19

696 100 7
                                    

Naruto telah resmi menjadi mahasiswa sekarang. Hampir sebagian besar waktu dia habiskan di kampus. Saat punya waktu luang, biasanya dia memanfaatkan waktu tersebut untuk jalan-jalan dengan Kiba---Naruto masih belum begitu familier dengan Tokyo, dia harus mengenal dengan baik lingkungan di tempat yang akan dia tinggali hingga wisuda nanti.

Karin pun semakin jarang terlihat di rumah. Pekerjaan yang menumpuk karena dia terlalu berleha-leha selama beberapa waktu terakhir membuatnya harus lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Karin akan pergi ke kantor saat Naruto belum bangun, dan akan pulang saat Naruto sudah tidur.

Intensitas pertemuan Karin dan Naruto menjadi semakin sedikit karena kesibukan masing-masing, membuat mereka seakan lupa apa yang terjadi dua minggu yang lalu. Semua kejadian beruntun yang memusingkan mereka saat itu seakan hilang tanpa bekas dari ingatan.

"Oh? Kau tidak lembur?"

Naruto yang baru saja masuk ke apartemen terheran-heran di depan pintu. Melepas sepatu, ia berjalan ke arah Karin yang sedang berbaring di sofa dengan wajah yang diselimuti irisan timun.

"Kurasa kau bisa membeli pabrik masker wajah dengan gajimu," komentar Naruto berlebihan sambil menggeleng. Tangannya menarik satu irisan timun dari wajah Karin dan memasukannya ke mulutnya. "Kau terlalu kuno untuk seukuran wanita karir era sekarang."

"Kau mau pergi dari sini secara mandiri atau butuh bantuanku?"

"Kau terlalu dingin padaku akhir-akhir ini," gerutu anak itu sambil berjalan menjauhi Karin. "Aku bertemu dengan kakak perempuan Kiba tadi, dia memintaku untuk mengirimkan salam rindunya untukmu."

Karin terlonjak seketika. "Hana? Inuzuka Hana? Apa yang dia katakan padamu selain itu?"

"Entah, aku tak bisa menjawab karena kau sudah mengusirku."

"HEI! KATAKAN PADAKU---ah, sial ...." Karin memungut irisan timunnya dengan kesal. "Apa yang perempuan menyebalkan itu katakan pada Naruto? Dia tak mengatakan kalau kami pernah punya hubungan khusus, kan?"

Naruto merebahkan diri di atas kasur sambil membuang napas keras-keras. Ia menatap plafon dengan pandangan kosong.

Meskipun terlihat seperti biasa, dua minggu terakhir ini terasa aneh bagi Naruto. Ia menjalani hari-harinya dengan perasaan yang kosong. Semangatnya seakan ditelan bumi. Ia agak bingung karena seperti sedang merasakan kehilangan saat semuanya sedang baik-baik saja.

Apa yang salah? Apa yang membuatnya hilang semangat? Apa yang membuatnya merasa ada yang kurang?

Naruto mengacak rambutnya frustrasi, lalu berguling hingga terjatuh di karpet. Anak itu berdiri, lalu keluar dari kamar, menuju pintu depan apartemen. Karin melirik keponakannya dengan penasaran.

"Mau ke mana lagi kau? Kupatahkan kakimu kalau kau berani pergi ke rumah Kiba---"

"Kau dan Kak Hana yang putus, kenapa aku yang dilarang ke sana?"

Mengabaikan Karin yang mengalami kejang dadakan karena disetrum oleh perkataan Naruto, Uzumaki muda itu lalu meninggalkan apartemen. Tujuannya adalah sebuah kedai ramen yang lokasinya lumayan jauh dari gedung apartemen.

Menikmati dinginnya udara malam sambil bersiul santai di bawah temaram lampu jalan, Naruto tak sadar kalau ada seseorang yang menatapnya dalam-dalam. Orang itu berjalan dari arah yang berlawanan, tak sedetik pun melepas pandangan dari Naruto.

"Tampaknya kau baik-baik saja."

Naruto mengangkat kepala, dan seketika juga ia mematung. Laki-laki berkulit pucat di hadapan menatapnya dari kepala hingga kaki, terlihat sedang memastikan sesuatu.

"Kau masih seperti biasa. Syukurlah."

Tak masuk akal. Naruto merasa tak masuk akal saat dadanya yang terasa kosong selama dua minggu belakangan seakan baru saja diisi penuh oleh sesuatu. Seakan sesuatu yang hilang baru saja kembali ke tempatnya.

"Kenapa kau di sini?"

"Jalan ini milik negara, siapa pun bisa lewat sini."

"BUKAN ITU MAKSUDKU!"

Uchiha Sasuke, laki-laki yang menjulang di depan Naruto menarik senyum tipis yang tak kelihatan. Sementara Naruto masih saja terkesiap di tempatnya.

"Kau terlihat sedang buru-buru," komentar Sasuke saat Naruto hanya terdiam.

"A- aku mau ke restoran."

"Kebetulan yang menyenangkan. Mari pergi bersama."

Seperti biasa, Sasuke bukan seseorang yang akan menunggu persetujuan. Ia menarik Naruto, berjalan beriringan dengan langkah panjang. Naruto berlari kecil dari belakang untuk menyesuaikan langkah kaki Sasuke.

Naruto akui, ia bisa dikategorikan sebagai orang bodoh. Otaknya tak mampu mencerna materi pelajaran di sekolah dengan cepat ataupun menarik kesimpulan yang tepat tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Dia cukup lamban dalam berpikir, makanya Naruto lebih sering bertindak tanpa repot-repot mempertimbangkan ini dan itu dalam otak.

Akan tetapi, malam ini, otak Naruto seakan diberi mujizat. Otaknya yang selalu dibilang dungu oleh Karin tiba-tiba berpikir cepat, menyimpulkan tentang apa yang dia rasakan selama dua minggu terakhir.

Orang ini, laki-laki yang tak pernah alpa membuat Naruto kesal saat mereka bertemu, adalah sesuatu yang hilang selama dua minggu ini. Sasukelah sesuatu yang pergi. Sasukelah yang Naruto cari saat ia tak menyadari apa yang sebenarnya sedang ia cari.

Seseorang yang sebenarnya Naruto rindukan.

ngebutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang