÷
"Babe, siapa Rosé?"
Bersamaan dengan Joy yang keluar dari kamar sambil tak henti menggesekkan handuk biru gelap ke rambut basahnya, Irene pun juga tidak ingin mengalihkan mata dari ponsel bergetar di genggaman; ponsel Joy lebih tepatnya.
"Dia intern. Dokter kepala menyuruhku mendampinginya beberapa minggu terakhir."
Berbeda dengan Irene nan perlahan mengeratkan cengkeraman di benda persegi tersebut, Joy bahkan seolah tak peduli bila Irene tampak siap menyerang gadis tak bersalah di seberang itu kapan saja. Tapi itu semua sebelum Joy melangkah ke sofa terdekat lalu menjatuhkan diri dengan teramat sangat santai.
"Jawab saja. Biasanya dia hanya melaporkan beberapa hal."
Panas di hati Irene mendadak digantikan oleh rasa bersalah diikuti bibir mencebik; bingung antara harus menjawabnya sendiri atau memberikannya pada Joy. Pada akhirnya ke–sensitifan menang dan Irene memilih untuk mencari kepastian daripada menimbun kegelisahan. Digesernya lingkaran hijau disusul menempelkan benda tersebut ke telinga kanannya.
"Halo, Kak Joy(?)"
Kak?! KAK?!!!
Secara tak sadar Irene sudah menembakkan tatapan tak percaya pada wanita berwajah inosen di sofa yang tengah mengganti - ganti chanel televisi.
"Uhm maaf, aku istrinya. Is there anything i can help you with?"
"O—oh(?)"
Irene kira itu hanya sebuah respon singkat yang akan segera disusul dengan menjelaskan tujuannya menelfon sejak awal. Tapi ketika lebih dari 10 detik berlalu dan Irene tak mendengar apapun selain bunyi mesin - mesin pengobatan, Irene mendadak merasa geram sekaligus bertanya - tanya.
"Is . there . anything . i . can . help . you . with?"
Dengan setiap jeda nan dia tekankan antar katanya, jelas membuat Joy menoleh, bertepatan dengan suara gugup seseorang di seberang.
"U—uh, S–saya hanya ingin memberi tahu kalau Kak —maksud saya Dr. Joy, bisa beristirahat dulu sampai dokter kepala menghubungi."
"Oke, nanti akan saya sampaikan. Terimakasih informasinya."
Menutup panggilan secara sepihak tentu bukan sikap yang menunjukkan kesopanan. Apalagi Irene adalah seorang dosen nan seharusnya tahu apa itu attitude. Hanya saja kekesalan telah memuncak dalam hati sehingga Ia tak tahan untuk segera menekan icon lingkaran merah dibawah. Mengangkat ponsel sampai setara dengan posisi kepala, Irene bahkan semakin dibuat kehilangan kata kala Joy hanya mengendikkan bahu sebagai respon.
"Dilihat dari reaksinya, dia tidak tahu kalau kau menyukai sesama jenis(?)"
"Maybe(?)"
Untuk kali ini Irene sungguh menarik seluruh ucapan tentang kepekaan Joy. Nyatanya kerutan dalam di dahi Irene masih belum diartikan oleh si gadis tinggi yang masih terus menatap Irene dengan sorot kebingungan.
"Dan dia bahkan tidak tahu kau sudah punya istri! And what? 'Kak'?!! Apa - apaan itu?!"
Baru setelah nada bicara Irene semakin tinggi, Joy akhirnya terkekeh geli. Pada dasarnya Joy memang tak pernah marah jika Irene begitu posesif. Di mata Joy, kondisi dimana Irene menggembungkan pipi sambil mengerucutkan bibir ditemani dengan ocehan - ocehan nyaringnya, menjadi hiburan tersendiri dan selalu menyenangkan untuk dinikmati.
"Are you jealous?"
"No, I'm not!"
Namun kembali lagi, mereka memutuskan menikah karena mereka tak bisa benar - benar meninggalkan satu sama lain sepenuhnya, maka ketika Joy menepuk sela di sebelah kirinya, Irene langsung duduk disana tanpa pikir panjang. Yah, walaupun dengan tangan tersilang di depan dada dan bibir nan masih seperti sebelumnya.
"Awww, cutie Bae~~"
Merasa tak bersalah sama sekali, Joy justru merangkul bahu mungil istrinya disusul menggesekkan ujung hidung di pipi Irene dan sesekali menekannya.
"Stop!! Aku perlu statement dan kau harus menjelaskan!"
Intonasi emosi Irene tak sekalipun menggoyahkan persepsi Joy yang memandang hal ini sebagai salah satu sifat menggemaskan Irene. Nyatanya Joy tetap memandang sisi wajah Irene dengan mata berbinarnya.
"Okay, jadi dia intern, aku sudah menyebutkan itu tadi. Lalu aku memang tidak memberitahunya kalau aku homosexual serta sudah menikah karena... untuk apa? Itu kehidupan pribadiku dan dia bukan seorang penting yang pantas kubagikan informasi semacam ini. Kami bahkan tidak saling menyapa jika tidak ada keperluan. Apa itu cukup menghapus kegelisahanmu?"
Berangsur menggunakan dua tangan untuk memeluk Irene dari samping kemudian perlahan meletakkan dagu di pundak kecilnya, Joy tidak mau menghilangkan senyumnya barang sedetik saja. Tapi tampaknya Irene masih menimbang lagi apa yangg harus ditanyakan agar semua jelas sebab Ia sama sekali tak berniat bergerak sedikitpun dari posisi awalnya; masih menolak menatap istrinya.
"Come on, Hyun. Aku mencintaimu lebih dari 7 tahun. Apa masih belum cukup meyakinkan?"
Menaikkan level, Joy mulai menciumi pipi Irene berkali - kali sampai akhirnya Irene menyerah lantas menoleh.
"Janji?!"
Senyum Joy kembali mengembang.
"Janji apa, sayang?"
"Janji kalau kau tidak akan tergoda menyukai siapapun selain aku?!"
"Astaga, Hyun. Jangankan berjanji, aku bahkan sudah bersumpah di depan altar, kau lupa?"
"Mmh, tidak mau. Berjanji dulu!"
Sungguh. Joy benar - benar lemah jika Irene sudah menggelengkan kepala seperti balita ketika keinginannya tidak sesuai. Selain karena dia tidak marah akibat kecemburuan Irene nan terkesan berlebihan, Joy pun juga suka ketika Irene memperhatikan setiap detail. Jadilah Joy menyerahkan diri dengan menggesekkan lagi hidungnya dengan pucuk hidung Irene.
"Baiklah, baiklah. Aku janji."
÷
Noooo, i can't. This is so uwuu :"")
Regards
- C