38 : Hujan

5.7K 222 34
                                    

Keina lompat turun dari bus kota. Hari sudah gelap dan langit sudah tak sabar menumpahkan rerintikan hujan. Perlahan tetesan itu turun. Keina berlari memasuki perumahan.

Jadi dulu pas dia bilang perempuan gakboleh pulang sore-sore sendirian, itu apa? Keluh Keina sambil berlari dalam hujan.

Jadi saat dia bilang dia sayang sama aku dan saat itu juga dia biarin aku untuk pulang sendiri, itu yang namanya sayang?

Hujan semakin deras dan Keina memutuskan bahwa ini waktu yang tepat untuk menangis sepuas hatinya. Tak banyak orang di luar rumah selagi hujan begini, dan air hujan akan menyamarkan air matanya. Selagi hujan dan air mata Keina sedang deras-derasnya, sebuah mobil dari arah berlawanan memperlambat lajunya hingga berhenti. Keina tampak tak peduli dan terus berlari. Klakson dari mobil itu berbunyi.

Keina berhenti.

Apa klakson itu buatku?

Saat Keina berbalik badan, seorang laki-laki berlari menghampirinya. Dan saat itulah baru Keina sadari mobil itu adalah mobil yang sangat dikenalnya, tak salah lagi, dan sekarang pemilik mobil itu pun ada di hadapannya.

"Kamu ngapain hujan-hujanan gini hah?!"

Revan memegang lengan Keina dengan cukup kencang. Keina hanya mematung sementara air matanya masih mengalir.

"Jangan bodoh Keina, ini hujan, ayo masuk ke mobil."

"Apa kakak sendiri gak bodoh ngapain ikut aku hujan-hujanan di sini?!"

Revan menyernyit menatap Keina.

"Kalo kakak gak berhenti dan gak ada di sini, cuma satu orang yang kehujanan, dan sekarang, ada dua orang!"

"Keina.." Revan menatap Keina lekat-lekat.

Keina hanya diam. Ia sadar telah melakukan apa yang tak seharusnya ia lakukan. Seumur hidupnya ia tak pernah berkata kasar dengan Revan. Revan sudah seperti Kakaknya sendiri.

Revan menaruh dua tangannya di kening Keina dengan telapak menghadap bawah untuk menghalangi air hujan di wajah Keina. Nampak jelas lah air mata yang mengalir itu.

"Kamu rela sakit untuk nutupin ini? Air mata?"

Keina memejamkan mata dan menurunkan tangan Revan dari keningnya. Revan tak menolak.

"Kamu gakperlu nutupin apa-apa dari aku. Nangis depan aku, apapun alasannya. Gak perlu ngerasa malu."

"Kita bisa masuk dulu ke mobil dan di sana kamu boleh nangis sepuas kamu,"

Keina membuka matanya dan menatap Revan dengan penuh haru. Seperti tatapan untuk meyakinkan bahwa perkataan Revan tidak main-main.

"Ke mobil ya?"

Keina tak menjawab namun tak menolak ketika lengan Revan melingkar di bahunya dan menuntunnya menuju mobil yang tak disangka sudah cukup jauh.

"Kakak kenapa sih ninggalin mobil masih nyala gini?"

"Tanya aja sama diri kamu, kenapa pake lari?" Revan mendudukan Keina di kursi penumpang dan sudah menutup pintu sebelum Keina berkata apa-apa lagi. Ia jalan memutar menuju kursi kemudi, menutup pintu, lalu memandang Keina.

"Mau langsung pulang, atau.."

"Lima menit."

"Ok."

Revan mengetuk-ketuk stir sambil beberapa kali melirik jam tangannya. Keadaan di mobil hening. Keina hanya memandangi hujan dari jendela sementara mobil belum juga melaju..

"Udah tiga menit dan.. Aku belum denger kamu jerit-jerit, Kei?"

"Aku gakmau nangis,"

"Hm?"

KEINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang