35 : Masa Lalu🍁

1.8K 104 16
                                    

Di dalam kamar, seorang wanita merenungi musibah yang baru saja menimpa dirinya. Sekarang ini ia berada di rumah milik orang tuanya. Dengan masalah yang ia hadapi, tidak bisa membuatnya hidup se-atap bersama Arif. Itu sama aja ia menambah beban yang selama ini udah menumpuk di pikirannya. Netra cokelat bening itu masih menatap lurus dinding yang ber-lapiskan warna putih tersebut. Sesekali ia melirik ke foto pernikahannya yang terpampang di sudut buffet. Senyum getirnya perlahan mengembang kemudian nyaris berubah.

Lima tahun membangun rumah tangga sedikit banyaknya membuat asam, manis, pahit di dalamnya. Ada yang beruntung melewati fase itu dengan sempurna. Ada pula yang gagal di tengah jalan bahkan ada juga yang gagal sebelum melewati rintangannya. Mungkin Icha berada di urutan kedua.

Benarkah estimasi manusia selama ini yang mengatakan bahwa sifat asli pasangan akan terbongkar saat berumah tangga. Ketika masih pacaran, kata trend anak milenial. Karakter yang ditunjukkan itu hanya tipuan belaka. Semua akan terbuka kala status berubah. Icha tidak bisa memungkiri anggapan yang bila di cerna ada benarnya.

Entah sejak kapan wanita paruh baya tak lain dari Cahya—Ibu kandung Icha itu berdiri di ambang pintu. Kehadirannya secara tiba-tiba cukup membuat Icha gelagapan. Ia mengelap sisa air matanya yang tidak sengaja terjatuh. Kemudian bibir tipis itu mengembang secara otomatis. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya di hadapan wanita yang sudah kelihatan tidak muda lagi.

Cahya mengerutkan dahinya sesaat sebelum menghampiri putrinya yang tampak murung. Ia menempatkan bokongnya di tepi ranjang sejajar dengan posisi Icha di sebelahnya.
Icha tidak bergeming ketika tangan Ibunya membelai halus puncak kepalanya, karena ia merasa nyaman. Apalagi yang melakukan itu orang-orang terdekatnya.

Cahya memeluk tubuh Icha, pangkal tangannya menepuk punggung Icha membuat Putrinya bingung atas tindakan Ibunya. Dalam keterheranan ia melepas pelukan Ibunya, matanya berusaha menangkap arti dari pelukan yang di berikan Ibunya. Di rasa tidak menemukan jawabannya, Icha menanyakan langsung kepada Ibunya.

"Ada apa Ummi?" tanya Icha menatap lekat manik hitam Ibunya

"Hemm.. Enggak, Ummi lihat tadi kamu lagi sedih. Makanya Ummi masuk buat tenangi diri kamu" papar Cahya langsung di balas Icha dengan mulut terbuka membentuk huruf 'O. Kemudian kepalanya turut mengangguk.

"Eca mana?" selanjutnya Icha menanyakan dimana keberadaan Adiknya—Eca. Karena sejak pulang dari Rumah Sakit ia belum menemukan batang hidung Adiknya. Mungkin kah Eca pulang? Tapi, kenapa ia tidak berpamitan terlebih dahulu? Apa ia tersinggung atas ucapan Icha di Rumah Sakit tadi? Jika benar, berarti Eca hanya memandang satu kubu saja. Yaitu Arif. Ia tidak melihat secara dua pihak yang bersangkutan.

"Udah balik. Katanya buru-buru jadi gak sempat pamitan, ke-pikirkan terus sama Nata" balas Cahya sesuai dengan jawaban Eca ketika hendak melenggang pergi

"Oh.. Abi mana Mi,? Icha menoleh ke pintu kamarnya bila dilihat langsung menampakkan amben tempat biasa Abinya nongkrong

"Ke rumah Pak Kades, paling mau ketemu si Reno yang baru pulang kemarin dari Inggris" jawab Cahya berspekulasi lantas membuat Icha terperangah mendengar kabar dari Umminya

"Kak Reno baru balik Mi?" Icha berbinar menggenggam tangan Ibunya

"Kenapa nggak percaya? Yuk, Ummi anter kesana" Baru saja Cahya menarik tangan Anaknya, mengajak Icha agar ia percaya kalau ucapan Ibunya itu benar.

"Nanti ah, Icha masih perlu istirahat" bukan itu alasan utama Icha. Ia sangat antusias mendengar kabar Reno yang balik kampung. Namun, ia menutupi semua demi menjaga statusnya sekarang ini yang sudah bersuami.

"Oh yaudah, kamu istirahat aja. Ummi tinggal nggak papa kan?"

"Nggak kok Mi,"

***

Dilain tempat

Keluarga Pak Kades menyambut kedatangan Suryo, terlebih Reno yang bahagia karena kehadiran Suryo. Ia menyambut penuh hangat menyalami punggung tangan Suryo. Lima tahun hidup di negeri orang membuat banyak perubahan pada dirinya. Sangat berwibawa, lebih dewasa, tutur katanya begitu di tata. Good attitude deh.

Sekian lama bercengkerama, membahas hal serius tentang kehidupannya, rupanya ada satu lagi pertanyaan yang mengganjal di hatinya apabila tidak ditanyakan, ialah keadaan Icha.

"Icha baik-baik saja kan Om?!" ucap Reno seperti tidak bertanya, ia harap kondisi wanita itu dalam keadaan sehat.

Suryo tampak berpikir sebelum menjawab "Lagi tidak baik Ren, Icha baru saja kehilangan kandungannya"

Hati Reno terenyuh mendengarnya. Setelah pernikahan itu terlaksanakan, ia sudah menganggap Icha seperti adiknya sendiri. Jadi apapun kondisi yang terjadi pada Icha ia turut sedih, merasakan apa yang Icha rasakan.

"Astagfirullah, tapi Icha tidak kenapa-napa kan Om?" tanya Reno detail memastikan

"Ya begitulah. Awalnya dia syok, tapi Om yakin Icha wanita yang kuat. Ia pasti  mengikhlaskan takdir Allah" Suryo menyeka air matanya yang jatuh. Hal yang berhubungan dengan keluarganya, selalu saja membuatnya menangis. Bukan berarti ia cengeng, ikatan darah lah yang melemahkan hatinya.

"Sabar Yo" ucap Pak Rahmat menepuk-nepuk pundak Suryo.

Suryo merubah topik pembicaraannya ke semula. Ia membahas kembali kegiatan Reno selama di Inggris.

"Gimana Ren, udah ketemu calonnya? Jangan lama-lama ke buru tua" Suryo menyengir, membuat keluarga itu turut melakukan hal yang sama

"Nanti Om. Belum ada yang cocok dihati" balas Reno sambil menunduk. Mengingat umurnya yang menginjak dua puluh delapan tahun membuat siapa saja heran termasuk Suryo sendiri, mengapa ia tidak mencari pasangannya. Padahal sudah mapan, tampan, gelar telah diraihnya. Ideal husband banget. Terus, apa lagi yang harus ditunggu coba?

Reno Atmaja, pria yang terpaksa memutuskan pindah ke luar negeri demi meniti study nya. Lima tahun disana banyak merubah dirinya, mulai dari kebiasaan, cara berpikir, cara berpenampilan pun harus di tuntut fashionable. 

Lima tahun bukan waktu yang singkat. Sama hal nya dengan membuang perasaan terhadap wanita yang dicintainya, dulu. Meninggalkan kampung halaman demi mencari ketenangan agar bayang-bayang itu tidak menggeluti, akan tetapi rasa dihatinya secuil pun tidak berkurang. Malah kian menambah. Namun ia membatasinya dengan cara melakukan aktifitas yang menurutnya dapat menciptakan kebahagiaannya.

"Saya terima nikahnya Risha Elvira dengan mas kawin tersebut di bayar tunai"

SAH!

Menerima kenyataan memang sulit. Bahkan menerima bahwa bukan dirinya yang bersanding dengan gadis impiannya.

Aghhhh! Reno menggeleng. Ia teringat akan tujuannya kembali kesini bukan untuk mengenang masa lalu.

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

TBC

Peluk hangat untuk readers❤



Hati Yang Tersakiti [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang