Happy reading🌻🌻🌻
Apa benar hanya waktu yang memiliki kendali atas semua yang ada di dunia ini? Apa benar, perasaanpun dikendalikan waktu?
Ku rasa... kurasa jawabannya benar. Meski aku tidak memungkiri bahwa ada yang menuliskan bahwa beberapa luka itu tidak mengenal waktu, ia berlagak seperti noda membandel yang menempel pada pakaian dan sampai kapanpun tak kunjung menghilang.
Setelah seharian penuh menghabiskan waktu bersama Rifky, keadaan hatiku membaik. Aku mulai mencoba kembali masuk ke dalam dunia Raja, mencoba memahami situasi yang menuntutnya untuk pergi dan meninggalkanku begitu saja.
Cinta memang sebodoh itu, dengan sendirinya otak akan mecoba memahami hal-hal yang sebenarnya... nggak akan pernah menyatu dengan yang namanya logika. Bertolak belakang. Dan jauh sekali. Tapi, cinta hadir di tengah-tengah kejauhan itu yang membuat kita kembali mendekat dan mencoba mengait-ngaitkan ketidakwajaran hingga menyambung dengan logika.
Sebelum melanjutkan kisahku, aku ingin meminta maaf karena terkesan selalu saja menjadikan Rifky sebagai tempat pelampiasan. Aku tidak memiliki kontrol atas itu, jadi aku minta maaf untuk itu. Yang pasti aku benar-benar tidak memiliki niat sedemikian rupa. Aku benar-benar jujur ketika menuliskan tentang kenyamanan saat sedang berada di dekat Rifky.
"Selamat pagi!" Aku menaikkan sebelah alisku ketika mendapati Raja yang ternyata mengetuk pintu kamarku. Ia menyapaku dengan menunjukkan sebuah plastik yang sudah pasti berisi makanan di dalamnya.
"Ngapain lo?" Ketusku. Meski aku sudah ingin mengakhiri drama marahku dengannya, tapi ia tidak boleh mendapatkan senyumanku semudah itu.
"Pagi-pagi udah cemberut aja! Senyum dong!" Serunya dan mencolek pelan daguku.
Aku langsung menepisnya. "Gue tanya lo ngapain? Bukan nyuruh lo colek-colek gue!"
"Galak amat! Boleh dong gue masuk?" Tanyanya sembari mengintip kamarku yang pintunya hanya kubuka setengahnya saja. "Kangen gue sama kamar gue!" Serunya dan langsung mengambil alih pintu yang menjadi sandaranku untuk ia buka lebar-lebar lantas ia masuki sekenanya saja.
"Rajaaa!" Aku berteriak kesal karenanya. "Gue masih kesal sama lo, gue belum mau main dan ngomong sama lo!" Ketusku sambil melipat tangan di depan dada.
"Gue bawain nasi uduk nih, kasian kalau nggak dimakan!" Serunya setelah duduk tenang di lantai kamarku dan membuka sebungkus nasi uduk yang dibawanya.
Melihatnya kembali bertingkah menyebalkan seperti ini justru tidak membuatku merasa kesal seperti biasanya. Aku justru merasa senang, hatiku berdesir melihatnya yang tersenyum merekah. Rajaku telah kembali.
"Kemarin aja tu nangis-nangis minta dimaafin, sekarang beh udah balik lagi nggak tau dirinya!" Celutukku dan ikut duduk di sebelahnya serta meraih sebungkus nasi uduk yang di bawanya.
Ia terkekeh mendengarku. "Tapi beneran dimaafin kan, Al?" Suaranya yang sedari nyeleneh sekarang berubah serius.
Aku mengedikkan bahu, nasi uduk bawaannya itu terlihat lebih menarik dari pada pertanyaan Raja. "Al! Jawab dong!" Serunya lantas mengambil alih nasi uduk yang ada di tanganku.
"Jangan nyebelin deh, nanti nggak jadi gue maafin!" Aku kembali mengambil nasi uduk tersebut.
Ia terkekeh, mengacak pelan rambutku dengan tangannya yang sudah kotor karena sudah menyuap nasi sedari tadi. "Ja! Kotor tangannya ih!" Gerutuku kesal.
"Beneran dimaafin kan?" Senyumnya kembali merekah.
"Tapi harus janji dulu!"
"Janji apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Teen FictionAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...