Prolog

219 50 5
                                    

Suara decitan jendela saat terbuka membuat Zaivan terbangun dari tidurnya. Ia meregangkan tubuhnya dan mengucek mata pelan. Anak berusia tujuh tahun itu menyibak selimutnya dan segera melipatnya menjadi persegi panjang rapi. Kemudian ia turun dari atas ranjang tingkat miliknya.

"Pagi, Zaivan." Seorang anak yang lebih tinggi menyapa saat kakinya menyentuh lantai.

"Pagi, Bang." Anak itu tersenyum sambil menggaruk bagian belakang lehernya.

"Cuci muka sana, kita harus sarapan sebentar lagi." Anak lain yang ada di ruangan itu ikut bersuara.

Zaivan mengedarkan pandangannya pada ranjang bawah sebelah tempat tidurnya. "Bang, Putra mana?"

"Kamu lupa? Dia sudah diadopsi kemarin."

Zaivan menghela napas dan melanjutkan jalannya ke kamar mandi.

Suasana meja makan ramai, kurang lebih ada dua puluh anak yang makan bersama di ruangan itu. Zaivan duduk berdampingan dengan anak-anak yang satu kamar dengannya. Bunda menunjuknya untuk memimpin doa sarapan pagi ini. Dengan penuh semangat, Zaivan memimpin doa untuk dua puluh saudaranya. Mereka menyelesaikan agenda sarapan kurang dari tiga puluh menit. Setelah selesai makan, Zaivan dan beberapa anak yang lebih muda langsung meninggalkan meja makan untuk membersihkan daun-daun rontok yang ada di halaman. Anak yang lebih tua bertugas membersihkan meja dan piring yang sudah mereka gunakan.

Beberapa saat kemudian, anak yang lebih tua bergabung dengan adik-adiknya untuk membersihkan halaman. Pekerjaan mereka selesai dalam waktu singkat. Salah satu anak tertua di panti membuat gelembung sabun dari sabun cuci piring sisa yang baru mereka gunakan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan mereka. Gelembung sabun adalah salah satu hiburan paling menyenangkan.

Seperti biasa, Zaivan selalu bersemangat untuk mengambil alih posisi peniup gelembung.

"Bang, aku aja yang tiup gelembungnya."

"Kamu nih, kenapa semangat banget kalo Abang buat gelembung?"

"Kata Bunda, setiap mimpi dan harapanku bisa terkabul kalau gelembung yang ditiup terbang jauh sampai ke langit."

Anak laki-laki yang lebih tua itu tersenyum dan mengusap puncak kepala adiknya. Diam-diam ia berharap mimpi adiknya bisa terwujud.

Zaivan meniup gelembung sambil berlarian dikejar oleh adik-adiknya. Saudaranya yang lebih tua bertugas mengawasi adik-adik yang masih kecil. Zaivan fokus pada cairan sabun yang ada di tangannya, ia tertawa dan terus berlari. Langkah kecilnya terhenti ketika ia menabrak seseorang.

"Aw, maaf." Anak laki-laki itu mendongak ke atas untuk melihat siapa gerangan yang berdiri di jalur lintasannya.

Pria bersetelan jas lengkap itu berlutut dan menatap Zaivan dalam-dalam. Sebuah gelembung melayang di antara mereka. Dengan satu sentuhan jari, gelembung itu pecah tepat di depan wajah Zaivan.

"Lain kali hati-hati." Pria itu berbicara dengan suara yang rendah.

Zaivan melangkah mundur dan ia baru menyadari, bukan hanya satu, tapi ada lima orang yang berpakaian mirip berdiri di depannya.

Anak laki-laki dengan sebotol cairan sabun ditangannya itu baru menyadari ada sesuatu yang ajaib ketika Bunda memanggilnya dan memintanya untuk segera bersiap-siap karena kehidupan barunya akan segera dimulai.

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang