Kamu tidak bisa mencintai dua orang dalam waktu yang sama.
Kamu hanya bisa menyakiti salah dari mereka, atau menyakiti keduanya.
-VIVIYONA APRIANI-••••
Bunyi kecipak antara kelamin yang beradu menggema di empat penjuru kamar. Harum khas kian menambah semangat pasangan muda, yang kian menggila di atas ranjang.
Veranda menyumbat telinganya dengan bantal kapuk berwarna putih. Akan tetapi, jeritan kenikmatan itu semakin membahana dan menembus dinding kegelapan.
Kegelisahan melanda hati, hingga keringat bercucuran menuruni kening. Karena diliputi rasa penasaran, gadis dua puluh tiga tahun itu pun berguling ke samping. Dia menempelkan daun telinganya—pada dinding kusam yang penuh dengan coretan tinta berwarna hitam.
Tepat di kamar sebelah, telinganya menangkap rengekan kecil. Juga desahan pria dan wanita yang tengah melakukan olahraga pagi.
Sontak dia bergeser dan menjauhkan telinganya. Namun, kini suara bising itu masih terdengar, bahkan bertambah nyaring dari sebelumnya.
Veranda mendongak. Mata kelincinya bergerak-gerak dengan cepat dan menatap ke seisi kamar. Pandangannya tertuju pada sebuah bola neon dalam penutup buram yang tergantung di langit-langit kamar.
Cahaya neon itu jatuh tepat di atas rak kecil yang dipenuhi oleh tumpukan novel, dan beberapa majalah kedaluwarsa. Semuanya serba tertata rapi.
Gadis itu menghirup oksigen dalam hitungan panjang. Udara pagi bercampur dengan pengharum ruangan beraoma melati—memberikan sensasi relaks dan menguraikan ketegangan.
Veranda melirik jam weker biru yang berdiri kukuh di atas nakas. Jam itu, kado ulang tahun dari ibunya setahun yang lalu. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Veranda beranjak mengambil handuk yang tergantung di dinding. Kaki telanjangnya lalu melangkah ke kamar mandi.
Setelah melepaskan piyama tidurnya. Gadis itu lalu mengguyur tubuh polosnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Embun beku yang menyilaukan menerobos masuk, melalui celah-celah ventilasi udara di atas kepalanya.
Entah kenapa, suara desahan pria yang didengarnya tadi—masih membekas dalam ingatan. Suaranya yang berat terkesan sexy tapi merdu disaat yang bersamaan. Rasanya begitu sulit untuk dilupakan.
❖❖❖❖
Setibanya di tempat kerja, Veranda mengganti kaus rumahan dengan seragam berwarna biru. Seragam karyawati di sebuah minimaket pusat kota Jakarta.
Veranda mengisi meja kasir yang terbuat dari stainless di bagian atas. Area full space tersebut berisi satu meja untuk komputer dengan satu laci dan beberapa kunci.
Meja Veranda juga dipenuhi oleh deretan rak-rak permen me—ji—ku—hi—bi—ni—u, rokok, mainan anak, gantungan kunci, bros wanita, voucer pulsa, alat kontrasepsi, dan beberapa barang lainya yang dapat menimbulkan impulse buying kepada pembeli.
Tak lama seorang laki-laki memasuki toko dengan sepatu converse hitam putihnya. “Selamat datang di Indomaret, dan selamat berbelanja,” sapa Veranda diiringi dengan senyum tiga jari.
Pemuda berperawakan tinggi di depannya itu, hanya menengok tanpa ekspresi. Dia mengenakan hoodie merah jambu lengkap dengan penutup kepalanya, jeans yang sedikit pudar, serta kacamata hitam. Membuat Veranda tidak dapat mengenali wajahnya dengan jelas.
Pemuda tersebut mengeluarkan secarik kertas yang ditulis dengan tinta merah dari dalam kantong celana dan meletakkannya di atas meja kasir.
‘Rokok Sampoerna Mild dan Kondom Durex rasa pisangnya satu bungkus.’ Veranda membaca tulisan itu tanpa suara.
Tangan Veranda terulur meraih permintaan dari pemuda cool itu. Walau indra penciumannya sedikit terganggu. Mengingat aroma pemuda di hadapannya itu terlalu maskulin dan terkesan menyengat.
Ada yang unik dari sosoknya. Dimana pemuda tersebut selalu datang dan membeli barang yang sama di malam jumat. Tepat jam sebelas lewat empat puluh delapan menit, ketika toko nyaris tutup. Dalam kata lain, dia adalah pelanggan terakhir di minimaket itu.
Veranda dengan telaten mengarahkan kode batang yang tertera pada tiap barang sejajar dengan layar scanner di sampingnya. Lalu masukkan barang itu ke dalam kantong plastik kecil.
Veranda mengarah kursor komuternya ke menu membayaran, kemudian mencetak nota transaksi yang terhubung dengan mesin printer di sebelah kiri. “Totalnya jadi empat puluh delapan ribu, lima ratus rupiah.”
Pemuda itu merogoh saku celana miliknya. Dan menarik selembar uang kertas berwarna biru, dari dalam dompet kulit cokelat berlogo burung rajawali garapan tahun 1996.
“Lima puluh ribu, kembaliannya jadi seribu lima ratus. Sekalian dengan pulsanya, Kak?” Pemuda itu hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Kalo begitu terima kasih. Silakan datang kembali.” Veranda menyerahkan uang kembalian beserta struk pembayaran.
Pemuda itu langsung menyambar kantong plastik di hadapannya, kemudian pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIDADARI TERAKHIR [END]
Mystery / Thriller17+ Gιмαηα Rαѕαηуα Jιкα Kαмυ Cιηтα Sαмα Cσωσк Sιмραηαη Tαηтє-Tαηтє Dan itu dialami langsung oleh Veranda. Bidadari tak bersayap yang berprofesi sebagai kasir minimarket di kota Jakarta. Ve, begitu sapaan akrabnya jatuh hati sama seorang pemuda yang...