20

836 106 7
                                    

Dua laki-laki dengan rentang usia yang lumayan jauh itu duduk berhadapan. Masih seperti pertemuan terakhir mereka, suasana terasa sangat canggung karena tak ada yang bersuara. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

Pramusaji datang dengan dua piring steak, disusul sepasang gelas berisi bir hitam dan jus delima. Keduanya tetap tak membuka pembicaraan bahkan setelah pramusaji meninggalkan mereka.

Naruto merutuk dalam hati. Sasuke memang hanya mengajaknya makan bersama, tak ada embel-embel ingin membicarakan sesuatu seperti sebelumnya, tetapi bukankah lebih bagus mereka menikmati hidangan sambil bertukar sapa?

Mengiris steak dengan jengkel, Naruto memutuskan untuk mengunci mulut sepanjang makan malam. Ia baru saja akan menarik seringai saat tiba-tiba teringat sesuatu. Menghentikan irisan, Naruto menatap Sasuke dengan tatapan lemas.

Sadar kalau sedang ditatap, Sasuke pun meletakkan pisau dan garpu. Ia balas menatap Naruto.

"Hn?"

"K-kau akan mentraktirku, kan?"

Sasuke menaikkan sebelah alis. "Hn?"

"S-sebenarnya aku mau ke kedai ramen tadi," cicit Naruto sambil kembali menghindari tatapan Sasuke.

"Lalu, kenapa kau menyebut restoran tadi?"

"Aku ... aku salah bicara." Naruto menunduk, kembali mengiris potongan daging di hadapan. "Aku akan berterimakasih kalau kau mau membantuku."

Sasuke meraih kembali garpu dan pisau sambil berucap, "Kau hanya mati gaya karena bertemu denganku."

"Sembarangan!"

Pria Uchiha memasukkan potongan steak ke dalam mulut, menyembunyikan senyum tipis dengan mengunyah daging tersebut. Naruto melakukan hal yang sama, hanya saja anak itu mengunyah daging sekuat tenaga demi meredakan keinginan untuk mengunyah laki-laki di depannya.

"Lagipula aku lupa bawa dompet, aku hanya membawa uang pas untuk semangkuk ramen saja." Naruto kembali beralasan setelah menyesap jus delima.

"Bawa dompet pun kau takkan sanggup membayar makanannya."

"Cih ... orang kaya berengsek."

Sasuke kembali menyembunyikan senyum gelinya di balik gelas berisi bir hitam. Rasanya sudah lama sekali tak mendengar keponakan sang sekretaris memakinya. Kapan terakhir kali ia mendengar Naruto menyumpah?

"Ah, sebenarnya kau ingin ke mana tadi?" tanya Naruto tiba-tiba. "Kau bahkan berjalan kaki. Apa mobilmu ditilang?"

"Aku memarkirnya di depan kedai ramen langgananmu."

Naruto menghentikan kunyahan. "Kau tahu kedai ramen langgananku? Bagaimana kau bisa tahu itu? Kenapa kau memarkir mobilmu di sana? Apakah pertemuan kita malam ini bukan kebetulan? Kau sudah merencanakan ini?"

Tak menjawab, Sasuke malah mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Membuka kunci layar, jemarinya bergerak cepat untuk menemukan e-mail dari si sekretaris, lalu menyodorkan benda elektronik itu kepada Naruto.

Naruto meraih ponsel Sasuke sambil mengernyit. Ia menyipitkan mata, mencerna baik-baik tulisan yang ada di layar.

Sepertinya Naruto akan pergi ke kedai ramen. Sudah kukirim lokasinya, sekaligus rute tercepat menuju ke sana. Hanya sepuluh menit dari kantor dengan mobil, sementara dia butuh lima belas menit berjalan kaki ke sana. Kau bisa mempersingkat waktu dengan menginjak gas di gang sempit dan mempertaruhkan nyawa. Jangan lupa naikkan gajiku dua puluh persen bulan depan.

"Kau ... kau bersekongkol dengan Karin?"

Sasuke menggeleng. "Dia memintaku menaikkan gajinya dan menawarkanku informasi tentangmu. Ini semacam jual-beli."

Naruto kehilangan kata. Matanya membelalak, tak percaya kalau bibinya bisa menjual dia segampang itu. "Dasar wanita ular ... perawan tua ... pengkhianat ...."

"Tenang saja, dia sudah menentukan beberapa syarat yang harus dipatuhi agar bisa mendekatimu."

"Dia mengizinkanmu mendekatiku?!"

Sasuke mengangkat bahu. "Uang bisa membeli apa saja."

Naruto melongo di tempat. "Hebat sekali ... dia yang berkoar-koar agar aku menjauhimu, malah membiarkanmu ada di sekitarku karena uang. Dasar budak kapitalisme."

"Dia menjadi budak kapitalisme untuk memberimu uang jajan juga."

"Cih, apanya. Aku bahkan tidak diizinkan makan ramen lebih dari tiga kali dalam seminggu. Dasar perempuan pelit."

Sasuke meletakkan gelas sambil menarik senyum simpul. "Karin sudah cukup sibuk sebelumnya, semakin sibuk lagi setelah kau tinggal bersamanya. Hargailah kepeduliannya."

Naruto menopang dagu sambil mengunyah potongan terakhir dagingnya dengan main-main. "Tampaknya kau sangat memahami bibiku lebih daripada aku memahaminya," komentar Naruto sambil menusuk piring kosong dengan garpu di tangan. "Kenapa kau tak jatuh hati pada Karin? Padahal dia cantik ... walaupun gayanya agak ketinggalan zaman, kupikir dengan bantuan uangmu kau bisa membuat Miss Jepang minder dengan bibiku."

Sasuke meraih ponsel di meja, membuka kunci ponsel dengan gerakan cepat. Ia menatap layar depan yang menampilkan fotonya bersama Karin---foto itu diambil saat mereka menghadiri seminar tahunan di almamater kampus mereka tahun lalu. Karin sendiri yang mengganti tampilan layar depan karena menurutnya dia sangat cantik dan seksi di foto tersebut, dan Sasuke patut melihat itu untuk menjaga kesegaran matanya.

Perempuan itu memang gila.

"Karin adalah orang terdekatku ... aku bahkan lebih dekat dengannya dibandingkan dengan keluargaku," ujar Sasuke. Ia menarik senyum tulus tanpa sadar. "Kami sangat dekat, sampai aku tak bisa memandangnya sebagai wanita karena dia telah memainkan peran sebagai ibuku selama bertahun-tahun."

Naruto terdiam, mulai terbawa perasaan dengan ucapan Sasuke. Kelihatan sekali kalau Sasuke memang benar-benar menyayangi Karin, sama seperti dirinya yang juga menyayangi adik dari ibunya itu.

"Sehari setelah kejadian pagi itu, Karin datang ke kantor dengan membawa surat pengunduran diri."

Naruto membelalakkan mata. "Kenapa dia mengundurkan diri?"

"Karena dia lebih memilih keponakannya daripada sahabatnya."

"..."

"Tapi aku berhasil membujuknya untuk tetap bekerja bersamaku." Sasuke mendengkus mengingat kejadian tersebut. Masih segar di ingatannya saat Karin memeluknya sambil menangis karena mengaku bingung hendak memihak siapa. "Dasar drama."

Naruto langsung mengangguk kuat-kuat. "Dia memang sangat drama. Aku saja heran kau bisa berteman dengannya sejak kecil. Dasar perempuan gila."

Sasuke ikut mengangguk, menyetujui perkataan Naruto. Laki-laki itu langsung beranjak dari kursi, tetapi langsung ditahan Naruto.

"Kau mau ke mana?"

"Pulang, tentu saja. Makan malam kita telah selesai."

Naruto mengerjap bodoh. "Kau hanya datang untuk makan malam denganku? Tak ada yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Hn."

"Sungguh?"

Sasuke menarik dompet dari kantong belakang sambil menyahut, "Aku tak mengharapkan apa pun. Karin hanya mengizinkanku untuk bertemu denganmu tanpa melibatkan perasaan dalam pertemuan kita."

"Tapi---"

"Kau ingat yang kukatakan di kafe di pertemuan terakhir kita?" Naruto diam, Sasuke pun melanjutkan, "Aku senang saat bersamamu."

Sasuke pun beranjak pergi, diikuti oleh Naruto yang pikirannya mendadak kosong.

●-●-●-●-●

a/n: 955 words yang tulis aja ampe gumoh ini nulis apaan bajungab.

Besok udah tamat yeu. Mangats Chloe.

ngebutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang