Pagi ini aku tidak mau ke sekolah bareng Raja. Bagaimana pun anggapannya tentang pengungkapanku malam tadi, aku tetap saja menanggung malu dan akan meminimalisir pertemuanku dengannya sebisa mungkin. Niat hati ingin segera mengeluarkan motor maticku dan langsung terbang, eh maksudku berangkat ke sekolah, percakapan mama dan papa justru mengambil alih perhatianku. Tumben sekali pagi ini mereka belum berangkat.
"Tapi ini nggak adil buat Alya, pa!" Aku bisa mendengar nada suara mama yang meninggi. Sebenarnya ini bukan urusanku, tapi berhubung mama menyebut namaku, jadilah aku berhenti melangkah sebentar dan menguping. Aku tau ini berdosa, tapi rasa penasaran telah mengelabuiku saat ini.
"Tapi Agung butuh ini, ma!" Suara papa pun tak kalah tinggi dari mama.
"Butuh apa, pa? Butuh liburan? Semua orang juga butuh liburan! Bukan cuma Agung! Kalau papa bolehin Agung untuk liburan sama teman-temannya, berarti Alya juga harus pergi liburan! Mama nggak mau tau!" Seru mama tak mau kalah.
"Pastiin Alya mau kuliah di jurusan bisnis baru papa izinin dia ikut liburan!" Papa mulai merendahkan intonasi bicaranya, mungkin sedang membujuk mama agar mau menerima keputusannya.
Cih! Paksaan macam apa itu? Aku tersenyum kecut setelahnya. Semakin kesini, aku merasa seperti tersadarkan oleh sesuatu tentang dimana bang Agung sudah terlanjur mengambil hati papa tanpa mau membaginya denganku. Bukan tentang liburannya yang ingin ku permasalahkan, tapi tentang perhatian papa yang kian hari kian menyusut. Tentang kasih sayang papa yang ingin ku pertanyakan, masihkah ada aku yang dibaluti kasih sayangnya? Atau mungkin aku justru sudah terlempar keluar dari garis kesayangannya.
Aku menyusuri rumah dengan dada yang terasa sesak, jika sedang seperti ini foto-foto yang terpajang di dinding rumah pun ikut ku benci. Bukan apa-apa, pasalnya di rumah ini tidak ada fotoku yang terpajang kecuali di kamarku sendiri, itu pun aku sendiri yang memajangnya. Aku tidak mengerti mengapa papa dan mama memajang semua foto bang Agung, apa mereka menganggap aku ini anak kecil yang tak akan tumbuh dengan sebuah perasaan ingin dipedulikan?
Aku sayang bang Agung, aku sayang papa, aku sayang mama. Tapi mengapa mereka justru menjadikan rasa iri dan benci seolah-olah selalu berhasil mengelabuiku? Mengapa orang yang aku sayangi justru mengajariku caranya membenci?
Sesakit ini rasanya terasingi dalam rumah sendiri, rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang dengan sambutan hangat nan penuh kasih sayang didalamnya, justru menjadi tempat perkembangbiakan iri dan benci.
Lantas, salahkah aku jika aku mengakui benar adanya rasa iri di hatiku pada bang Agung?
☆☆☆
Aku mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan di atas rata-rata, kalian boleh menyebutku setengah sadar sekarang. Karena, jika sedang tidak enak hati seperti ini, bahkan rasa takut pun tak ku kenali lagi. Aku tidak mungkin ke sekolah dengan deraian air mata seperti ini, aku tidak ingin bertemu Raja hari ini, pun aku tidak ingin pulang ke rumah. Dan yang aku inginkan hanyalah pergi mencari ketenangan. Jadilah aku dengan motorku yang terus ku lajukan menuju ke pelabuhan, pelabuhan sunda kelapa yang akan membawaku ke kepulauan seribu. Bukannya ingin berlibur, tapi aku hanya ingin ke rumah nenek, menghabiskan waktu bersama nenek adalah cara terampuhku mengobati luka hati. Setidaknya nenek selalu berhasil membuatku tersenyum.
Aku membeli tiket untuk masuk kapal dan mengantre sebentar untuk membawa ikut masuk motorku ke dalam kapal, setelahnya aku beranjak ke badan kapal, mencari tempat duduk yang ku rasa nyaman dan bisa menyuguhkan pemandangan yang bisa ku nikmati selama perjalanan empat jam kedepan.
Dan tidak lama setelahnya nakhoda menjalankan tugasnya dengan baik, kapal mulai bergerak meninggalkan tempat peristirahatannya dan bersiap melaju melawan ombak, mengantarkan seluruh isi kapal menuju tempat tujuan akhir. Aku duduk tenang di antara keriuhan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama denganku; sampai di kepulauan seribu dengan selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Teen FictionAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...