Zai masuk ke kamarnya dengan sukarela. Begitu ia masuk, pintu kamarnya dikunci dari luar. Zai merogoh saku celana dan ia tidak menemukan botol gelembungnya di sana. Ia segera membuka lemari kecil di dekat kaca. Sayangnya, ia juga tidak menemukan botol gelembungnya.
Zai berjalan menuju pintu dan menggedornya keras.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" Asisten Zai menjawab dari balik pintu.
"Mana botol gelembungku?" Zai berteriak kesal.
"Maaf, Tuan Muda. Kini Anda sedang dalam masa hukuman, Tuan Harsa memerintahkan saya untuk menyita semua botol gelembung milik Anda."
Zai meluapkan kekesalannya dengan memukul pintu dengan keras.
Ketika ayahnya pulang, sebenarnya Zai sangat ingin memeluk pria itu. Namun, ayahnya pulang bukan untuk memberinya selamat. Ia malah berakhir dikurung di kamarnya. Kekecewaannya membawa kenangan lama kembali.
Seumur hidupnya, ia hanya dipeluk satu kali yaitu saat pertama kali ia masuk ke rumah Arkanayaka. Ayahnya membawanya dari panti dengan empat pengawal dan dua mobil mewah. Dulu, Zai sangat antusias dan berharap ia akan memiliki keluarga yang bahagia seperti keluarga di buku yang sering Bunda bacakan. Namun, dugaannya salah.
Zaivan turun dari mobil mewah itu setelah seorang pria berjas membukakan pintu. Ia memegang kedua tali ransel yang menggantung di bahunya. Zai sempat dibuat terpaku oleh pintu yang begitu besar yang ada di hadapannya. Pintu itu berukuran dua kali lebih tinggi dari pintu yang ada di kamarnya di panti. Pintu itu terbuka tanpa disentuh.
Zai terus berjalan di belakang laki-laki yang disebut Bunda sebagai ayahnya. Mereka memasuki sebuah ruangan dengan banyak orang berjas putih.
Ayah Zai menunduk, "Zaivan, kakek itu adalah kakekmu."
Zai menatap pria tua yang terbaring di tempat tidur. Rambut pria itu putih, seperti karakter kartun. Zai sempat kebingungan dan tidak tahu harus menyapa seperti apa.
"Ayah, aku membawa cucumu Zaivan Oktora. Mungkin sekarang kita bisa menyebutnya sebagai Zaivan Oktora Arkanayaka."
Wajah pria berambut putih itu memerah, "Berani-beraninya kamu bawa anak orang lain ke rumah ini."
"Dia anakku dan tidak ada alasan untuk tidak mengakuinya. Bagaimana pun dia seorang Arkanayaka."
"Jadi ini anakmu dengan wanita itu?"
"Wanita itu punya nama, Yah. Namanya Meidina."
Zai menatap ayahnya yang baru saja menyebutkan sebuah nama. Meidina, itu nama ibunya.
"Aku tidak mau mengakui anak ini. Kau harus tetap menikah dengan wanita pilihanku."
"Apa yang Ayah mau? Ayah mau cucu? Aku sudah bawakan. Ayah mau seorang penerus Arkanayaka?" Laki-laki itu memeluk dan menggendong Zai. "Ini, anak ini akan jadi penerus Arkanayaka."
Zai terus menatap Ayah dan kakeknya bergantian. Ia berusaha memahami situasi yang kini terjadi.
"Ayah harus menerima keputusanku. Anak ini adalah anakku dan dia akan jadi satu-satunya penerus Arkanayaka."
Zai diturunkan dari gendongan ayahnya, lalu laki-laki itu pergi begitu saja. Zai ditinggalkan di ruangan itu bersama dengan kakeknya dan beberapa pengawal.
Zai memandang pria berambut putih di hadapannya dengan tatapan penuh tanya.
"Apa yang kamu lihat?" Pria itu membentak.
Zai menunduk. Ia mengeratkan pegangan pada tali ranselnya.
"Bawa anak haram ini, aku tidak sudi berada di ruangan yang sama dengannya."
Anak haram. Zai pernah mendengar kata itu sebelumnya. Kata Bunda, tidak ada anak haram di dunia ini. Hanya saja, ada anak yang berkesempatan dirawat oleh keluarga kandungnya, ada anak yang mendapat kesempatan untuk tumbuh bersama keluarga lain dan ada juga yang beruntung karena hidup dengan banyak saudara karena tinggal di panti. Namun, kenapa dirinya disebut anak haram?
Kenangan buruk itu menemani Zai setelah ia sendirian di kamarnya. Sejak hari pertama ia datang ke rumah ini, ia tidak pernah mendapat kasih sayang. Ayahnya selalu tidak ada di rumah. Kakeknya meninggal satu bulan setelah kedatangannya. Kini ia tmenyesal, mungkin lebih baik jika ia tinggal di panti bersama saudara dan bundanya.
***
Zai berjalan di tengah jalan aspal. Ia berhenti dan menatap langit, semuanya abu-abu. Ada asap yang meliputi tempat itu. Zai menoleh dan mendapati seseorang tengah mengikutinya. Orang asing itu memiliki postur seorang pria. Ia mengenakan sejenis topeng yang menutupi seluruh wajahnya. Permukaan topeng itu memantul seperti kaca. Aneh sekali, Zai memandangi wajah keperakan tanpa ekspresi itu. Orang aneh bertopeng itu menyentuh lengan Zai dan tindakannya membuat Zai gemetar.
Seorang wanita datang entah darimana. Wanita itu kelihatan kacau dan dress putihnya berlumuran darah. Ia membawa sebatang balok kayu dan mengarahkannya ke kepala orang asing itu. Tanpa terduga, orang itu berbalik dan menangkap balok kayu yang terarah ke kepalanya.
Zai tidak bergerak dari posisinya, tubuhnya semakin gemetar. Laki-laki tadi melemparkan balok kayu ke sembarang arah dan menangkup leher wanita yang ada di hadapannya.
"Lari!" Wanita itu berteriak.
Laki-laki tadi menatap Zai dengan tatapan mengintimidasi.
"Lari!" Suara wanita itu mengecil dan terbata. Matanya menatap tepat pada mata Zai.
Zai tetap berdiri di tempatnya. Laki-laki tadi mencekik wanita itu hingga kesadaran wanita itu hilang. Laki-laki dengan tubuh kekar itu melemparkan wanita tadi dan tersenyum melihat Zai.
Zai tidak punya pilihan lain selain berlari. Ia terus berlari hingga dadanya serasa terbakar. Zai mulai kehabisan napas dan lututnya terasa sakit. Zai kehilangan keseimbangannya dan ia terjatuh. Ketika ia berniat bangkit dari posisinya, laki-laki bertopeng itu mengacungkan senjata api tepat di antara kedua alisnya. Zai menutup mata dan satu letusan terdengar.
Zai terbangun dengan badan penuh keringat. Ia bersyukur karena semua itu hanya mimpi. Ia langsung menyibak selimutnya dan hendak turun dari ranjang. Ternyata asistennya sudah berdiri di dekat ranjangnya.
"Selamat Pagi, Tuan Muda. Saya diperintahkan oleh Tuan Harsa untuk membawakan sarapan Anda." Pria itu menatap tuan mudanya yang kelihatan tidak baik-baik saja. "Mimpi buruk lagi, Tuan Muda?"
Zai menyembunyikan tangannya yang gemetar di balik tubuhnya.
"Akhir-akhir ini Anda sering mimpi buruk. Apa perlu saya hubungi dokter atau psikolog?" Asistenya menatap khawatir.
"Nggak perlu. Ini bukan hal yang perlu dikhawatirkan."
Zai beranjak dari duduknya dan melihat troli makanan yang dibawa oleh asistennya.
"Sarapan pagi ini adalah nasi goreng seafood dan teh hangat. Menu khusus pesanan Tuan Harsa."
"Bahkan dia lupa kalau aku alergi udang." Zai berdiri menatap cermin. Ia masih tidak mengenali wajahnya.
"Kepala koki sengaja tidak memasukkan udang di sarapan Anda, Tuan Muda. Saya sudah memberi informasi pada kepala koki." Asisten Zai tersenyum puas.
"Terima kasih. Jadi sampai kapan saya dilarang keluar rumah?"
"Nanti malam akan ada makan malam bersama keluarga Arkanayaka. Anda diharuskan hadir dalam acara itu. Secara tidak langsung, hukuman Anda berakhir hingga pukul 19.00."
"Ini acara pengganti pesta ulang tahun kemarin?"
"Sepertinya bukan, Tuan Muda. Menurut saya, makan malam ini berhubungan dengan peresmian hotel di pesisir Lampung."
Terima kasih sudah membaca.
ODOC WH BATCH 4 Day 4
1 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...