geoffani, cewek polos yang tidak sengaja ditaksir oleh Bima yang juga menjadi senior disekolahnya...