Mungkin, pada bab sebelumnya aku sudah pernah menuliskan tentang hidup yang hanyalah sebuah siklus. Datang dan pergi. Sakit dan sehat. Sedih dan bahagia. Lapar dan kenyang. Dan begitu seterusnya.
Tentang hidup yang berada di atas roda takdir, maka sangat lah wajar jika setelah kabar baik kita akan bertemu kabar buruk. Setelah melaju pada garis kebahagiaan, maka kita akan meluncur ke dalam kesedihan yang juga pasti akan terlewatkan.
Beberapa minggu setelah kepulangan Raja, akhirnya ia kembali datang untuk menjemputku. Jadwal operasi Naya sudah diatur oleh pihak rumah sakit karena sesuai dengan janji si pendonor jika akhir bulan dia belum sadarkan diri, maka ia mengikhlaskan jantungnya untuk Naya.
Hari ini, Raja berjanji akan menjemputku di kampus. Oleh karenanya, aku memutuskan untuk hadir di kelas dan baru mengambil libur mulai hari besok. Sembari menunggu Raja yang katanya akan sampai tiga puluh menit lagi, aku memutuskan untuk melipir ke kantin begitu dosen yang mengajar di kelasku angkat kaki dari hadapan para mahasiswa.
Dengan membawa perut lapar yang berharap segera bisa diisi, aku membeli sepiring nasi padang dan menyantapnya sendirian. Dari awal masuk kuliah, aku memang selalu sendiri. Malas untuk mencari teman jika ujung-ujungnya berakhiran dari sekedar yang kuinginkan.
"Sendirian terus!" Seseorang dengan kemeja kotak-kotak yang dibuka kancingnya dan menampakkan kaos hitam yang menempel pada tubuhnya menarik kursi yang ada dihadapanku lantas didudukinya.
Aku menatapnya jengah. Namanya Ramon. Aku tidak tau nama lengkapnya. Yang aku tau, dia adalah kakak tingkatku yang sekarang sedang gencar mendekatiku. Bukan karena dia mencintaiku. Tapi karena taruhan. Aku sendiri tidak tau mengapa aku yang mereka pilih sebagai incaran. Awalnya aku juga tidak tau akan hal itu, tapi seorang teman sekelasku memberitahuku dan setelahnya aku langsung waspada padanya.
Penampilannya saja jauh dari khas seorang mahasiswa. Dengan rambut panjang ikalnya yang ia ikat menambah kesan ketidakseriusannya dalam kedisiplinan. Bahkan sekarang ia sudah menyelipkan sebatang rokok di antara dua bibirnya padahal ia tahu persis bahwa mahasiswa dilarang merokok di area kampus.
Aku memilih menghiraukannya dengan terus melahap nasi padang yang ada di hadapanku. Melihatku yang acuh, ia meniupkan asap rokoknya ke depan wajahku sampai membuatku terbatuk-batuk. Kurang ajar sekali makhluk ini. Apa dia tidak ikut dalam antrean pembagian akhlak sampai tidak memiliki akhlak seperti ini?
"Kakak kurang kerjaan apa gimana sih?" Ketusku.
Melihatku yang menahan marah, ia justru tersenyum miring. "Makanya, kalau diajak ngomong itu jangan jadi patung!"
"Suka-suka saya dong! Kenapa kakak yang sewot!"
Seringaiannya bertambah kentara. "Nantang lo ya? Gue niat deketin lo baik-baik, tapi kalau lo mau gue kasar, oke gue nggak masalah! Dan satu hal yang harus lo tau, sebelumnya nggak ada cewek yang berani nolak gue, jadi gue nggak mau lo tolak!"
"Apa niat mendekati karena berharap menang taruhan itu baik-baik?" Aku menantang maniknya yang kini menatapku geram. Aku tidak takut. Takutku hanya pada Tuhan. "Dan tentang kakak yang nggak pernah dan nggak mau ditolak itu bukan urusan saya!"
Setelahnya, ia membuang puntung rokoknya, dan detik berikutnya, ia mencengkeram erat pergelangan tanganku. "Mau lo apa sih?" Geramnya.
"Saya nggak mau dijadiin bahan taruhan!"
"Lo itu..." baru saja ia hendak melayangkan satu tamparan kepada pipiku, seseorang berhasil menahan tangannya. Aku yang sempat memejamkan mata karena sudah terbayang dengan apa yang akan aku terima kembali membuka mataku ketika mendengar suara yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta. Lagi dan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Fiksi RemajaAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...