Aku menyeka air mataku, bahkan untuk membebaskan diri dari dekapannya saja aku tak mampu. Ingin rasanya begini saja, tanpa harus pergi lagi, tanpa harus berusaha melupakan lagi.
"Jangan pergi lagi ya, Al?"
Aku tak berkutik, tidak mengagguk dan tidak menggeleng. "Gua hampir gila karena kehilangan lo, membiarkan lo pergi adalah bagian terbodoh dalam hidup gue!"
Begitu manikku menangkap sosok Naya yang duduk tenang di tempat yang diduduki Raja beberapa saat lalu, membuat akal sehatku kembali hadir. Naya mencintai Raja, umurnya tidak lama lagi jadi aku tidak boleh egois dengan mengumbar rasa cintaku pada Raja. Aku mendorong kuat tubuh Raja agar ia menjauh.
Raja menyeka air matanya dan mengernyit. "Kenapa, Al?" Tanyanya frustasi.
Aku memandang Raja sebentar, lantas beralih pada Naya yang memilih diam. Suara pengakuan Naya tentang perasaannya malam itu seolah menggema di telingaku. "Kita nggak bisa gini!" Ujarku lemah lantas berlalu dari hadapannya. Namun, Raja mencekalku dengan segera.
"Jangan buat gue beneran gila. Jangan pergi lagi, gue mohon!"
Aku menggeleng pelan dan melepas tangannya yang memegang tanganku. "Gue nggak akan pergi lagi, akan gue hadapi semuanya. Tapi sekarang, gue butuh waktu untuk sendiri. Biarin gue sendiri dulu!"
Setelahnya Raja tak lagi bersuara, tangannya melepaskan tanganku sepenuhnya, ia mengangguk lemah dan perlahan mundur. Setelahnya aku pun beranjak.
Mama yang semulanya duduk dengan air mata yang tak kunjung mengering dan ditemani papa di sampingnya, buru-buru menghapus air matanya dan bangun dari duduknya begitu melihat aku melangkah masuk lebih dalam. Aku berhenti sebentar dan menatap mama yang... sepertinya menyambut kedatanganku. Mama merentangkan tangannya sedikit, berharap aku mau berhambur kepelukannya seperti yang kulakukan pada Raja beberapa saat lalu.
Aku menatap mama sebentar, lantas beralih menatap papa. Mata papa terlihat sembab, ada jejak air mata di wajahnya. Apa aku tidak salah melihat? Benarkah seorang dokter Jafar Purnawarman menangis? Rasanya sangat mustahil.
Aku memilih abai kepada keduanya yang membuat mama melirih, "nak?" Panggil mama dengan suara yang nyaris tak terdengar. Aku berdiri sejenak karena panggilannya.
"Ini mama, sayang!"
Aku menggeleng pelan, lantas segera berlalu tanpa peduli lagi, bahkan ketika mama berteriak pelan memanggilku untuk kembali.
Selanjutnya aku beranjak ke dapur, mencari air putih dingin yang mungkin bisa menyegarkan tubuhku kembali. Di dapur ada banyak orang, ada mama Naya dan mama Raja yang sedang membantu berberes, pun beberapa tetangga lain yang terlihat sibuk merapikan banyak hal. Aku duduk dan menuangkan segelas air putih dingin, mataku tertuju ke halaman belakang, tempat dimana aku, kakek, dan nenek biasanya menghabiskan waktu bersama jika aku sedang pulang ke sini.
Setelah meneguk habis air dalam gelas, aku beranjak keluar, tanpa sadar seulas senyum terbit di wajahku kala melihat dua anak manusia yang sedang duduk bersampingan. Sepertinya si gadis sedang menguatkan hati lelakinya yang terlihat rapuh. Si gadis memberikan bahunya sebagai tempat bersandar lelakinya. Aku beranjak mendekat, sayup-sayup bisa kudengar suara mereka.
"Kayaknya habis ini, aku yang pergi!" Ujar bang Agung. Dan... gadis yang di sampingnya adalah kak Dinda.
"Jangan aneh-aneh deh, Gung!"
"Nggak aneh, Din, kemarin Alya yang pergi, sekarang kakek dan nenek, jadi wajar-wajar aja kalau besok adalah giliranku." Bang Agung memberi jeda. "Lagian, mana bisa aku bertahan sendirian?"
"Kan abang punya kak Dinda!" Belum sempat kak Dinda menyahuti suara abang, aku terlebih dahulu menyela, dan setelahnya aku duduk di samping mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Teen FictionAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...