Keping 22

85 25 0
                                    

Ruangan dengan kaca besar yang memperlihatkan taman megah di belakangnya itu hanya diisi dua orang. Dua orang yang sama-sama duduk di sofa dengan kemeja dan tanpa jas. Dasi masih menggantung di leher keduanya. Mereka duduk bersisian layaknya kawan lama yang baru bertemu kembali.

"Sudah berapa kali saya bilang, kalian itu mirip." Pria yang kelihatan lebih rapi itu berkata setelah menyesap minumannya.

"Dia terlalu mirip ibunya. Tidak ada miripnya sama sekali denganku."

"Kecuali keras kepalanya. Sadar atau tidak, dia melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan dulu. Memberontak dan melarikan diri. Mungkin itu adalah tradisi di keluarga Arkanayaka."

Pria lainnya menggeleng kemudian menenggak habis isi gelasnya, "Sepertinya untuk melarikan diri dan memberontak itu benar."

"Dia hanya butuh perhatianmu. Sadar atau tidak, semakin tua sifatmu semakin mirip dengan ayahmu. Harusnya kamu memperhatikannya lebih banyak. Apa kamu masih belum bisa melihatnya dengan waktu lama?"

"Dia terlalu kejam. Wajahnya persis seperti ibunya. Setiap melihatnya hatiku selalu sakit. Di hari yang sama, tepat pada saat kelahirannya, aku kehilangan wanita yang sangat kucintai. Aku selalu menderita setiap melihat wajahnya dan dengan mudahnya ia tidak bisa mengenaliku." Pria itu menautkan jari-jarinya dan menunduk dalam.

"Jangan terlalu keras padanya. Kematian istrimu bukan salahnya dan bukan kemauannya untuk lahir dengan kelainan itu."

Harsa batal menjawab kata-kata sahabat sekaligus asistennya itu karena dering ponsel mengganggu mereka. Suara dering ponsel itu berasal dari ponsel pribadi asistennya.

"Iya, Tama." Pria itu mengangkat telepon setelah beranjak dari duduknya. "Bawa dia ke sini sekarang!"

Suara seruan panik dari asistennya membuat Harsa menoleh dan akhirnya bertanya, "Ada masalah?"

"Tama sedang bersama Zaivan. Baru saja mereka hampir terlibat baku tembak dengan pria bertopeng yang mengaku kenal dengan Indira."

Kata-kata asistennya membuat Harsa bangkit dari duduknya dan segera berteriak, "Apa katamu?"

"Beruntung Tama tiba tepat waktu dan kondisi mereka baik-baik saja. Untuk detailnya nanti akan Tama jelaskan."

***

Selama perjalanan, Tama terus melirik ke arah Zai. Ia berusaha memahami ekspresi yang kini ditunjukkan oleh Zai. Setelah pertanyaan singkat yang Zai lontarkan, mereka terjebak dalam hening. Tama jadi merasa bersalah karena telah membentak Zai yang sebenarnya adalah mantan tuan mudanya. Namun, rasa khawatir Tama meluruh ketika Zai tiba-tiba buka suara.

"Lo pasti tahu sesuatu 'kan, Bang?" Zai bertanya, tetapi wajahnya masih terarah ke jalanan.

Tama terdiam dan berusaha melegakan tenggorokannya dengan berdehem.

"Jangan bohong, gue tahu lo pasti menyimpan sesuatu." Tidak ada emosi maupun kekuatan dari suara Zai. Suaranya lemah layaknya orang yang sudah kehabisan energi.

Tama kembali melirik Zai yang masih menatap jalanan.

"Kamu ingat sesuatu setelah kejadian tadi?" Tama malah balik bertanya.

"Iya. Gue ingat semuanya. Mimpi itu terulang kayak kaset lama dan gue baru sadar kalau itu semua berasal dari ingatan gue sendiri."

"Kita akan bahas ini nanti. Saya sudah punya data dari kejadian sepuluh tahun lalu." Tama kembali melirik Zai yang kini menghela napas pelan. Tama sedikit lega karena setidaknya Zai tidak memaksanya untuk memberitahu kebenarannya.

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang