÷
Pagi yang cerah.
Mungkin juga menjadi keajaiban lain bagi Irene karena ketika dia membuka mata, sebuah suara rintikan air di kamar mandi seolah memberitahukan sesuatu padanya.
Namun begitu melihat satu jubah putih familiar di keranjang baju - baju kotor, Irene tahu, dia tak perlu lagi merasa cemas.
Tanpa pikir panjang, Ia melepaskan gaun tidur hitamnya; melangkahkan kaki masuk kedalam ruang yang sama dan tak tanggung - tanggung, memeluk punggung di hadapannya bersama sambutan air hangat nan sedikit demi sedikit membasahi seluruh permukaan kulitnya.
"Aku membangunkanmu?"
Irene ingin sekali berucap banyak. Bahkan sejujurnya Ia sudah menyiapkan sederet cerita tentang kesehariannya selama dua minggu terakhir di dalam rumah sendirian sebelum akhirnya mendapat kabar bahwa dia negatif. Namun ketika Joy berbalik, bibirnya mendadak kelu. Terlalu banyak rindu yang membanjir hingga mungkin kata - kata tidak cukup menjabarkannya. Pada akhirnya Ia hanya mendongak, memakukan mata pada wajah di depannya; menangkup dua pipi yang tampak sama persis seperti sebelumnya menggunakan jari - jari bergetarnya.
"Ini kau, 'kan? Ini nyata, bukan?"
Irene kira segalanya hanya halusinasinya sebab Joy hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi semua kerisauan terhapuskan tepat ketika Joy sedikit merendahkan kepalanya lantas mempertemukan bibirnya sendiri dengan milik wanita mungil favoritnya itu.
"Aku sudah bilang, semua akan baik - baik saja."
"Sooyoung, aku sangat merindukanmu."
Tidak peduli dimana mereka sekarang, Irene serta–merta menarik tubuh Joy semakin kebawah hanya supaya Ia bisa mengalungkan dua lengan mungilnya ke sekitar leher perempuan yang lebih tinggi. Menekan bibir tipisnya ke bahu Joy sambil sesekali mengecupnya lembut.
"Aku merindukanmu."
Seolah tak perlu menunggu perintah, Irene dengan sendirinya melingkarkan dua kaki kecilnya di pinggang Joy ketika Ia merasakan dua tangan nan awalnya berada di punggung, perlahan turun ke paha belakangnya.
Irene pun merasakannya.
Suasana hangat menyentuh berangsur semakin panas penuh nafsu kala Joy mulai menghujani dada atasnya dengan ciuman agak keras sampai menimbulkan bunyi kecapan.
"Kau tidak lelah, Soo?"
Pertanyaan bodoh. Nyatanya Irene malah berharap Joy mengatakan tidak dan melanjutkan sesuatu yang sempat terhenti.
Ikatan batin.
Mungkin keduanya pun terlalu mendamba sentuhan satu sama lain hingga mata mereka semakin sayu akibat kabut nafsu beranjak semakin besar sampai perlahan lahan mengambil kesadaran mereka.
"Tidak. Apa kau lelah?"
Dan ketika Irene memutuskan untuk menjawabnya dengan menelusupkan lidah kedalam mulut istrinya, Ia tahu tak ada langkah mundur. Lagipula tidak terdapat secuilpun keinginan agar semuanya berhenti.
Tidak bisa berbohong, dia juga menginginkan Joy.
Sekarang.
Bukan nanti - nanti.
÷
Regards
- C