Zai berdiri lama di tempatnya. Ia mengamati gadis itu dengan jarak dua meter. Kulit gadis itu cerah, rambut panjangnya diikat tinggi dan pakaiannya kelihatan tomboi. Gadis itu banyak tersenyum ketika seekor kucing menghampiri makanan yang ia letakkan. Ketika gadis itu berdiri, Zai dibuat terkejut karena ternyata gadis itu cukup tinggi.
Ketika gadis itu menoleh, Zai buru-buru mengalihkan pandangannya. Tanpa terduga, gadis itu datang menghampirinya.
"Kenapa liatin gue tadi?" Gadis itu bertanya sambil melipat tangan di dada.
"Gue nggak sengaja lihat lo," Zai menunjuk lokasi tempat gadis itu berjongkok, "naruh makanan kucing di sana." Zai menjawab dengan terbata.
"Terus?" Gadis itu bertanya dengan nada yang menurut Zai cukup galak.
"Nggak apa-apa. Maaf kalau saya ganggu." Zai mengangguk lalu segera pergi dari sana. Zai sempat mendengar gadis itu berdecak di belakangnya.
Zai melanjutkan perjalanannya. Ia berjalan hingga halte dan berdiri di sana untuk menunggu bus. Sebelum bus tiba, seseorang dengan jas almamater menghampirinya. Detak jantung Zai berdetak lebih kencang. Ia gugup kalau orang itu akan menyapanya. Seringkali Zai disapa oleh orang yang tidak dapat ia kenali meskipun sudah berbicara lama. Hanya orang-orang yang sering berinteraksi dengannya yang ia ingat suaranya.
Zai bernapas lega ketika laki-laki tadi berjalan melewatinya. Tidak dapat mengenali lawan bicara adalah satu hal yang Zai sesali. Ia merasa bersalah pada orang-orang yang tidak bisa ia kenali.
"Zaivan."
Zai menoleh dan mendapati seorang gadis dengan pakaian cerah menghampirinya. Dari suara seraknya ia bisa mengenali kalau itu Hana.
"Gue lagi nyari adek gue. Tadi dia ikut ke sini buat jalan-jalan. Eh, nggak tahu deh ini malah ngilang." Hana berbicara sambil terengah-engah.
"Sorry, gue nggak bisa bantu. Ada job sore ini."
Hana melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, "Gue lupa ini hari Jumat. Oke, nggak apa-apa. Gue lanjut cari adek gue dulu ya."
Zai mengangguk dan membiarkan Hana melangkah pergi.
***
Begitu tiba di salah satu gerai makanan siap saji, Zai langsung menuju pintu yang bertuliskan staff only. Ia mengganti bajunya dengan seragam berwarna merah khas gerai tersebut. Kegiatan kerja paruh waktu ini sudah setengah tahun ia jalani. Ia bekerja sebagai kasir dan bekerja hanya pada hari Jumat dan akhir pekan.
Awalnya ia kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya karena prosopagnosia yang diidapnya. Zai jadi sedikit berbicara karena tidak dapat mengenali lawan bicaranya. Jumlah rekan kerjanya tidaklah sedikit karena mereka bekerja di gerai yang cukup besar dan terkenal. Seiring berjalannya waktu, teman-temannya menganggap Zai memanglah seorang yang pendiam.
Zai berpapasan dengan seorang laki-laki yang mengenakan jaket abu-abu setelah ia keluar dari ruangan itu. Ia tadinya tidak begitu memperhatikan, tetapi matanya menangkap sesuatu yang familiar. Laki-laki itu mengenakan earphone dengan logo Arkanayaka.
Zai berusaha berjalan setenang mungkin.Tempat kerjanya adalah tempat umum, wajar saja kalau salah satu pengawal atau staf ahli keluarganya kebetulan mampir ke tempat itu. Namun, Zai dibuat tidak habis pikir ketika laki-laki tadi masuk ke ruangan staf dan mengganti pakaiannya dengan seragam yang serupa dengan Zai.
Laki-laki tadi memasuki area kasir dan berdiri di samping Zai. Kemudian ia berbisik, "Selamat sore, Tuan Muda. Saya adalah pengawal pribadi Anda untuk sementara. Mohon kerja samanya."
Zai melotot tidak percaya. Setelah setahun, ia merasa bebas, kini ayahnya kembali mengirim pengawal pribadi untuknya. Zai tidak mengatakan apa-apa setelah itu.
"Anda sebaiknya lebih berhati-hati, Tuan Muda. Seorang pengawal yang bertugas untuk mengawasi Anda selama setahun ini ditemukan tewas siang tadi."
Tangan Zai tiba-tiba gemetar. Matanya menatap udara kosong. Kepalanya jadi pening. Setelah satu tahun menjalani hidup normal, hari ini akhirnya tiba juga.
"Tuan Harsa ada di mana saat ini?" Zai bertanya dengan wajah serius. Kebetulan belum ada pelanggan yang perlu dilayani saat ini karena gerai mereka akan buka tepat pukul 6 sore.
"Untuk informasi itu saya perlu menanyakan pada asisten Tuan Harsa terlebih dahulu. Tunggu sebentar, Tuan Muda."
Zai ingin marah karena ia terus dipanggil dengan sebutan yang tidak ia sukai. Namun, Zai berusaha mengerti kalau laki-laki ini pasti hanya mematuhi peraturan yang dibuat oleh keluarganya.
"Tuan Harsa ada di Indonesia, tepatnya di salah satu kompleks apartemen di timur ibu kota."
Zai kembali diam. Kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan.
Sebelumnya, Zai selalu mengeluh ketika latihan fisik dan beladiri lainnya masuk dalam jadwalnya. Namun, setelah keluar dari rumah. Ia sadar kemampuan itu sangat ia butuhkan. Ia yang selalu kelihatan seperti kutu buku yang hanya sibuk dengan mesin yang ia buat kelihatan mudah ditindas.
Satu kali ia pernah dicegat oleh preman saat ia sedang berjalan di gang sempit. Zai terus mempertahankan barang bawaannya dan tidak sedikitpun berniat memberikannya. Saat kepalan tinju melayang ke arahnya, gerak tangannya lebih cepat menangkis sebelum tinju itu mendarat di tubuhnya. Dengan cepat Zai mampu mengalahkan preman itu. Zai meninggalkan preman yang mengaduh kesakitan itu di gang sempit tempat mereka berkelahi.
***
Zai pulang bersama dengan laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai pengawalnya tadi. Ternyata sebuah kamar di indekos Zai sudah disewa untuk pengawal itu. Zai tidak lagi terkejut, perkara menyewa kamar di indekos murah seperti ini adalah hal remeh yang bisa dilakukan ayahnya. Jika ingin, ayahnya bisa membeli seratus indekos seperti ini.
Setelah sendirian di kamar, Zai menelepon Tama untuk memastikan situasi.
"Bang, lo di mana?" Zai bertanya begitu Tama menjawab panggilannya.
"Saya nggak bisa jawab, Zai. Ada apa? Tumben telepon larut malam."
"Lo dengar sesuatu dari bokap lo? Satu orang pengawal baru aja diutus buat mengawal gue."
Tama terdiam. Ada jeda beberapa lama sebelum ia akhirnya bersuara, "Saya akan pastikan dulu apa yang sedang terjadi. Nanti saya akan laporkan hasilnya."
"Terima kasih, Bang. Lo memang selalu bisa gue andalkan. Oh, iya. Gue pasti bayar lo untuk jasa mencari informasi."Zai segera mengakhiri sambungan itu setelah Tama mengatakan kalau ia tidak menerima bayaran dari anak-anak.
Zai duduk di dekat jendela. Ia membuka jendela itu dan menghirup udara sebanyak mungkin. Dadanya terasa sesak ketika mengingat kembali kata-kata pengawalnya. Keberadaanya sudah menghilangkan satu nyawa atau bahkan lebih. Sejak kecil Zai sudah sering menyaksikan ayahnya bersikap kasar pada pengawal mereka dan tentu saja itu dilakukan dengan mengatasnamakan kedisiplinan, tetapi hari ini hati Zai hancur ketika mendengar berita seseorang meninggal ketika sedang menjaganya.
Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan botol gelembung dari sana. Ia meniup gelembung dan menghela napas setelahnya. Untuk satu nyawa yang sudah menjaganya selama satu tahun ini, ia berharap kalau jiwa orang itu tenang di alam sana.
Zai menatap satu gelembung yang terus terbang menjauh. Zai tersenyum melihatnya. Semoga harapannya sudah terekam di gelembung itu. Zai yakin, doanya pasti akan terkabul.
Terima kasih sudah membaca.
ODOC WH BATCH 4 Day 18
15 Oktober 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...