Pesawat yang ditumpangi Zai dan Tama mendarat di Indonesia keesokan harinya. Penerbangan yang memakan waktu hampir 20 jam itu membuat mereka kelelahan. Meskipun fasilitas yang disediakan di pesawat sangat memadai, tetapi tetap saja tubuh mereka mengalami kelelahan. Tama hampir tidak bisa tidur. Hal ini berbanding terbalik dengan Zai yang kelihatannya sangat menikmati waktu tidurnya.
Begitu tiba di bandara, mereka dijemput oleh supir yang dulu biasa mengantar Zai ke sekolah. "Selamat pagi, Tuan Muda." Supir tersebut menyapa Zai dengan ramah.
"Selamat pagi, Pak. Anda kelihatan semakin muda." Zai membalas sapaan itu dengan hangat. Ia bahkan sampai merangkul supir tersebut.
Supir tersebut dibuat terdiam karena baru pertama kali melihat tuan mudanya seramah itu.
Mereka memasuki mobil yang sudah hampir setahun tidak mereka tumpangi. Seperti biasa, mobil itu dikawal oleh dua mobil lainnya di depan dan di belakang.
Pintu pagar tinggi yang terbuat dari baja itu terbelah menjadi dua. Mobil melaju mengitari pelataran hingga tiba di depan pintu masuk rumah. Zai turun sebelum Tama mengitari mobil untuk membukakan pintunya.
Zai tersenyum. "Gue bisa sendiri, Bang."
"Zai, kamu benar-benar sudah siap? Saya akan mendukungmu."
"Tenang, Bang. Kali ini biar gue yang menyelesaikan."
***
Mereka melangkah beriringan. Zai di depan dan Tama mengikutinya di belakang. Pintu dibuka setelah salah satu pengawal ayah Zai melihat kehadirannya.
Zai melangkah masuk ke ruangan itu. Ruangan itu masih sama seperti sebelumnya. Warna dindingnya masih merah marun dan jendela besar di balik meja ayahnya masih mampu membuat Zai terkagum meskipun sudah ratusan kali melihatnya. Zai melihat seorang pria duduk di balik meja.
"Tuan Harsa duduk di kursinya." Tama berbisik ketika mereka melangkah masuk.
Zai tersenyum. Hal ini membuatnya merasa bersalah. Ia tidak mampu mengenali ayahnya sendiri. Namun, rasa bersalahnya tidaklah sebanding dengan rasa marah dan kecewa terhadap ayahnya.
"Kalian semua bisa keluar dari ruangan ini, kecuali Zaivan." Ayah Zai memberikan perintah yang sempat membuat asisten dan pengawalnya saling menatap satu sama lain.
Semua pengawal dengan segera mematuhi perintah tersebut. Namun, asisten ayah Zai dan Tama masih berdiri di tempatnya.
"Apa saya perlu mengulangi kata-kata saya?" Ayah Zai menoleh dan berbicara pada asistennya. Hal itu membuat asisten ayah Zai melangkah keluar dari ruangan itu. Tama masih tidak bergerak dari tempatnya.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bisa membiarkan Anda dengan Zaivan tinggal di ruangan ini." Sebenarnya Tama mulai khawatir akan keselamatan dirinya sendiri. Mungkin saja Tuan Harsa akan berbaik hati padanya jika ia mengutarakan pendapatnya mengenai Zai, tetapi ia masih gentar untuk menyampaikan pendapatnya.
Zai menoleh pada Tama yang kini berdiri satu langkah di belakangnya.
"Bicaralah. Saya akan tetap di sini." Tama berbisik.
"Biarkan Tama di sini. Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda dan Tama harus mendengarkan sebagai saksi." Zai menatap ayahnya dengan penuh keyakinan.
Ayah Zai tidak menjawab, tetapi setelah melihat kesungguhan di mata Zai akhirnya ia mengangguk.
"Saya mau berhenti kuliah." Zai mengatakan kalimatnya dengan cepat.
"Lalu?" Tanpa terduga, ayah Zai mendengarkan kata-kata Zai tanpa memotong.
Zai mengumpulkan keberaniannya dan ia mulai mengatakan keinginannya. "Saya mau hidup seperti orang biasa. Tanpa asisten dan tanpa pengawal. Saya mau sekolah di universitas biasa, bisa bergaul dengan orang lain dan bisa bebas tanpa harus merasa terbebani dengan nama keluarga Arkanayaka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...