Ibu Juah sebenarnya masih bisa berjalan, hanya saja harus dituntun dua orang, beliau juga tidak bisa berjalan dalam waktu lama, dan jarak yang jauh, karena hal itu begitu berbahaya dan berisiko pada keadaanya.
Ibu Juah, Abah Musa serta ayah bundanya sekarang sedang asik mengobrol di sofa meja keluarga, beruntung kedua orang tuanya ramah bukan main, jadi mereka berdua mampu membuat Abah dan ibu nyaman seketika sampai di rumahnya.
Rania buru-buru ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk mereka berlima.
Rania mengeluarkan semua bahan yang sempat ia beli beberapa saat yang lalu, lalu menghubungkan sambungan teleponnya ke Rian.
'Halo Ran? Kamu udah pulang?' tanya mas Rian panik.
'Rania bawa Abah sama Ibu ke rumah, besok mau di ajak ke rumah sakit, sama mau tinggal sementara, mau Rania cariin rumah sekitaran sini, biar kalo ada apa-apa, Rania sama bunda ayah bisa langsung kesana,'
'Yaudah, tapi kamu nggak apa-apa kan?' tanya mas Rian.
'Nggak mas Rian, Rania nggak kenapa-kenapa'
'Sekarang kamu lagi apa?' tanya Rian.
'Rania lagi masak makan malem, Rania tutup ya, harus buru-buru, nanti keburu laper, dadah mas Rian!!'
Tut
Rania telah selesai menggoreng tempe mendol buatannya, kemudian melanjutkan untuk menggoreng ayam goreng yang kemarin sudah ia ungkep, lalu setelahnya menggoreng ikan.
Rania menyusun piring dan sendok di meja makan, Ayahnya tiba-tiba menghampirinya sambil menepuk bahunya pelan.
"Ayah bangga banget punya anak kaya kamu," ucapnya yang membuat Rania tersenyum hangat.
"Makasih juga, karena udah ngajarin Rania buat peduli sama orang lain," balas Rania.
Abah Musa dan Ayahnya sedang membantu ibu Juah untuk duduk di meja makan, menggandengnya perlahan sedangkan sang ibu membantu membukakan kursinya untuk ibu Juah.
"Ibu, mulai sekarang Rania yang atur makanan ibu ya, ibu nggak boleh makan yang santan-santan sama seafood ya Bu, nanti kalo kita ke rumah sakit, terus liat tekanan darahnya normal, baru boleh," ucap Rania yang diangguki semangat oleh ibu Juah.
Rania menaruh daging ikan yang sudah ia pisahkan dari tulang ke piring ibu Juah, lalu menyuapinya, bunda dan ayahnya tak mampu menahan kedua senyum mereka saat melihat perlakuan anak semata wayangnya pada orang yang lebih tua.
Seusai makan, Rania dan bunda langsung membantu ibu berwudhu, kemudian mendudukkan ibu Juah di bangku. Malam itu Rania dan keluarganya menunaikan ibadah isya bersama-sama dengan di imami sang Ayah.
Rania dan bundanya membantu Abah Musa membongkar tasnya, kemudian menyusun baju ibu dan Abah di lemari kamar tamu, setelah selesai bunda dan ayah pamit untuk tidur, sedangkan Rania membawa air hangat ke dalam kamar tamu yang akan ditempati Abah dan Ibu.
"Biar nggak usah bolak-balik ke dapur ya bah, Rania taruh sini," ucap Rania.
"Neng," panggil ibu Juah.
"Kenapa Bu?" jawab Rania.
"Terimakasih," ucapnya yang dibalas senyuman oleh Rania.
"Sama-sama Bu, Rania pamit dulu, ibu sama bapak tidur yang nyenyak, besok pagi kita ke rumah sakit,"
Rania yang baru merebahkan badannya ke kasur langsung tersambung ke dunia mimpi saking lelahnya.
Pukul lima pagi, Rania mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya, juga kamar tamu yang ditempati oleh Abah Musa dan Ibu Juah.
Jam setengah enam pagi, Rania membantu Ibu Juah untuk duduk berjemur di bawah matahari, meminta Abah untuk menemaninya karena Rania harus masak sarapan pagi untuk semua orang di rumahnya.
"Abah, ibu, makan dulu yuk," Rania, Abah dan Ayahnya membantu ibu Juah untuk berjalan ke dalam menuju meja makan.
"Hampir 70 tahun, Abah sama Ibu nggak pernah makan, makanan seenak ini neng," ucap Ibu.
"Alhamdulillah ya Bu, sekarang udah ada Rania, saya, dan ayahnya, ibu sama Abah nggak perlu khawatir lagi," ucap Bunda sambil mengambilkan nasi ke Ayah, Abah dan Ibu.
Ayah dan Ibunya sudah berangkat kerja sejak 15 menit yang lalu, Rania sedang menunggu ibu dan Abah yang sedang berganti baju.
Rania menurunkan ibu dengan dibantu para perawat rumah sakit, Rania langsung mendaftarkan ibu ke resepsionis setelah membeli roti dan minum untuk Abah dan Ibu.
"Neng, rumah sakitnya beda ya? Ibu dan Abah waktu itu ke rumah sakit, nggak kaya gini," ucap Abah takjub, Rania memang membawa mereka ke rumah sakit premier dengan alasan dekat dari rumah.
"Beda ya bah?" tanya Rania.
"Ibu nomor tiga, sekarang baru nomor satu, Abah sama ibu kalo laper, disini ada roti," jelas Rania.
"Makasih ya neng Rania," ibu mengelus tangannya lembut.
"Sama-sama ibu, biar ibu bisa cepat sehat lagi ya?" ucap Rania.
"Ibu Juah Ningsih," panggil perawat perempuan.
Rania dan Abah membantu mendorong Ibu Juah yang saat ini duduk di kursi roda.
"Pagi dok," sapa Rania sok ramah.
"Ngapain?" jawab Fenhan.
"Udah cepetan periksa!" Ibu dan Abah menatap keduanya dengan bingung.
"Sahabat saya dari kecil banget Bah, namanya dokter Fenhan," jawab Rania begitu melihat Abah dan Ibu Juah bingung.
"Mukanya emang harusnya nggak usah ditemenin bah,"
"Heh! Lu bikin malu aja ya,"
"Cepetan!"
Ibu Juah telah selesai menjalani pemeriksaan, Abah, Rania dan Ibu Juah duduk untuk mendengarkan penjelasannya.
"Ibu Juah sekarang tekanan darahnya normal, tapi harus dijaga, boleh sesekali makan seafood, tapi jangan sering-sering, terus karena ngeliat kemajuan ibu yang tadinya nggak bisa ngomong sekarang udah bisa, saya optimis 3 Minggu ibu latihan jalan pakai tongkat, ibu bisa jalan normal lagi kaya biasa, cuma tolong kalo lagi belajar, diliatin, ditemenin, jangan sampai jatuh," jelas Fenhan.
"Saya ngasih ibu obat tekanan darah, biar tekanan darah bisa normal, nah bapak nih, tekanan darahnya rendah banget, pesen saya, beli obat penambah darah, banyak makan-makan daging, buah-buahan, kacang-kacangan, sama sayur ya pak," jelasnya.
"Ran, dengerin gue kan?" jawab Fenhan.
"Kuping gue masih bagus!" jawab Rania.
"Emang nggak ada adabnya banget jadi orang!" ledek Fenhan.
"Main ke rumah, ayah nanyain!"
"Iya ntar,"
Rania membawa Ibu dan Abah ke apotik rumah sakit, menanyakan perihal ketersediaan tongkat yang ibu butuhkan dan obat-obatan yang diberikan Fenhan.
"Sus, ada tongkat?" tanya Rania.
"Ada, yang Walker deluxe mbak," jawab suster tersebut.
"Oke, yang itu saya ambil, sama obatnya juga sekalian," ucap Rania.
"Obat sama biaya rumah sakitnya di gratisin sama dokter Fenhan mbak, jadi bayar tongkatnya aja," jelas Suster tersebut membuat Rania tertawa.
"Berapa mbak tongkatnya?" tanya Rania.
"295 ribu,"
"Bisa debit kan?"
"Bisa mbak,"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑬𝒌𝒔𝒕𝒓𝒐𝒗𝒆𝒓𝒕
FanfictionMuhammad Rian Ardianto, pria yang harusnya bisa menikmati hidup tenangnya lebih lama kini harus dihadapkan kenyataan bahwa dunia mengirimkannya perempuan tidak bisa diam, cerewet, banyak tingkah yang mampu memporak-porandakan kehidupannya yang tenan...