Chapter 34 - Isi dan Keluar

2.6K 149 8
                                    

"Mas, Rania pengen cakwe," ucap Rania dengan suara sengau khas bangun tidur.

"Hnggg," jawab Rian dengan tidak sadar.

"Mas, cepetan bangun, Rania pengen cakwe," ucap Rania dengan nada merengek, membuat Rian mau tak mau harus bangun dari tidurnya.

"Ya Allah ini jam berapa Rania?" ucap Rian menatap istrinya.

"Baru jam setengah dua belas mas Rian," jawabnya santai membuat Rian menepuk jidatnya lagi.

Rania yang biasa saja sudah bisa buat dunia Rian porak-poranda, ditambah sekarang istrinya ini sedang mengandung buah hati mereka yang membuat Rian harus memaklumi kemauan dan kelakuan istrinya yang makin hari makin membuatnya pusing tujuh keliling.

Berikut ini adalah contoh yang Rania lakukan.

"Mas Rian, aku mau mandi bola deh kayaknya," ucap Rania tiba-tiba datang ke pelatnas Cipayung.

"Mana boleh Rania?! Kamu udah dewasa, bukan anak-anak lagi," jawab Rian.

"Nggak, beneran, Rania kepengen banget mas, masa Mas Rian nggak mau nurutin? Mau anaknya ngiler?"

Rian berujung kalah dan mengikuti kemauan istri kesayangannya itu.

"Mas, Rania pengen gemblong nya ibu Juah sama Abah Musa, kesana yuk,"

"Besok pagi aja Rania, Abah Musa sama Ibu Juah udah nggak jualan kalo jam 8,"

Rian tak pernah menang berdebat dengan Rania, jurus puppy eyes yang dia keluarkan saat Rian hampir marah mampu meluluh lantakkan amarahnya, gadis itu benar-benar candunya.

"Mas, Rania ngidam disuapin bubur sama Jojo nih," ucap Rania santai.

"Nggak usah, disuapin sama aku aja," tolak Rian begitu mendengar ide Rania yang makin hari makin tidak masuk akal.

"Mas cepetan, telfon Jojo, beneran!"

Jojo datang ke rumah Rania dan Rian sembari membawa satu bungkus bubur yang ia beli di jalanan menuju kesini.

"Jo, suapinnya gaya pesawat dong, dilambungin dulu ke udara," perintah Rania yang mau tak mau diikuti Jojo.

Kalau Rania berbentuk Fajar, mungkin Rian sudah habis memukulinya, sayang Rania berbentuk wanita cantik yang sudah ia janjikan kebahagiaan, mana tega ia melukainya.

"Mas Rian, mas Rian mau nurutin Rania nggak?" tanya Rania pada Rian yang saat ini sedang bermain dengan ponsel di tangannya.

"Kenapa Rania? Kamu perlu apa?" tanya Rian kemudian menaruh ponselnya dan buru-buru menghadap wajah istrinya.

"Mas Rian bikinin Rania martabak telor dong,"

Rian mampu membuat masakan simple seperti mi instan, telur, dan nasi goreng, tapi martabak?!!!!

Rian hampir membakar pantry rumah mereka, beruntung Rania yang sudah mengira bahwa hal tersebut kan terjadi sudah siap sedia dengan lap basah yang berada tepat di tempat duduknya.

Martabak telur yang tidak begitu meyakinkan ala Rian akhirnya tersaji di hadapan Rania yang sedang menonton drama favoritnya sambil menangis keras tak tahu malu.

"Udah jadi tuan putri," ucap Rian sambil membanting tubuhnya ke sofa, bergabung dengan Rania.

Rian mengambil satu martabak telur yang ia buat, kemudian melahapnya, raut wajahnya langsung berubah tidak enak, martabak telur yang Rian buat benar-benar terasa buruk.

"Rania berhenti makan, kamu bisa sakit perut!" Rian benar-benar takjub melihat Rania yang lahap menyantap martabak racun buatannya tanpa merasa terganggu dengan rasanya.

Rian benar-benar menyadari bahwa memasak itu bukan untuk semua orang, lain kali Rian akan lebih sering memuji istrinya yang memasak dengan mengagumkan.

Kandungan Rania sudah mencapai umur sembilan bulan, rencananya dia akan melahirkan kedua buah hatinya di tanggal 21 sampai 22 Oktober, begitu kata dokter yang menanganinya.

Menjelang persalinan, Rian sang suami siaga sudah menyiapkan skenario terbaik agar mereka bisa mengantar Rania ke rumah sakit dengan sebaik-baiknya dan juga secepat mungkin, Rian juga membantu Rania menyiapkan kedua tas berisi perlengkapan kedua anaknya.

Pagi itu, tanggal 16 Oktober, Rian yang sedang bersiap-siap untuk pergi latihan pagi ke pelatnas sambil menunggu istrinya menyajikan sarapan tiba-tiba dikejutkan dengan suara teriakan Rania yang nyaring bukan main.

Rian yang sedang mengambil tas raketnya malah otomatis melemparkan tas tersebut lalu bergegas berlari menuju Rania yang berada di dapur.

"KENAPA KENAPA?!! KAMU KENAPA RANIA? TENANG, ADA AKU DISINI," ucap Rian yang membuat Rania tertawa dalam rintisannya.

"Kamu kali yang tenang!" omel Rania.

"Ayo, Rania pelan-pelan ya," Rian menuntunnya menuju mobil yang terparkir di depan rumahnya

"Rania kamu nggak apa-apa kan? Ikutin yang waktu kita pelatihan itu, tarik nafas buang lagi, gitu terus," ucap Rian dengan suara panik tapi mencoba menenangkan.

Rian dan Rania sudah sampai di depan rumah sakit bersalin, Rian buru-buru memanggil para perawat sambil membawa ketiga tas orang kesayangannya tersebut.

"Mas Rian, ibu Rania nya belum bisa lahiran ya, baru pembukaan ke empat," ucap sang suster.

"Tapi istri saya kesakitan sus," ucap Rian tak terima.

"Iya wajar pak, namanya juga lahiran," balasnya.

Rania makin berteriak tidak karuan, keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit wajahnya, membuat Rian merasa bersalah teramat sangat pada wanita dihadapannya.

"Kapan sih sus, istri saya udah nangis gitu!"  protes Rian entah sudah berapa kali.

"Mas, temenin Rania," pinta Rania yang Rian angguki.

"Ayo Bu Rania, rambutnya udah keliatan," instruksi sang dokter.

"Dorong lebih keras lagi Bu Rania,"

Rian benar-benar nggak tega begitu melihat istrinya berteriak sambil menangis, mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan kedua anak laki-lakinya sementara Rian nggak bisa melakukan apapun untuk Rania kecuali menyemangatinya sembari mengelap keringatnya yang bercucuran.

"Oeekkkkk, Oeekk," suara tangis yang amat kencang mengisi ruangan yang tadinya hanya diisi suara dokter dan teriakan Rania, tangisannya yang keras menandakan bahwa dia lahir dengan sehat.

"Ayo Bu, satu lagi,"

Rian lupa, istrinya bukan hanya melahirkan satu malaikat, tapi dua sekaligus.

"Oeekkkk, Oeekkkk" suara tangis kedua yang didengar sukses membuat semua orang yang berada di ruangan bernafas lega karena pasiennya berhasil melahirkan kedua anaknya dengan sehat.

Rian menggunting tali pusar kedua anaknya lalu sontak mengadzaninya, membuat Rania tersenyum lemah.

Setelah melahirkan, Rania yang lelah akhirnya tertidur pulas dengan perut yang sudah kembali rata seperti sebelum kehadiran kedua anak laki-lakinya.

"Bareeq Malven Ardianto,"

"Tareeq Malven Ardianto,"

𝑬𝒌𝒔𝒕𝒓𝒐𝒗𝒆𝒓𝒕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang