Keping 23

73 26 0
                                    

Tama berdiri di depan meja besar yang ada di depannya. Ia menatap lurus ke jendela besar yang ada di hadapannya sambil menunggu ayah Zai selesai merapikan dasinya. Tama sudah bersiap dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi setelah tingkah nekatnya kali ini.

Kursi besar itu berputar dan kini Tama dihadapkan dengan Tuan Harsa Arkanayaka. Tama membungkuk seperlunya untuk menunjukkan tanda hormat.

"Selamat malam, Tuan Harsa. Maaf saya harus menyampaikan laporan mendadak."

Sebuah anggukan dari pria paruh baya yang duduk di kursi besar itu membuat Tama mengeluarkan sebuah map cokelat sedang yang kelihatannya penuh.

Dengan sigap, salah satu pengawal mendorong sebuah papan tulis yang terbuat dari kombinasi besi dan kaca ke samping Tama. Laki-laki dengan setelan jas itu mengangguk mengerti. Ia mengambil sebuah spidol merah dan menempelkan beberapa foto di sana.

"Berdasarkan mimpi yang Zai ceritakan pada psikolog yang menanganinya, mimpi ini berhubungan dengan ingatan alam bawah sadarnya." Tama mengeluarkan sebundel kertas hasil analisa dan menyerahkannya pada Tuan Harsa.

Tama menarik garis lurus dengan spidol merah di tangannya. Ia menghubungkan dua foto yang baru saja ia tempel di papan.

"Pria bertopeng yang kami temui tadi berhubungan dengan kejadian yang ada dalam mimpi Zai. Pria itu menyebutkan satu nama yang merupakan anggota keluarga ini, yaitu Indira Arkanayaka."

Harsa tersenyum miris. Kejadian sepuluh tahun lalu masih ia ingat dengan jelas.

***

"Nyonya Narendra ditemukan tewas pagi tadi sekitar pukul 07.00 WIB." Asisten sekaligus sahabatnya berbisik pelan saat rapat penting baru saja usai.

"Penyebab kematian?" Harsa bertanya tanpa ada rasa prihatin maupun peduli.

"Dugaan sementara adalah benturan keras pada kepala. Staff ahli kita yang ada di lokasi sempat menduga kalau kasus ini merupakan kasus pembunuhan karena ditemukan memar tidak lazim pada leher korban." Asisten Harsa menjelaskan sambil terus berjalan mengikuti pergerakan Harsa yang sedang menuju ruangan utama.

"Bendung semua informasi dan cegah penyidikan lebih lanjut. Lakukan pemakaman segera." Harsa berbicara santai seolah-olah yang baru saja meninggal hanyalah kenalan biasanya.

"Keluarga Narendra meminta autopsi."

"Apa kamu tidak dengar kata-kata saya? Cegah penyidikan lebih lanjut."

Mereka tiba di ruangan utama yang ada di gedung itu. Harsa dan asistennya masuk kemudian pintu dikunci.

"Kamu terlalu berlebihan Harsa, yang baru saja meninggal adalah adikmu. Tidak bisakah kamu melihat dia sebagai Indira Arkanayaka dan bukan seorang nyonya Narendra?"

"Dia yang memilih jalan itu. Biarkan ini berakhir sesuai keinginannya." Harsa melonggarkan dasinya dan duduk di sofa.

"Ada kemungkinan terjadi pembunuhan. Kita bisa ungkap kasus ini lebih cepat dari pada kepolisian. Satu perintah darimu akan menyelesaikan masalah ini. Kondisi ayahmu tidak memungkinkan untuk mengambil keputusan saat ini."

"Tidak akan terjadi apa-apa. Hentikan semua penyelidikan. Ayah juga tidak akan peduli pada Indira."

Penyesalan memanglah selalu datang terlambat. Di hari yang sama setelah kabar kematian Indira mulai diberitakan di media massa, satu surat kaleng tiba di meja Harsa. Isi surat itu membuat Harsa menduga kalau yang mengirimkan surat itu hanyalah orang iseng kurang kerjaan.

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang