Laki-laki dengan pakaian pasien dan perban di lengan itu terbangun. Matanya terbuka perlahan. Cahaya dari lampu yang menyala membuat ia mengerjap. Ia berada di ruangan putih dan tidak ada pengawal di sekitarnya. Kejadian sebelumnya berputar di kepalanya layaknya film lama. Ia sempat menghela napas menduga ia tidak lagi ada di dunia, tetapi ketika matanya menatap sekitar, ia tahu kalau kini ia berada di rumah sakit.
Matanya melihat sebuah infus menggantung di sebelah kiri dan ia bisa merasakan nyeri di lengannya. Ia sempat terkejut ketika mendapati seorang pria dengan beberapa luka di tubuhnya tertidur di sofa dekat ranjangnya. Pria itu mengenakan pakaian yang sama dengannya. Hal itu membuat ia tidak bisa menduga siapa pria itu.
Pria tadi tiba-tiba bangun ketika Zai bergerak berusaha untuk duduk.
"Sudah bangun, Zaivan?"
Zai menghentikan gerakannya dan menoleh tidak percaya. Ia mengenali suara itu, suara ayahnya.
Harsa mendekati anak tunggalnya dan berdiri tepat di samping ranjang.
"Anda baik-baik saja?" Zai bertanya, tetapi kepalanya menunduk. Sebelumnya ia belum pernah berada di suasana yang canggung seperti ini dengan ayahnya.
"Terima kasih. Kamu sudah menyelamatkan saya." Harsa menatap Zai dengan tatapan lembut yang belum pernah Zai lihat kecuali saat pertama kali mereka bertemu di panti. "Dalam kondisi seperti ini kamu masih sempat mengkhawatirkan saya. Apa lukamu tidak sakit? Saya rasa efek biusnya sudah berkurang."
Zai diam karena tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tindakannya sebelumnya jelas adalah tindakan refleks karena ia ingin melindungi keluarganya.
"Saya mau minta maaf ... untuk semua yang sudah saya lakukan."
Pria itu meremas tepi ranjang yang Zai tempati. Kepala pria itu tertunduk dalam. Perlahan Zai menolehkan kepalanya. Ia memang tidak bisa mengenali wajah ayahnya, tetapi suara pria itu sama seperti suara ayahnya. Pria itu bersikap aneh, tetapi Zai tidak bisa menolak fakta kalau logikanya mengatakan kalau itu benar ayahnya.
"Saya mencintai ibu kamu, sangat mencintainya. Namun, kehilangannya membuat akal sehat saya juga menghilang. Saya meninggalkan kamu di rumah sakit dan kembali ke kehidupan saya sebelumnya begitu saja. Saya sempat membenci kamu karena keberadaanmu ditukar dengan nyawa wanita yang saya cintai." Cerita Harsa sempat tersendat karena kata-katanya terhalang sesuatu di tenggorokannya.
Zai bisa melihat bahu pria itu bergetar hebat dan air mata menetes di atas seprai ranjangnya. Jeda beberapa saat, setelah lebih tenang Harsa melanjutkan ceritanya, "Saya terus bekerja untuk melupakan semua hal buruk yang terjadi dalam hidup saya hingga sebuah telepon masuk dan sebuah surat kaleng sampai ke meja saya. Surat itu berisi ancaman pembunuhan untuk foto yang ada di dalam amplop yang sama. Foto itu adalah fotomu."
Laki-laki dengan infus di tangan itu memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Kepalanya tetap menunduk dan ia mengepalkan tangan berusaha menahan tangis.
"Saat itu juga, saya memutuskan membawa kamu kembali. Kamu adalah bagian penting dari kehidupan saya. Saya memang tidak pandai menunjukkan rasa sayang, tetapi saya selalu memperhatikan semua yang kamu lakukan dan kamu sukai."
Zai masih berusaha tenang dan bertanya dengan suara yang bergetar, "Kenapa Anda menutupi kasus pembunuhan Indira Arkanayaka?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Hening sempat meliputi mereka.
"Pria yang diseret polisi tadi adalah sahabat saya dan mantan kekasih Indira." Suara Harsa mulai tenang dan air matanya tidak lagi mengalir.
Zai tetap diam dan matanya melirik tajam menunggu kelanjutan cerita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...