Reja, Deros, Ghanu, dan Yuga masih berada di kelas saat jam pulang berbunyi. Sekolah sudah sunyi dan hanya ada beberapa murid yang menunggu jemputan.
"Menurut lo ini bacaannya apa?" tanya Reja sambil menunjuk tulisan yang ada di mejanya. Tulisan itu tidak terlalu besar dan juga tidak rapi sehingga Reja kesulitan untuk menebak apa yang tertulis di mejanya itu.
"Swiade?" tanya Ghanu.
"Artinya apa, bego?"
"Dih! Lo ngatain gue bego? Terus lo pinter? Kalau lo pinter, kenapa gak tahu artinya?"
"Heh! Lo ngatain gue bego? Gue lebih pinter dari lo!" geram Reja karena lagi-lagi Ghanu menyebut-nyebut tentang otaknya.
"Bisa gak kalian jangan berantem? Kalau ada yang lihat gimana?" sela Yuga sambil menatap mereka jengah. Reja dan Ghanu memang selalu bertengkar, tiada hari tanpa ribut.
"Dia duluan," kata mereka serempak.
"Itu gak penting. Coba kalian perhatiin deh tulisannya," ujar Deros sambil mendekatkan wajahnya ke meja yang ada tulisannya.
"Suicide," kata Deros yang langsung mengenali tulisan itu.
"Bunuh diri?" tanya Reja. Deros mengangguk.
"Jadi, emang punya rencana bunuh diri," kata Yuga pelan.
"Enola, ylenol, das, etah, truh, nekorb," kata Deros membaca tulisan-tulisan yang mengelilingi tulisan 'suicide' dan berukuran lebih kecil.
"Alone, lonely, sad, hurt, broken," ujar Yuga menerjemahkan.
"Dia sengaja buat suicide lebih gampang dimengerti," kata Reja pelan.
🍁🍁🍁
Hari Senin adalah hari yang tidak disukai oleh kebanyakan murid. Hal itu dikarenakan para murid harus berdiri di lapangan yang panas untuk melaksanakan upacara bendera.
Padahal hanya berdiri di lapangan saja tidak sebanding dengan perjuangan para pahlawan yang begitu hebatnya mempertaruhkan nyawa untuk meraih kemerdekaan. Harusnya murid-murid itu bersyukur dan menghargai jasa-jasa para pahlawan dengan cara melaksanakan upacara bendera.
"Duh lama banget," keluh Nasha sambil mengipas-ngipas dirinya menggunakan kipas tari milik Nitya yang ia rampas tadi dari pemiliknya.
Belum ada tiga puluh menit berdiri di lapangan dan sudah banyak yang mengeluh. Banyak yang menghujat pembina upacara yang berbicara panjang lebar dengan suara yang tidak jelas mereka dengar.
"Saru gati munyine. Sing ngidang ningeh," gerutu Nitya yang merasa kepanasan juga. Ia sangat kesal pada Nasha yang merampas kipas tarinya padahal ia juga membutuhkan.
"Apa lo bilang, Nit?" tanya Deros yang berbaris di samping Nitya.
"Ah bukan apa-apa kok."
"Itu bahasa Bali ya?" tanya Deros.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASCULINE (END)
Fiksi RemajaMenyamar menjadi cowok kemayu? Tidak masalah bagi Reja Georiyan Madava, cowok emosian yang sifatnya seperti ranjau darat, bisa meledak walaupun cuma diinjak. Reja rela dibuli, direndahkan, dan dihina selama ia bisa sampai di tujuannya. Tidak sepenuh...