Suara telapak tangan yang menampar keras pipi seorang Kim Taehyung menggema seantero ruang tamu tempat ia berdiri. Rasanya panas dan perih. Ia diam, menunduk tanpa ada keinginan mengangkat tangan untuk mengelus bekasnya ataupun melawan. Ia sudah biasa. Ia sudah biasa kepada tangan pedas ayahnya ketika ia melakukan suatu kesalahan fatal yang sialnya diketahui oleh ayahnya.
"Kamu merokok, Kim Taehyung?"
Taehyung diam saja, tidak berminat tatap mata ayahnya yang penuh amarah. Surai birunya turun menutup keningnya. Tatapan tajam ayahnya seperti menembus masuk ke dalam kepalanya. Beliau nampak sangat marah ketika ia baru saja pulang dan membuka maskernya, Ayah sudah berdiri di ruang tamu dengan tangan bersedekap. Taehyung masih belum tau apa salahnya, lantas ia hanya menyapa ringan sembari melepas sepatunya. Kaki yang masih terbungkus kaus kaki hitam itu melangkah pelan mendatangi sosok ayahnya yang tidak menjawab sapaan. Taehyung baru sadar ada yang salah ketika matanya bertemu dengan bola mata coklat milik ayahnya.
Ada tatapan dingin yang sarat akan emosi di dalam sana.
"Ayah tanya sekali lagi, kamu merokok, Kim Taehyung?"
Taehyung masih diam, bola matanya agak membola sedikit. Memikirkan bagaimana bisa ayahnya tau ia merokok padahal jejaknya sudah sembunyikan dengan susah payah.
"Kim Taehyung, ini panggilan ketiga. Angkat kepalamu."
Taehyung pelan-pelan angkat kepala, perasaannya campur aduk ketika matanya lagi-lagi bertemu dengan ayahnya. Ayah masih marah. Tas ransel hitam Taehyung masih tersampir di bahu kanannya, sementara masker putih favoritnya masih ia pegang di tangan kanannya. Ayah menarik dagunya, mengangkat wajah Taehyung tanpa peduli bahwa anaknya ini bahkan baru pulang dari sekolahnya. Jemari tangan kanan Ayah agak kuat memegang sekitar rahang dan dagunya. Taehyung dibuat meringis sedikit. Bekas tamparan masih merah di pipi kanan Taehyung, Ayah sempat melihatnya sebelum beralih menatap bibir Taehyung lekat-lekat.
Bibir anaknya pelan-pelan mulai berubah warna menjadi merah gelap walaupun tak kentara. Benar sudah anak laki-lakinya merokok.
Dan Kim Taehyung tidak bisa apa-apa lagi selain diam.
"Berapa banyak?"
Suara yang tegas itu kembali keluar, pelan-pelan mengikis keinginan Taehyung untuk terus bungkam.
"Dua puluh empat kotak."
Tangan Ayah turun dari rahangnya.
"Satu hari berapa?"
"Satu."
Mata Ayah melemah tatapannya, pelan-pelan. Taehyung saksikan semuanya.
"Sudah mau satu bulan, Kim Taehyung." Nada suara Ayah berubah, dari yang begitu mengintimidasi jadi mulai agak tenang. "Kau hari ini habis berapa batang sebelum pulang?"
Taehyung diam. Ia tidak bisa melawan, Ayah sudah tau semuanya. Maka dari itu, ia tarik ransel hitamnya. Merogoh isinya, mencari-cari kotak rokoknya. Begitu dapat, ia tarik keluar benda itu dan ia beri kepada ayahnya.
"Tidak ada, Yah."
Dan Ayah balik menatapnya sendu. Hati Taehyung kontan nyeri. "Maaf, Yah." Tangan Taehyung turun dari posisinya, beralih ke sisi tubuhnya dan masih dengan kotak rokoknya.
"Kenapa tidak dihabiskan?"
"Taehyung tau Ayah libur hari ini, bau rokok susah hilang dan Taehyung tidak bawa baju ganti hari ini. Jadi, aku pikir lebih baik aku pulang dan merokok di luar lalu kembali saat Ayah tidur."
Ayah perlahan beralih dari hadapan Taehyung, berjalan menuju sofa di belakang tubuhnya dan memutuskan untuk duduk di sana. Ia berpikir, inilah sebab kenapa Taehyung jadi rajin sekali mencuci bajunya sendiri. Biasa mereka menggabungkan baju kotor bersama lalu dikirim ke laundry langganan mereka. Wangi kamar Taehyung juga jadi lebih semerbak dari sebelumnya, bau parfum maskulin anak laki-lakinya itu nyaris memenuhi rongga hidungnya tiap kali ia berada di dekat anaknya itu. Ayah pikir Taehyung sudah dewasa, ternyata hanya akal-akalannya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Hopes
FanfictionJungkook tidak pernah menggantungkan harapannya setinggi langit, seperti yang selalu ia ucapkan padanya. Sampai akhirnya Taehyung harus sadar dengan realita, ketika kamar yang biasa hangat dan wangi susu itu menjadi dingin dan berbau seperti rumah s...