Luapkanlah walau tak bisa mengobati lukamu. Setidaknya kamu sedikit membuangnya walau masih ada yang tersisa.
Cahaya neon dari lampu yang berbentuk spiral mulai masuk melalui celah-celah kelopak mata. Sedikit demi sedikit hingga meruntuhkan kegelapan.
Terlihat selimut biru muda dan sprei dengan warna senada terpasang begitu rapih di sebuah kasur berukuran seratus dua puluh centimeter kali dua ratus centimeter yang terletak di samping tiang impusan.
Ruangan hening dan sepi. Sungguh sangat terasa asing. Ku coba menerka tempat apa ini. Mengapa aku sampai ada disini. Ya, dengan cepat aku mengingatnya. Bodoh! Kenapa aku bisa -bisanya pingsan depan base camp?
Pandanganku mulai terarah pada tiang impus. Kantong cairannya sepertiga sudah terkuras. Ini pasti terpasang dari kemarin sore. Kenapa aku? Mengapa hanya sekedar pingsan harus memakai impus an segala?
Kulihat jarum impus yang masih menempel di atas telapak tanganku. Aku terdiam. Rasanya memang ini adalah tempat yang tepat untuk ku saat ini. Aku tak bisa pergi begitu saja.
Ingatanku masih terpaku pada hujan kemarin sore. Mengapa dengan mudah dia pergi begitu saja saat aku memintanya dan kenapa aku tidak? Mengapa bisa aku mencintai luka sekeras ini. Sampai kapan aku bertahan.
Ku lihat engsel pintu ruang rawatku bergerak. Engsel berwarna perak itu mengarah ke bawah. Terdengar bunyi ceklik dan pergeseran pada pintu berwarna putih. Ya, psikiater muda itu menghampiriku.
" Lo udah bangun Ra? Gimana? Udah enakan?" tanya Bani menyapaku. Langkahnya mulai mendekat ke arah kursi yang berada di samping tempat tidurku.
Aku mulai bangkit dan menyenderkan punggungku di kepala kasur. Bibirku melempar senyum. Sesungguhnya aku merasa malu. Aku baru mengenalnya tapi sudah merepotkan.
" Gue udah enak kok. Sorry ya bikin repot. Tapi boleh gak gue minta impusannya di cabut aja," ucapku sambil menunjuk tiang impus.
Bani hanya menggelengkan kepala. Ia menolaknya. Ia terlihat ingin menahanku di base camp. Aku tahu dia penasaran dengan kondisiku sejak pertemuan kami tempo hari di rumah sakit saat aku terkena dehidrasi. Ya, psikiater muda ini jelas ingin menintrogasiku.
" Lebih baik lo disini. Tempat ini cocok buat tenangin diri sementara," ujarnya seraya duduk dan menatapku. Matanya begitu tajam seperti sedang mendiagnosaku.
" Gue kayanya mesti pulang. Nyokap pasti khawatir semaleman gue gak pulang," pintaku sedikit memaksa.
" Tenang aja Ra. Semalem gue telpon Momon biar kasih kabar sama nyokap lo. Ya alesannya lo jalan sama Momon," jawab Bani meyakinkanku.
Aku semakin terjebak dan tidak bisa pulang. Sebetulnya bukan karena tak merasa nyaman di base camp hanya saja aku malu sudah merepotkan Bani.
" Gue ga tau masalah apa yang bawa lo kemari. Tapi kalau mau cerita gue selalu siap denger. Ga perlu anggap gue seorang psikiater saat cerita. Itu ga akan nyaman. Tapi anggap aja gue Momon. Orang yang biasa jadi tempat curhat lo. Atau kalau perlu lo boleh rekam dan cerita apapun nanti gue denger. Gue pergi sekarang," ujar Bani sambil menepuk kecil tanganku.
Pria ini memang sangat pas menjadi psikiater. Pembawaannya sangat ramah dan memberi kenyamanan dalam perkataannya. Ya, walau begitu aku paling anti di introgasi. Itulah mengapa aku tak suka berkonsultasi pada psikolog ataupun psikiater. Tapi mendengar jawabannya tadi hatiku sedikit tergerak. Mungkin dia hanya bermaksud mendengar dan tidak menanyaiku.
Saat Bani beranjak selangkah dengan cepat ku tarik jas putihnya. Aku merasa tak kuat menahan bebanku lagi. Aku sudah bosan.
" Gue gak butuh ruang kosong. Gue butuh di dengar. Boleh gue minta lo disini tapi bukan sebagai psikiater?" pintaku sambil menundukan tatapanku.
Bani menoleh melempar senyum. Ia tak berucap apapun. Di tariknya kembali kursi yang tadi ia duduki. Pria itu pun duduk dan meluangkan waktunya untuk mendengarku.
" Gue yakin lo tau psikis gue ga baik-baik aja. Itu betul. Gue sadar. Saat ini gue lagi merasa insecure, terabaikan dan bukan siapa-siapa. Bertaun-taun gue lari dari itu semua. Gue pikir gue bisa. Tapi saat perasaan itu kembali. Gue sadar selama ini gue ga pernah lari. Gue cuma sembunyi. Berkali-kali gue kasih keyakinan sama diri gue sendiri kalo orang yang pernah mengabaikan gue melakukan itu untuk melatih gue jadi mandiri. Gue selalu berfikir positif dan ga mungkin dia pergi begitu aja. Tapi sekarang saat gue buka pintu untuk orang baru dan dia melakukan hal yang sama. Apa gue akan terus berpura-pura menganggap itu hal biasa? Gue sungguh merasa terabaikan. Gue butuh jawaban. Apa mereka mikirin gue?" ucapku meluapkan.
Suasana hening, aku sedikit menarik nafas memberi jeda pada luapanku. Bani masih mendengarkan dan memperhatikan setiap kata - kata dari ceritaku. Aku melanjutkannya.
" Dulu waktu bokap pilih ninggalin gue dan ibu. Gue masih berfikir itu hanya sementara. Gue bagian dari dunianya. Dia pasti kembali. Nyatanya gue liat dia punya sosok gue di tempat lain. Sosok itu mengganti gue dan gue terbuang. Tiap hari gue nunggu bokap balik. Gue yakin. Dan kalo pun dia ga datang itu karena dia mau gue mandiri. Walau gue tau bukan itu jawabannya. Dia ga pernah bisa jawab pertanyaannya gue. Saat Raga ninggalin gue dan minta gue pergi. Gue merasa de javu. Gue merasa terlempar dan masuk lorong waktu yang membawa gue ke masa lalu. Begitu terabaikannya kah gue?" ucapku lagi.
Aku terdiam sambil mengatur nafasku yang mulai terengah-engah seperti sedang lari maraton. Bani membiarkanku. Seketika aku sedikit merasa lega walau tanpa sadar aku sedari tadi menangis.
" Ra lo tau kenapa mereka pergi. Bukan karena lo wajar di abaikan. Tapi karena Tuhan tau mereka bukan yang terbaik. Pernah denger tentang seseorang yang di pinta untuk tinggal tapi dia menolak? Karena berapa kali pun lo minta dia yang berniat pergia akan tetep pergi. Begitulah kalau menaruh harapan pada manusia. Lo tau kenapa? Karena manusia punya ego Ra. Jadi gantungkanlah harapan lo cuma kepada Sang pencipta. Walau ga langsung terkabul dia tidak akan meningalkan. Dan kenapa setiap yang pergi ga bisa jawab pertanyaan lo ? Bukan karena mereka gak punya alesan tapi terkadang diam lebih baik dari pada menjawab tapi menyakiti. Yang perlu lo lakuin. Kasih pertanyaan itu buat diri lo sendiri. Apa aku memikirkanku? Itu yang paling tepat Ra," jelas Bani meyakinkanku perlahan.
Aku mulai menoleh ke arahnya. Mencerna omongannya. Ya, dia betul berharap mendapat jawaban pada orang yang tak mau menjawab hanyalah sia-sia. Apalagi berharap karma menghampirinya. Karena walau sejatinya karma itu ada tapi belum tentu ia hadir dalam segala peristiwa. Mungkin hanya dengan menguatkan dirilah cara yang paling tepat agar mampu menghadapi semua beban duniawi.
Bani masih memperhatikanku. Matanya membaca raut wajah dan sorot mataku. Dia betul-betul psikiater yang sangat detail. Gaya bicaranya sangat nyaman di telinga. Pria dengan alis yang sedikit tebal ini cukup pintar menganalisa.
Aku memang orang yang introvert. Sulit bagiku mengungkapkan apa yang kurasakan. Namun kepada Bani aku seperti terhipnotis.
Aku yakin dia sejak lama sudah mengobservasi psikisku. Bukan tidak mungkin saat aku bertemu dengannya di toko buku dan membeli buku karya tere liye berjudul ayahku (bukan) pembohong dia sudah bisa menganalisa depresiku.
Memang sudah seharusnya aku berkonsultasi. Ku akui psikisku rapuh. Luka di masa lalu berulang kali menarikku mundur untuk mengingat ya. Aku harus melepasnya.
" Apa sebaiknya gue harus pergi Ban?" tanyaku seraya menoleh ke arah Bani.
" Pergi dengan membawa luka gak enak Ra. Lo harus menyeleaaikan yang udah lo mulai. Kasih akhirannya. Jangan sampe di lain waktu yang tertinggal itu mencari lo lagi. Lo ga maukan tertarik lagi ke masa lalu?" ujar Bani sambil menepuk kecil bagian luar telapak tanganku.
Aku terdiam. Kali ini aku sungguh insecure bisa menghadapinya sebelum pergi. Mampukah aku mengakhirnya sendirian?
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Do you think Of me ? [ Lengkap ] ✔
Teen FictionKisah ini bermula ketika seorang gadis bernama Dira yang mencoba untuk menjalin relationship dengan pria bernama Raga. Hubungan yang sedari awal di sepakati untuk berjalan secara backstreet. Sampai suatu hari muncul perasaan terabaikan dan ingin di...