Keping 9

80 30 0
                                    

Zai pernah bertanya pada dirinya sendiri.

Apakah ia bisa merindukan sosok seorang ibu saat ia belum pernah memilikinya?

Saat ini ia mendapatkan jawabannya.

Zai sempat ragu untuk turun dari mobil. Ia mengamati tanah lapang hijau dengan banyak gundukan dan tanda nama. Ia menyentuh knop pintu kemudian urung membukanya.

"Apa ada yang salah, Tuan Muda?" Tama membuka pintu Zai dari luar. Ia lebih dulu turun untuk membukakan pintu bagi tuan mudanya.

Zai menggeleng. Ia menarik napas panjang, kemudian turun dari mobil. Keempat pengawalnya sudah siap siaga di belakang Tama.

"Saya mau kalian semua tunggu di sini." Zai mengatakan kalimatnya setelah diam cukup lama.

"Maaf, Tuan Muda. Saya tidak bisa menuruti keinginan Anda. Kami ditugaskan untuk menjaga Anda dengan jarak maksimal 5 meter." Salah satu pengawal yang posisinya paling dekat dengan Zai berbicara dengan sopan.

Tama melihat Zai menghela napas dan mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih. Ia sadar kalau Zai sedang dalam kondisi tidak stabil dan bisa meledak tiba-tiba. Selain kekesalan, Tama bisa melihat kesedihan dari sorot mata tuan mudanya. Ia akhirnya memberanikan diri untuk melanggar peraturan.

"Biar saya yang bertanggung jawab. Kalian tunggu di sini."

"Baik, Tuan." Keempat pengawal Zai kembali ke mobil mereka.

"Tumben. Tama yang aku kenal bukan seseorang yang akan melawan peraturan."

"Tadi Anda mengatakan kalau saya adalah teman Anda. Bukankah seorang teman harusnya membantu temannya yang sedang kesusahan?" Tama berbicara sambil menatap Zai.

"Tapi ... " Zai melihat Tama yang kini menatapnya prihatin.

"Tuan Muda boleh menganggap saya sebagai teman. Saya bukan hanya seseorang yang ditugaskan membantu Anda, jika diizinkan saya sangat ingin bisa berteman dengan Tuan Muda."

"Kalau mau jadi temanku ada syaratnya." Zai mengamati perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Tama. Lucu sekali memang, ia tahu kalau asistennya kini tengah terkejut. Namun, ia tidak bisa mengenali wajahnya.

"Apa itu, Tuan Muda? Saya akan berusaha memenuhi syarat tersebut."

Zai dibuat tersenyum karenanya, "Panggil namaku, bukan Tuan Muda. Panggil aku Zaivan atau cukup Zai."

"Baik, Tuan Muda." Tama dibuat terkejut oleh kata-katanya sendiri. "Baik, Zai. Begitu maksud saya."

Senyum Zai mengembang, "Oke, kalau gitu gue bisa panggil lo Bang Tama."

Tama membalas senyum Zai dengan senyuman yang sama.

***

Tama memimpin jalan. Mereka menyusuri jalan utama yang membelah daerah itu menjadi dua. Tama berinisiatif bertanya pada salah satu penjaga yang ada di dekat pintu masuk. Zai mengikuti Tama sambil memperhatikan sekelilingnya. Mereka berhasil menemukan ibu Zai dalam waktu singkat karena bantuan penjaga tadi.

Tama menunjuk satu titik yang mereka tuju. Zai segera mengkonfirmasi dengan melihat huruf-huruf yang tersusun di depannya. Ia berhasil menemukan ibunya.

Zai sengaja duduk di tempat kosong yang ada di sisi ibunya. Matanya terus menatap pada huruf dan angka yang ada pada nisan di depannya.

Tama yang memahami situasi akhirnya bertanya, "Apa kamu perlu waktu sendiri, Zai?"

Zai tidak menjawab. Namun, bahunya mulai bergetar. Tama tahu kalau Zai mulai menangis. Ia menepuk pundak Zai pelan dan berpindah dari tempatnya saat ini. Tama memberi jarak agar Zai merasa lebih nyaman.

Tanpa sadar, air mata Zai menetes dan terus mengalir membentuk jalur air mata yang menyerupai sungai. Ia merindukan wanita yang belum pernah ia temui. Mungkin ia bisa mengobati kerinduannya ketika melihat cermin. Orang-orang bilang kalau wajahnya tidak mirip dengan ayahnya.

Asisten ayah Zai juga pernah mengatakan kalau wajah Zai sangat mirip dengan ibunya. Namun, apa boleh buat, bahkan ia tidak mampu mengenali wajahnya sendiri. Bagaimana ia bisa mengenali wajah ibunya yang diwariskan padanya?

Zai menangis hingga suara isaknya bisa ia dengar dengan jelas. Fakta bahwa ia tidak punya kesempatan untuk mengingat wajah ibunya telah membuat luka baru.

Zai menangis cukup lama. Tama menghampiri Zai ketika laki-laki itu sudah lebih tenang. Zai lebih banyak diam selama perjalanan pulang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menutup matanya.

Satu pertanyaan yang pernah Zai ajukan untuk dirinya sendiri kembali muncul dalam pikirannya.

Apakah ia bisa merindukan sosok seorang ibu saat ia belum pernah memilikinya?

Jawabannya adalah bisa. Ternyata ia tetap bisa merindu meskipun telah menemukan ibunya. Ia merindukan pelukan dari ibunya yang tengah terbaring berselimutkan gundukan tanah dan nisan.

Tama sempat mengira kalau Zai tidur sampai laki-laki itu mengeluarkan suara.

"Thanks, Bang."

Supir yang tengah fokus memarkirkan mobil di pelataran dibuat menoleh karena kata-kata Zai.

"Sudah kewajiban saya untuk mendampingimu."

***

Seperti biasa, Zai berjalan berdampingan dengan Tama. Mereka langsung menuju lift utama yang akan mengantar mereka ke kamar Zai. Tepat saat pintu lift terbuka, beberapa orang ada di dalam tidak bergerak ketika mendapati Zai berdiri di sana.

"Tuan Harsa ada di hadapan Anda.." Tama berbisik sedekat mungkin dengan Zai.

"Oh, saya kira Anda sedang ada di Australia, Tuan Harsa." Zai berbicara dengan nada malas.

Ayah Zai melangkah keluar dan diikuti oleh beberapa pengawalnya, "Dari mana saja kamu, Zaivan?"

Zaivan terdiam. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ia bilang kalau ia baru saja berkunjung ke makam ibunya.

"Sepertinya anak ini tidak mau menjawab," Pria berjas itu mengalihkan pandangannya pada asisten Zai, "kalian dari mana, Tama?"

"Kami dari panti asuhan, Tuan." Tama menjawab tanpa ragu.

"Panti asuhan katamu? Berani-beraninya kamu melanggar peraturan yang saya buat!" Ayah Zai membentak Tama dengan suara yang mampu membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkejut.

Tama tidak berkomentar dan tetap berdiri tegak.

"Tama, ikut ke ruangan saya! Zaivan, masuk ke kamarmu!" Ayah Zai memberi perintah dengan volume suara yang sama.

Bukannya menurut, Zai malah ikut masuk ke ruangan ayahnya. Ruangan itu adalah ruangan yang sama saat Zai dimarahi pekan lalu. Kaca besar yang ada di balik punggung ayahnya mampu membuat perhatian Zai teralih sejenak. Ia juga menyadari kalau ada botol wine yang masih terisi setengah di atas meja kerja ayahnya. Ia bisa menyimpulkan kalau ayahnya baru saja meminum wine itu.

"Ada masalah apa, Zaivan? Saya bilang masuk ke kamarmu!" Wajah Ayah sudah merah padam. 

"Aku yang meminta diantar ke sana. Tama hanya mengikuti perintahku." Zai menjawab sambil menatap mata ayahnya.

"Masuk ke kamarmu sekarang!" Ruangan yang dilengkapi lampu hias besar itu memperjelas warna wajah ayah Zai yang memerah karena marah.

"Hukum aku atas kesalahanku. Tama nggak ada kaitannya dengan masalah ini."

"Zaivan! Bawa anak ini ke kamarnya." Ayah Zai memerintahkan pengawalnya untuk memaksa Zai keluar dari ruangan itu.

Zai memberontak sepanjang perjalanan menuju kamarnya, ia kesal dan marah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ia khawatir dengan kondisi asistennya. Ia tahu betul jenis hukuman apa yang akan Tama terima karena perbuatannya. Zai berharap ia bisa bertemu Tama esok hari.



Terima kasih sudah membaca.

ODOC WH BATCH 4 Day 9

6 Oktober 2020

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang