Saat peresmian Hotel Nayaka, Ayah dan Zai duduk berdampingan. Semua orang yang melihat mereka berseru kagum karena mereka terlihat seperti pasangan ayah dan anak yang harmonis. Zai kerap mendapat pujian karena penampilannya. Untuk usia yang masih muda, laki-laki dengan setelan jas itu sudah terlihat sangat berwibawa dan tegas. Ayah menatap bangga pada putra semata wayangnya saat Zai memotong pita tanda peresmian hotel.
Setelah acara peresmian usai, Zai diajak berkeliling. Ia berkali-kali dibuat takjub oleh pemandangan yang disuguhkan. Meski ini bukan pertama kalinya ia mengikuti acara peresmian sejenis, ia tetap kagum pada bangunan yang dimiliki keluarganya. Tidak lama setelah acara berkeliling, Zai diperintahkan untuk segera kembali ke ibu kota karena ayahnya harus segera terbang ke Australia.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda." Asisten Zai bertanya ketika mereka berjalan menuju pelataran Hotel.
"Apa aku melakukan kesalahan tadi?" Zai berbisik pada asistennya.
"Tidak, Tuan Muda. Anda melakukannya dengan baik."
Zai menghela napas lega. Meski ia sangat membenci kegiatan yang baru ia hadiri, ia tetap memastikan kalau ia tidak melakukan kesalahan. Ini adalah satu hal lain yang Zai benci dari dirinya. Ia harus selalu tampil sempurna sebagai bagian dari Arkanayaka.
Selain penampilan luar, nilai sekolahnya juga selalu diawasi. Ia harus menguasai berbagai keterampilan yang menurutnya tidak harus dikuasai, seperti memanah, menembak, berkuda, dan berbagai jenis seni bela diri. Masa kecilnya dihabiskan dengan mengikuti kursus dan berbagai jenis les.
Pada perjalanan menuju bandara, mata Zai menangkap sebuah momen dimana seorang anak tengah tertawa saat membantu ayahnya yang tengah menaikkan setumpuk rumput ke atas sepeda. Anak kecil itu tertawa lepas ketika ayahnya memainkan sebatang rumput teki sebagai kumis. Ia terus menatap mereka hingga kedua orang itu tidak terlihat. Zai iri dengan interaksi mereka. Zai tidak ingat kapan terakhir kali ia tertawa bersama ayahnya atau mungkin hal itu tidak pernah ia alami.
Begitu Zai duduk, ayahnya langsung berkata, "Kamu akan dikirim ke US setelah ujian selesai."
Zai sudah terbiasa oleh perintah tiba-tiba dari ayahnya. Ia tidak menanggapi kata-kata ayahnya. Ia malah menatap ke jendela.
"Kamu akan kuliah di sana."
Asisten Zai sudah bersiap menahan tuan mudanya yang mungkin akan marah dan meledak.
"Tama, kamu akan ditugaskan ke US sebagai asisten Zaivan." Ayah Zai beralih melihat asisten Zai yang kelihatan gugup. "Atau saya perlu cari orang lain?"
Tama melirik tuan muda dan ayahnya bergantian. Setelah mendapat anggukan dari ayahnya, ia menjawab, "Saya siap, Tuan."
"Kenapa tidak tanya pendapatku?" Zai menegakkan tubuhnya dan menyilangkan tangannya di depan dada.
"Pendapatmu tidak penting di sini." Ayah Zai menatap sengit.
"Siapa yang akan kuliah? Aku. Kenapa pendapatku tidak penting? Bahkan Anda tidak bertanya jurusan apa yang saya suka."
"Itu semua tidak penting. Tujuanmu hanya satu. Kuliah dengan jurusan yang sudah disiapkan dan lulus dengan nilai baik. Setelah itu kamu akan siap untuk memimpin semua aset yang dimiliki keluarga Arkanayaka."
"Saya menolak. Saya tidak berminat menjadi pemimpin untuk semua aset yang dimiliki keluarga Arkanayaka."
"Zaivan!"
"Kenapa Anda tidak menikah lagi? Dapatkan Arkanayaka lain! Kenapa harus saya?" Zai menaikkan suaranya.
"Zaivan! Jaga bicara kamu!" Wajah ayah Zai berubah merah.
"Jawab pertanyaan saya. Kenapa harus saya?" Zai nyaris saja bangkit dari duduknya jika gerakannya tidak segera dihentikan oleh Tama.
Ayah Zai tetap bungkam hingga mereka mendarat di ibukota.
Setibanya di rumah, Zai tidak langsung masuk ke kamarnya. Ia malah menuju halaman samping. Halaman samping di rumah itu memiliki luas dua kali lapangan sepak bola dengan pohon akasia yang berdiri kokoh di setiap sudutnya. Kolam ikan koi ada di sisi kanan dan kirinya. Tanaman hias mengisi bagian antara pohon akasia satu dengan lainnya.
"Jangan ada yang ikut. Jaga jarak minimal 10 meter." Zai menatap Tama dan pengawalnya dengan tatapan sinis.
Tama dan pengawalnya menurut. Pengawal Zai segera mengatur jarak untuk mengawasi tuan mudanya.
Zai mengeluarkan botol kecil dari saku celananya. Ia berlari ke tengah lapangan. Sesampainya di tengah lapangan, ia membuka botol gelembungnya dan meniupnya. Gelembung dengan berbagai ukuran keluar dari sana. Zai tersenyum dan meniup gelembung berikutnya.
"Terbang yang jauh. Sampein harapan aku." Zai melambai pada gelembung yang terbang menjauh.
Beberapa pengawal Zai menatap heran. Ujung bibir Tama ikut terangkat ketika melihat tuan mudanya tersenyum. Namun, Tama dibuat khawatir karena langit yang tiba-tiba menggelap.
"Tuan Muda, sebaiknya Anda masuk. Sebentar lagi hujan akan turun."
Zai acuh tak acuh pada kata- kata Tama, tetap sibuk dengan gelembung sabunnya.
Tanpa permisi, jarum-jarum bening berjatuhan dari langit. Tidak ada jeda untuk menyelamatkan diri dari serangan itu, ia terus jatuh tanpa memberikan peringatan apapun. Jarak pandang semakin menipis karena hujan semakin deras dan ditambah dengan kehadiran kabut yang tercipta dari udara dingin.
Laki-laki dengan pakaian serba hitam itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia terlihat menyedihkan dengan pakaian gelap dan juga basah. Air menetes dari ujung rambut dan jari-jarinya. Wajahnya semakin terlihat pucat.
Tama akhirnya menyerah dan membawa Zai masuk dengan paksa. Laki-laki itu sempat meronta meminta ditinggalkan di tengah hujan. Namun, Tama menyeretnya paksa dibantu dengan dua orang pengawal yang juga sudah basah kuyup. Kaki laki-laki itu melangkah masuk. Kedatangannya disambut oleh dua orang yang mengenakan setelan jas dan seorang wanita yang kelihatan kerepotan membawa payung dan handuk di tangannya.
Zai berjalan diiringi oleh Tama dan dua orang pengawal. Kini tubuhnya dilapisi handuk hangat.
"Anda tidak boleh seperti ini, Tuan Muda." Tama menasehati dengan nada yang sopan.
Laki-laki itu tidak menjawab. Zai berhenti dan menatap kosong pada foto keluarga yang menggantung di ruang tengah.
"Ada masalah, Tuan Muda?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Laki-laki itu malah terduduk dan membiarkan tubuhnya menyentuh lantai dengan kasar. Tama berseru panik. Ia segera menghubungi penjaga lainnya yang berada di area terdekat dengan lokasinya sekarang. Tangan pria itu menyentuh dahi laki-laki yang tengah duduk di hadapannya. Ia mengangkat punggung tangannya dengan cepat karena terkejut.
"Tuan Muda demam." Pria itu berteriak. Suaranya menggema di ruangan yang luas itu.
Zai terbangun dengan kondisi yang sama seperti sebelumnya. Keringat memenuhi tubuhnya. Bajunya sudah berganti menjadi piyama. Jarum infus menusuk tangan kirinya. Ia hanya tertawa melihat botol infus yang menggantung di sisinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?"
Zai mencabut jarum infusnya dan berjalan menuju cermin.
"Siapkan mobil, aku ada jadwal menembak kan hari ini?"
"Anda bisa melewatkan jadwal itu, Tuan Muda. Dokter akan mengirimkan hasil pemeriksaan Anda pada Tuan Harsa."
"Aku Zaivan, pewaris tunggal keluarga Arkanayaka. Tidak ada waktu untuk beristirahat. Siapkan mobil sekarang!" Zai membentak Tama.
Tama sempat terdiam di tempatnya. Namun, ia langsung bergerak ketika Zai mengulangi permintaannya dengan suara yang cukup keras.
Terima kasih sudah membaca.
ODOC WH BATCH 4 Day 7
4 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...