Keping 10

80 29 0
                                    

Tama berdiri di depan pintu kamar tuan mudanya. Seperti biasa, ia bertugas membangunkan Zai pukul 06.30 WIB. Tama mengetuk pintu pelan. Belum usai ia mengetuk, pintu tersebut langsung terkuak dan memunculkan wajah Zai yang kelihatan khawatir. Zai menarik Tama masuk dan menutup pintu dengan cepat.

Zai memaksa Tama duduk di ranjangnya. Setelah Tama duduk, Zai berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang.

"Kenapa lo malah mengakui kesalahan semudah itu? Kan lo jadi bonyok gini."

Zai mengamati wajah Tama yang dihiasi beberapa memar. Ada luka di tepi bibirnya. Sebelumnya Zai sudah menduga kalau hal buruk akan terjadi. Namun, ia mengira ayahnya tidak akan begitu keras pada Tama karena Tama adalah anak dari asisten yang sudah mendampingi ayahnya selama 30 tahun. Ternyata dugaannya salah. Memar yang terlihat di wajah Tama sudah cukup menjadi jawaban kalau ayahnya tidak memberikan sedikit pun toleransi.

"Saya diajarkan untuk bertanggung jawab. Saya sudah bilang sebelumnya kalau saya akan bertanggung jawab." Tama tersenyum melihat Zai yang sudah siap memarahinya. "Saya baik-baik saja. Sudah seharusnya saya dihukum untuk kesalahan yang saya buat."

Zai menarik napas dalam-dalam. "Lo nggak perlu menanggung kesalahan gue. Coba berdiri sekarang."

Tama berdiri tegak dan tersenyum pada tuan mudanya. Zai memperhatikan postur Tama yang kelihatan tidak normal. Kaki kanan Tama kelihatan tidak baik-baik saja. Tubuhnya sedikit miring karena hanya kaki kiri yang menjadi tumpuan utama berat badannya. Zai kembali menghela napas karena pemandangan yang ada di hadapannya.

Tama hanya tersenyum menanggapi tuan mudanya. "Menu kali ini adalah japchae, cheese omelette, tofu dan green tea. Apa ada menu yang perlu diganti?"

"Dengan kondisi begini lo masih bisa menyebutkan berbagai jenis makanan itu? Hari ini nggak perlu ikut gue ke sekolah, lo harus libur."

Tama baru saja mau membantah, tetapi Zai buru-buru menyambung kalimatnya.

"Lo pilih libur atau gue pecat? Udah, Bang. Disuruh libur aja kok susah. Pulang sana, istirahat. Gue yang akan tanggung jawab."

***

Seorang pria berjalan sambil mendorong troli berisi beberapa koper besar. Di depannya ada dua orang laki-laki yang berjalan berdampingan. Salah satunya mengenakan jaket denim yang dipadukan dengan celana dengan warna senada dan laki-laki yang lain mengenakan pakaian yang lebih formal. Tempat itu cukup sepi untuk ukuran sebuah bandara internasional. Mungkin hal ini disebabkan oleh waktu yang sudah memasuki tengah malam atau koneksi keluarga Arkanayaka mampu membuat bandara internasional mengosongkan penerbangan pada jam tersebut.

"Sekarang lo bisa bebas ngobrol sama gue. Nggak perlu pakai bahasa formal." Laki-laki dengan jaket denim itu berbicara pada pria di sampingnya.

Laki-laki itu mengangguk kemudian tersenyum. Langkah mereka terhenti karena seseorang yang mengenakan setelan jas hitam menghampiri mereka.

"Selamat malam, Tuan Muda. Saya adalah supir yang ditugaskan untuk menjemput Anda." Pria itu membungkuk sopan.

"Bukannya gue sudah minta mobil? Kenapa malah dikasih supir lagi?" Zai berbisik.

Tadinya Tama hendak menjawab dengan jawaban defaultnya, tetapi ia urung melakukan hal itu.

"Kalau saya boleh tahu, Anda ditugaskan berapa lama?" Tama bertanya dengan ramah.

"Saya bertugas hanya untuk menjemput di bandara dan mengantar Tuan Muda ke rumah."

Zai dan Tama kompak mengembuskan napas lega.

Mereka masuk ke mobil dengan senang hati. Entah karena supirnya yang berkendara terlalu lambat dan berhati-hati atau karena Zai yang tidur sepanjang perjalanan, ia tidak sadar kalau mereka sudah berkendara selama dua jam. Tama melepaskan jasnya dan kini hanya kemeja putih yang membalut tubuhnya. Tama membangunkan Zai begitu mereka tiba. Zai turun dari mobil dengan mata yang masih mengantuk. Namun, pandangannya menjadi jelas ketika melihat bangunan kokoh yang ada di depannya.

Bangunan itu bergaya modern dengan kaca pada setiap sikunya. Tinggi pintunya tidak kalah dengan tinggi pintu rumah Zai di Indonesia. Bangunan itu dicat dengan warna cokelat dan krem dengan empat pilar besar yang menyangga di pelataran. Pohon cemara tumbuh di sisi kanan dan kiri. Zai juga melihat dua patung yang bertengger di dekat pintu.

Langit sudah gelap, tetapi rumah itu seperti memiliki cahayanya sendiri. Semua sudut dapat terlihat dengan jelas karena lampu yang ada di luar rumah menyala terang.

"Siap untuk hidup baru, Zaivan?" Tama bertanya tepat setelah Zai selesai melihat sekelilingnya.

"Tentu." Zai menjawab setelah jeda yang cukup lama.

***

Zaivan kira jika ia berusaha menikmati kelasnya di kampus, ia akan bahagia. Namun, perkiraannya salah. Setelah satu semester, ia mulai muak karena bergulat dengan hal-hal yang tidak ia sukai. Zai jadi lebih banyak bermain puzzle dan membuat sketsa mesin dibandingkan masuk ke kelas untuk mengikuti kuliah.

Semester pertama terlewat begitu saja. Begitu nilainya keluar, ia langsung mendapat evaluasi dan analisa dari beberapa staff ahli keluarganya. Zai mendapat nilai di bawah rata-rata. Ayahnya sampai harus repot-repot datang untuk memarahinya secara langsung.

Pria itu datang dengan beberapa pengawal dan tentu saja dengan asisten pribadinya yang juga merupakan ayah Tama. Zai dan Tama berdiri di depan ayah Zai yang kini tengah duduk pada kursi megah yang ada di balik meja. Beberapa pengawal ayahnya tersebar di berbagai sudut sedangkan ayah Tama berdiri tepat di samping ayah Zai.

"Apa yang kamu lakukan selama di sini? Kamu pasti hanya bermain dengan benda-benda tidak berguna itu. Kamu bisa lihat ini? Hasilnya benar-benar mengecewakan." Ayah Zai melemparkan kertas nilai ke arah Zai dan Tama.

"Kalau Anda mau nilai saya luar biasa, masukkan saya ke jurusan teknik mesin." Zai berdecak dengan wajah meremehkan.

"Zaivan!" Ayah Zai bangkit dari kursinya.

"Saya sudah berusaha keras. Ini bukan bidang yang saya sukai. Harus berapa kali saya bilang." Zai menaikkan suaranya.

Tatapan mata ayah Zai melunak. Ia tidak lagi menghakimi Zai dengan tatapannya.

"Tama, cari tutor terbaik untuk Zaivan. Kalau perlu jangan biarkan dia menyentuh benda-benda tidak penting yang selalu ada di kamarnya. Saya mau nilai sempurna untuk semester depan." Ayah Zai beranjak dari kursinya dan berlalu begitu saja.

Zai mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak. Ia mengatupkan rahangnya rapat-rapat dan berusaha meredam amarahnya. Namun, diam-diam ia bersyukur karena Tama tidak menjadi korban atas kesalahan yang ia lakukan.

Zai menoleh dan tidak mendapati Tama di sampingnya. Dengan cepat matanya menyisir setiap sudut ruangan itu. Matanya berhenti pada pintu yang terbuka lebar. Ia menyaksikan Tama yang tengah memeluk ayahnya. Tampaknya mereka memakai kesempatan ini untuk sekedar bertukar rindu.

Kaki Zai melemas. Ia mengurai kepalan tangannya, tetapi dadanya terasa semakin sesak. Ia tidak pernah berharap dapat melihat adegan ayah dan anak itu. Ia ingin berteriak meminta keadilan pada semesta. Air matanya mulai menggenang. Ia bertanya pada dirinya sendiri.

Mengapa Ayah melewatkanku begitu saja?

Mengapa Ayah menyapaku dengan teriakan penuh emosi?

Mengapa Ayah memaksaku untuk mengubur mimpi?

Mengapa Ayah mengharuskanku melewati jalan yang sudah disediakan?



Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 10

7 Oktober 2020 

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang