33 : Tewas🍁

2.2K 127 15
                                    

"SHELLA" pekik laki-laki yang masih memakai seragam tahanan itu sambil terperangah menyaksikan tubuh alit milik Shella longsor ke dalam lembah bersama bongkahan batu yang tidak dapat menjadi sandungan tungkainya.

Jasad Shella sudah menghilang dari pandangan mereka, mungkin tubuh itu telah bersembunyi di balik pohon serta ilalang yang semampai. Fatur dan Agus menyayangkan tindakannya yang kurang peka terhadap Shella. Semestinya mereka tidak membiarkan Shella berada di posisi belakang. Akan tetapi, apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Begitulah pribahasanya.

Dua pasang mata memandang dengan tatapan yang sulit di artikan. Antara menyesali, aman, gundah. Terlebih Fatur, raut irasnya bagai kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya.

"Tur.. Bagaimana pun juga kita harus sampai tujuan. Oke?!" seru Shella penuh gairah

"Iya dong. Untuk sementara lo tinggal di rumah gua aja dulu" tawar Fatur sekaligus ber-titah

"Malu gue sama keluarga lo" imbuh Shella pelan

"Jangan nolak!" ujar Fatur langsung di angguki Shella sambil tersenyum

"Berisik tau gak sih kalian" celetuk Agus merasa obrolan kedua temannya tidak ber-faedah

"Ahhh" lengkingan suara Shella sontak membuat Fatur serta Agus kaget bukan kepalang. Jari jemari Shella bertopang pada akar pohon yang menjalar di tanah.

Ia mengatupkan matanya, birai memucat itu terus menyeru nama orang yang saat ini sedang bersamanya. Fatur menyambut satu tangan Shella, sedangkan Agus segera menginstruksikan kepada Shella untuk bertahan.

Pegangan kedua tangan itu mulai kendur, semakin melekang hingga Shella tak mampu meraih kembali telapak tangan Fatur. Membuat tubuhnya anjlok kebawah. Terlepas dari itu dirinya lenyap tertutupi suket.

"Gimana Tur?" pertanyaan Agus enggan di hiraukan Fatur

"Tidak mungkin kita lapor kasus ini ke polisi. Itu sama aja kita menyerahkan diri" sambung Agus

"Terus lo membiarkan kejadian ini? Sampai jasad Shella membusuk?" ketus Fatur tidak terima atas ucapan Agus

Ia memang bejat, apalagi gelar residivisnya telah di pastikan banyak orang yang memberi cap penjahat kepadanya. Akan tetapi tidak dengan persoalan sekarang ini. Mana mungkin ia tega membiarkan kematian temannya tidak diketahui siapapun.

"Terserah lo deh Tur. Gue gak bakalan ngikut kemauan lo" Agus beranjak meninggalkan Fatur yang masih memandang kebawah.

--------

Netra hitam bening milik Icha terus saja menatap sesosok laki-laki yang pernah mengisi ruang hatinya dengan berbagai rasa. Akal sehatnya mengatakan untuk membenci orang yang kali ini di ayun menggunakan kursi roda tengah menghadap dirinya. Sementara hatinya menolak keras antipati tersebut.

Kondisi Arif jujur saja sangat memedihkan hati Icha. Balutan perban melingkar sempurna di empunya membuat siapa saja yang mengelih turut sedih. Namun pernyataan itu apakah masih berlaku pada Icha? Tentu saja! Ternyata rasa bencinya sekadar omongan semata. Ia tidak benar-benar menerapkan rasa itu ke relung hatinya.

Suryo sangat berapi-api detik itu juga. Ia ingin sekali melayangkan pukulannya kepada laki-laki yang menyakiti putrinya. Persetan, untung saja ia mampu meredam emosinya. Lalu tatapannya berganti ke putri bungsunya yang sedang mendorong kursi tersebut sampai kedalam ruangan. Gestur Eca seolah-olah meyakinkan pada Abinya semua bakal baik-baik saja.

Icha melempar muka kesamping. Enggan terlalu lama adu pandang dengan Arif. Begitu pula dengan Arif, ia melakukan hal yang sama.

Kejenuhan tergambar jelas dari mimik Arif, dirinya mengira tidak ada gunanya ia berada disini bereng orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Membuang waktu saja pikirnya.

Eca sangat heran melihat sikap keduanya. Tidak ada yang mau mengalah, dua-duanya egois. Terlebih Arif, lelaki itu begitu egois. Padahal saling cinta, tapi mengapa keakuan menutupi segalanya.

"Dia siapa? Kenapa aku dibawa kesini?" tanya Arif tentu membuat seisi ruangan syok. Suryo memainkan rahangnya, kepalan tangannya sudah siap menghajar laki-laki yang dianggapnya brengsek tersebut.

"Apa yang kamu pertanyakan? Mba Icha ini istrimu" Eca ikut geram mendengar kalimat crazy kakak iparnya.

Arif mengerjap "Istri. since when i have a wife?"

Icha mulai jengah. Bulir bening lolos dari irisnya "I am not your wife, sekarang kau pergi dari hadapanku" isak Icha setelah mengutarakan kalimat itu.

Kegaduhan berlangsung begitu saja, Suryo menarik kerah baju Arif. Eca menengahi keributan sepihak tersebut dibantu dengan Cahya yang menarik pinggang Suaminya berharap keributan itu usai.

Dokter beserta awak rumah sakit mendampili sumber kericuhan berlangsung.

"Tenang pak! Ini rumah sakit. Punya pikiran gak sih? Jangan seenaknya bikin ribut" cerca dokter tidak menyukai perlakuan keluarga tersebut yang secara langsung telah mencoreng nama baik rumah sakit.

"Ma-maaf Dok," Eca menangkupkan tangannya seraya memohon atas tindakan Abinya

"Ada apa sebenarnya?" tanya Dokter ketika suasana mulai reda

"Nggak ada apa-apa Dok," sahut Cahya

Dokter mengangkat tangannya "Bentar" ia mengingat sesuatu

"Kalian ada hubungan apa dengan pasien ini" tunjuk Dokter tidak mengerti mengapa Arif pasien nya berada disini

"Tidak ada sangkut-paut dengan dia Dok," imbuh Icha bersuara

"Arif, kamu kok berada disini? Kamu perlu istirahat agar ingatanmu pulih kembali" ujar Dokter membuat Icha dan keluarganya berupaya memahami arah pembicaraan sang Dokter.

"Jadi dia hilang ingatan Dok,?" tanya Eca memastikan

"Benar. Pasien menderita Amnesia Disosiatif. Maka dari itu pasien tidak dapat mengingat berbagai informasi pribadinya"

Icha terperangah memandangi punggung Arif. Dokter membawanya keluar dari ruangan yang sempat terjadi kegaduhan itu ke tempat yang lebih aman.

Kau menghapus ingatanmu mengenai aku

Ia aku tau itu bukan kemauanmu

Tuhan membuat cara tersendiri ketika dua hati tak bisa lagi menyatu

Ia memisahkan kita dengan aturan seperti itu

Aku ikhlas.. Ikhlas membebaskan dirimu

Sudah saatnya kau meraih impianmu

Tanpa aku

Karena aku akan mencoba membiasakan diri tanpamu dan begitu pula denganmu

TBC

Hati Yang Tersakiti [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang