"Eung ... bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Naruto menolehkan kepala, menunggu jawaban dari Karin yang terdiam tanpa kata. Kelihatan sekali wanita itu sedang memendam amarahnya---entah amarah kepada siapa, dan karena apa, Naruto tak tahu. Laki-laki dua puluh tahun itu menggigit bagian dalam pipinya, agak ngeri dengan Karin yang mode silent begini---kalian sendiri pasti tahu kalau laut akan menjadi sangat tenang sebelum badai datang.
Akan tetapi, ini adalah Naruto. Laki-laki yang bisa kenyang hanya dengan berceloteh sepanjang hari tanpa makan dan minum. Membuang pandangan ke luar kaca taksi, ia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Apakah mungkin ... ibuku sebenarnya tidak pernah datang?" gumam Naruto sambil mengernyit. "Mungkinkah kau hanya malas tinggal denganku, dan menggunakan alasan itu untuk menendangku dari rumah?"
Taksi bergerak dengan perlahan. Hari sudah mulai siang, kemacetan mulai memusingkan, padahal sudah dekat dengan gedung apartemen Karin. Wanita itu jadi ingin menyumpahi semua kendaraan yang berbaris di depan taksi yang mereka tumpangi. Karin butuh minum sebotol air es untuk mendinginkan kepala yang hampir meledak.
"Kau tak ingin aku tinggal denganmu, tapi kau tak rela aku hidup bebas di luar sana dengan tetap menerima uang jajan darimu. Itulah kenapa kau melarangku tinggal di rumah Kiba dan menyerahkanku pada atasanmu." Naruto menganggukkan kepala sok mengerti. Jemarinya mengusap janggut imajiner dengan hati-hati. "Hanya saja, kau salah prediksi. Sasuke tak sengaja mendapati kasus korupsi yang kau lakukan di belakangnya, dan sebagai ganti rugi atas uang yang kau gelapkan, dia ingin menggunakanku sebagai budak berahi untuk membayar utangmu---"
Plak!
Racauan Naruto terhenti seketika setelah telapak tangan Karin mendarat di ubun-ubunnya. Suaranya begitu nyaring, begitu juga suara Naruto yang mengaduh dengan heboh. Sopir taksi bahkan sampai mencuri pandang melalui kaca spion.
"Kenapa kau suka sekali memukulku di kepala?!"
"Karena yang bodoh itu otak yang ada dalam kepalamu!" Karin mengambil kesempatan untuk menjitak dahi Naruto. "Otakmu semakin rusak karena sering menonton dorama fiktif penuh imajinasi gila ... berhenti mengarang cerita! Kau pikir kau Cinderella dan aku ibu tirimu?"
"Lantas, kenapa kau tak mau menjelaskan padaku apa yang telah terjadi?"
"Kau mau aku menjelaskan di sini? Di dalam taksi?" Karin melirik ke arah spion. "Pak Sopir, tolong naikkan volume musiknya. Sepertinya aku butuh mendengarkan musik sampai kita tiba di tempat tujuan."
"Kau gila, ya? Lihat, itu gedung apartemenmu!"
Karin menolehkan kepala, lalu menepuk dahi. Ia merogoh kantong celana, mengeluarkan lembaran uang yang lecek dan menyerahkan kepada si sopir. Karin dan Naruto segera turun dari taksi tersebut, lalu beriringan menuju gedung, tetapi langkah Naruto tertahan seketika saat melihat seseorang yang berdiri tak terlalu jauh dari mereka.
"Grrr ... kenapa dia di sini? Bukannya tadi dia sedang bersemu merah di apartemennya?" Karin menggeram sembari melangkah ke arah Sasuke. "Selamat pagi, Bos. Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku mau bicara dengan Naruto," jawab Sasuke tanpa mengalihkan pandangan dari si pirang di belakang Karin. "Hanya Naruto. Bicara empat mata."
"Huh? Kau memintaku menyerahkan keponakanku lagi?" Karin menepuk bahu Sasuke sambil tersenyum sinis. "Kau berharap aku setuju?"
"Aku tidak sedang memohon persetujuanmu, aku hanya menjawab pertanyaanmu." Sasuke berjalan ke arah Karin, melewati wanita itu, lalu menarik lengan Naruto tanpa kata.
"Hei! Hei! Tunggu---AISH!"
