Seusai shalat subuh, aku yang biasanya akan kembali meringkuk di atas tempat tidur tanpa banyak basa basi, kini memilih bersimpuh di atas sajadah, air mataku belum mau mengering sejak malam tadi, dalam kesepian aku menangis sendirian, pelan, tanpa suara.
Pagi ini aku juga terbangun sebelum azan berkumandang, aku mengadu kepada semesta tentang ingin yang tak kunjung berwujud hingga bisa kugenggam, aku merayu Tuhan agar sudi menjadikan anganku sebagai hal terbaik dalam hidupku tanpa harus repot-repot membuatkan cerita lain untukku. Aku mohon, aku benar-benar ingin didengarkan.
Seiring dengan air mata yang kembali ku seka ketika lagi-lagi membasahi pipi, pintu kamarku terbuka dari luar, seseorang masuk dan menghidupkan lampu kamar yang telah kumatikan sejak aku beranjak tidur malam tadi. Meski aku sadar akan hal itu, aku tetap belum mau mengangkat kepalaku yang kujatuhkan ke atas sajadah.
"Alya!" Itu suara mama.
Aku mendongak dan menatap mama yang kini duduk di sofa yang ada di kamarku. "Iya, ma?"
Mama mengernyit ketika melihat wajahku yang kacau dan berantakan lengkap dengan mata sembab dan berair. "Kamu kenapa? Nangis?"
Aku menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa kok!" Bercerita kepada mama pun tak akan mengubah apapun, bahkan untuk sekedar meringankan pikiran pun tidak akan bisa.
Mama sudah siap dengan pakaian kerjanya, meski sedang berbicara denganku, matanya tetap fokus menatap layar ponselnya. Aku menepuk dada yang terasa sesak, mungkin para remaja lain akan berlarian untuk berhambur ke dalam dekapan ibunya ketika sedang patah hati. Namun, aku tidak melakukan itu, bahkan aku mengenal patah hati saja dari ibuku sendiri, lantas untuk apa aku berhambur ke pelukannya?
Mama kembali memandangku sebentar. "Ya sudah kalau tidak ada apa-apa, karena kamu nggak kasih jawaban ke mama soal kampus mana yang jadi pilihan kamu, jadi mama udah tentuin sendiri, dan besok tesnya diadakan, jadi mama minta kamu siap-siap!"
Air mataku kembali berderai. "Alya nggak mau, ma!" Aku tetap menolak meski tidak sekeras biasanya.
Mama bangkit dari duduknya. "Dengerin mama dan jangan nyusahin!"
Aku tersenyum sumbang setelahnya. "Alya nggak akan nyusahin mama lagi! Mama tenang aja, Alya janji nggak akan pernah nyusahin mama!"
"Kamu ngomong apa sih? Apa susahnya coba dengerin mama?"
"Mama mau didengerin?"
"Bukan mau, Al, tapi harus!"
"Jadi kenapa selama ini mama nggak pernah mau mendengar?"
Mama menghela napas berat, memijit keningnya sebentar. "Mama sibuk, harus pergi, besok pagi mama bakalan anterin kamu ke tempat tes!" Setelahnya mama langsung berlalu.
Aku menghela napas berat, kupeluk lututuku sendiri, aku kembali menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar tidak bisa berpikir sehat sekarang. Yang ada di kepalaku hanya aku yang tidak berguna sebagai anak, aku yang tidak pantas untuk dicintai, aku yang hanya bisa menjadi beban untuk orang-orang yang berada dalam lingkaran hidupku.
Jika memang begitu... lebih baik aku pergi.
Mama, papa... ini bukan tentang kebencian Alya kepada keegoisan kalian, ini tentang Alya yang gagal memahami kemauan dan gagal masuk ke dunia kalian.
Mama, papa... Alya tau kalian sibuk, mencari rezeki untuk menafkahi Alya dan bang Agung sebagai anak mama dan papa. Tapi jauh di dalam lubuk hati Alya, Alya sangat berharap kalau mama dan papa bisa lebih sedikit perhatian. Ma, pa, nggak salah kan kalau Alya minta perhatian dari orang tua Alya sendiri? Andai saja perhatian itu bisa dibeli, Alya yakin Alya nggak akan pernah memintanya kepada mama dan papa karena selama ini Alya nggak pernah kekurangan seribu rupiah pun. Tapi sayang, nggak ada pedagang perhatian dan kasih sayang di dunia ini, ma, pa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR CERITA [COMPLETED]✔
Teen FictionAku Alya. Orang yang hatinya terbuat dari baja. Berkali-kali jatuh dan patah. Tetapi perasaan terus saja membawa hatiku ke lembah yang sama. Tentang mencintai, cemburu, patah hati, bersabar, hingga mengiklaskan sudah pernah ku rasakan. Tapi kenapa...