Suatu hari, aku terbangun karena merasa kedinginan, tubuh kakuku terasa diselimuti es batu yang mematikan, jari-jariku perlahan bergerak, hingga mataku yang sudah terpejam entah untuk berapa lama akhirnya kembali dimasuki cahaya, kepalaku rasanya seberat batu. Namun, aku tetap berusaha mengedarkan padanganku ke seluruh penjuru, berharap manusia yang terakhir kali kulihat sebelum mataku terpejam bisa hadir sebagai hal yang pertama kulihat ketika mataku kembali terbuka.
Namun, hasilnya nihil. Yang kudapati justru sesosok wanita paruh baya yang kini tertidur di atas kursi sembari menggenggam erat jemariku. Aku berusaha menarik jemariku yang ia genggam. Aku tidak sudi bersentuhan dengan wanita yang bahkan tak lagi berada dalam garis orang yang harus kusayangi apalagi kuhormati. Tapi rasanya berat sekali, bahkan untuk sekedar bernapas saja aku harus berusaha mati-matian.
Hingga entah berapa lama aku tersadar, barulah mama ikut terjaga. Mama berseru terharu dan langsung berhambur kepelukanku. Aku diam, tidak berkutik.
"Kamu mau apa, nak? Makan? Minum? Atau apa ada yang sakit? Mau mama panggilkan dokter?"
Tanpa menghiraukan suaranya, aku justru memikirkan Raja. "Raja dimana?"
Mama langsung mengangguk, air matanya bersimbah beriringan dengan jawabannya. "Ada, Raja ada di ruangan lain. Kamu harus sembuh, biar bisa ketemu dia!"
Tanpa peduli pada mama, aku menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Lantas dengan sekuat tenaga aku berusaha bangkit untuk menemui Raja. Pikiranku sudah dipenuhi olehnya begitu saja. "Aku mau ketemu dia sekarang!" Ujarku pelan.
"Jangan dulu, nak! Istirahat dulu, biar kamu benar-benar sembuh, baru kamu ketemu dia!" Mama menahanku yang hendak pergi dan menarik lepas tali infus yang terpasang.
"Jangan larang aku!" Hardikku dan tak mau mendengar larangannya.
Akhirnya, mama mengalah dan membantu berjalan, menyusuri lorong sepi rumah sakit dan berharap aku bisa menemui Raja dengan seringaian lebarnya disini, di dekatku.
Namun, yang kudapati justru mama Raja, sedang menunduk dan menahan isak tangisnya sendirian. Aku berjalan mendekat, "tante? Mana Raja, tante?"
Mendengar suaraku, mama Raja bangun dan berhambur memelukku. "Nak, akhirnya kamu bangun!" Mama Raja mengurai pelukannya. Membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya. "Kamu baik-baik aja kan? Ada yang sakit?"
Aku menggeleng. "Mana Raja, tante?" Aku kembali mengulang pertanyaanku.
Mama Raja menghapus air matanya. "Raja ada, dia di dalam!" Tunjuk mama Raja ke arah pintu yang ada di dekat kami. Aku mendekat ke pintu dan menjenguk ke dalam. Raja ada di sana, terbaring tanpa daya dililit oleh banyak peralatan medis. Tuhan, mengapa bukan aku saja yang ada disana?
Seketika, aku menangis sejadi-jadinya. Aku meraung tanpa peduli ini rumah sakit yang tidak boleh ada kebisingan di dalamnya. "Aku mau masuk!" Teriakku. "Aku mau Raja, aku mau ketemu Raja!" Mama Raja dan mamaku berusaha menenangkanku. Tapi bagaimana aku bisa tenang jika ketenanganku justru sedang melawan rasa sakitnya sendirian disana?
Mama Raja meraih wajahku. "Alya! Lihat tante!" Serunya lantang.
Aku yang sedang menangis dan meraung mau tidak mau harus melihatnya yang kini menatapku dengan mata yang dibanjiri air mata. "Raja baik-baik aja! Dia nggak mau liat kamu sedih. Jadi sekarang tenangi diri kamu, baru nanti kita ketemu Raja, oke?"
"Alya maunya sekarang, tante!" Lirihku.
"Raja nggak mau ketemuan sama orang yang lagi nangis. Kita harus baik-baik aja karena Raja juga baik-baik aja!"
Aku mengangguk pelan. "Alya mau ketemu Raja!" Aku tetap pada pendirianku.
"Tenangi diri kamu dulu, Alya!" Akhirnya, mama Raja kembali memelukku. Aku menangis dalam pelukannya. Hingga, kepalaku yang seberat batu ini kembali terasa seringan kapas, aku kembali tidak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Teen FictionAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...