Mimpi adalah sesuatu hal yang berharga bagi seseorang. Dari sebuah impian, seseorang bisa mencapai tingkat kebahagiaan tertinggi dalam hidupnya. Namun, Zai tidak mampu memulai mimpi itu. Kini ia benar-benar terjebak di antara tumpukan kertas dengan tulisan yang tidak ia mengerti. Seorang tutor asing mendampinginya saat ini.
Tutor tersebut sibuk menjelaskan hal-hal yang seharusnya Zai pahami, tetapi kepala Zai justru diisi oleh hal lain. Ia menggerakkan pulpen yang ada di tangannya dan memutar benda itu berkali-kali. Tutor asing yang ada di depannya tidak mampu menarik perhatian Zai.
Kelas berakhir setelah pukul 23.00. Mata Zai sudah sangat berat dan kepalanya sakit. Ia berniat untuk segera tidur ketika Tama masuk ke kamarnya.
"Zai, belum tidur?"
"Lo nggak lihat mata gue udah hampir nutup? Kenapa lo harus datang saat gue udah mau tidur sih, Bang?"
Tama terkekeh pelan. "Saya hanya mau memberi informasi kalau ujian besok dimulai pukul 10.00."
Zai dibuat geram. Ia menarik napas dalam-dalam. "Jangan bilang lo dateng cuma mau kasih tahu ini?"
Tama tersenyum lebar kemudian mengangguk. Tangan Zai langsung bergerak meraih bantal yang ada di belakangnya dan melemparkan benda itu ke arah Tama. Dengan gesit Tama beranjak dari posisinya dan berhasil menghindari bantal yang terbang ke arahnya.
"Selamat tidur, Tuan Muda. Semoga ujian besok lancar. Jangan buat masalah lagi, cukup satu nilai yang sempurna."
"Sialan, lo." Zai melemparkan bantal lainnya.
Tama berhasil menangkap bantal melayang kali ini. Wajah Tama berubah serius, senyum di wajahnya nyaris hilang seluruhnya.
"Selamat tidur, Zai. Cukup jadi diri sendiri seperti sekarang. Kamu nggak perlu menyakiti diri sendiri dengan pura-pura baik-baik aja." Tama kembali tersenyum seperti sebelumnya. Ia meninggalkan Zai dalam hening.
***
Zai berjalan di tengah jalan aspal yang tidak asing. Ia berhenti dan menatap langit, semuanya abu-abu. Ada asap yang meliputi tempat itu. Zai menoleh dan mendapati seseorang tengah mengikutinya. Orang asing itu memiliki postur seorang pria. Ia mengenakan sejenis topeng yang menutupi seluruh wajahnya. Orang aneh bertopeng itu menyentuh lengan Zai dan tindakannya membuat Zai gemetar. Setelah pria itu menyentuhnya, Zai sadar ini mimpi yang sama.
Seorang wanita datang entah darimana. Wanita itu kelihatan kacau dan dress putihnya berlumuran darah. Ia membawa sebatang balok kayu dan mengarahkannya ke kepala orang asing itu. Tanpa terduga, orang itu berbalik dan menangkap balok kayu yang terarah ke kepalanya.
Zai tidak bergerak dari posisinya, tubuhnya semakin gemetar. Laki-laki tadi melemparkan balok kayu ke sembarang arah dan menangkup leher wanita yang ada di hadapannya.
"Lari!" Wanita itu berteriak.
Laki-laki tadi menatap Zai dengan tatapan mengintimidasi.
"Lari!" Suara wanita itu mengecil dan terbata. Matanya menatap tepat pada mata Zai.
Zai tetap berdiri di tempatnya. Laki-laki tadi mencekik wanita itu hingga kesadaran wanita itu hilang.
Setelah memastikan wanita itu sudah meregang nyawa, pria tadi menatap Zai dengan tatapan mengancam. Pria itu tidak bergerak dari posisinya. Ia meraih topengnya yang menyerupai lapisan kaca. Topeng itu terlepas dan wajah pria itu terlihat jelas. Pria itu tersenyum dan mengulurkan topeng kaca itu pada Zai.
Tubuh Zai gemetar. Dadanya kehilangan kemampuan untuk bernapas. Ia merasa seperti tercekik. Ia menjerit dan suaranya tidak terdengar. Pria tadi malah tertawa melihat Zai yang sudah tersungkur menyentuh tanah dengan air mata yang mengucur deras.
Zai terbangun dengan badan penuh keringat. Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama yang sudah menemaninya sepuluh tahun terakhir. Entah bagian mana yang sebenarnya adalah mimpinya. Akhir mimpinya terus berubah. Namun, pria dan wanita dengan dress putih itu selalu sama.
***
Seperti biasa, pagi itu Zai sarapan bersama Tama. Satu hal yang ia sukai dari tinggal di tempat ini adalah karena ia memiliki teman makan. Sejak ia dan Tama pindah ke sini, Tama jadi kelihatan lebih nyaman dan mau makan bersama dengannya. Meskipun tetap banyak pelayan dan pengawal yang ada di ruangan itu, Zai tetap merasa kalau mereka hanya tinggal berdua saja.
"Jangan sampai ada kesalahan, Zai." Tama berbicara setelah menuangkan jus ke gelas Zai.
"Terima kasih, Bang." Zai meraih gelas yang diserahkan Tama. "Lo jadi makin mirip bokap gue tau kalau ngomong gitu."
"Saya rasa, saya lebih mirip ibu daripada Tuan Harsa." Tama tersenyum, tetapi senyumnya meluruh ketika menyadari ada perubahan pada ekspresi Zai. Laki-laki itu tiba-tiba murung. Tama baru menyadari kalau ucapannya meungkin mengingatkan Zai pada ibunya.
"Sorry. Saya nggak bermaksud membuat kamu sedih di hari yang penting ini." Tama jadi merasa bersalah.
"Hari penting apanya? Gue nggak apa-apa, Bang." Zai memaksakan senyumnya.
Setelah makan, Zai melihat ponselnya dan membuka salah satu media sosial yang ia gunakan. Foto seseorang yang sangat ia kenali tampil di layer ponselnya. Ia tersenyum begitu melihat foto itu. Foto itu adalah foto Jeffry Narendra. Zai mengetuk layar dua kali dan memunculkan gambar hati berwarna merah. Ia merindukan sahabatnya.
Sudah lama sejak Zai tidak berkontak dengan Jeff, sepupu sekaligus satu-satunya teman yang ia punya. Bukan karena hubungan mereka jadi buruk, tetapi mereka jadi cukup canggung karena sudah lama tidak menanyakan kabar satu sama lain. Informasi terakhir yang Zai terima, Jeff mengambil jurusan kedokteran seperti keinginan ayahnya.
Sepertinya kondisi Jeff sama buruknya dengan kondisi Zai sekarang. Namun, ia lebih beruntung karena ia memiliki kebebasan. Setelah lulus SMA, ia langsung mendapatkan apartemen untuk dirinya sendiri. Ia juga bebas tanpa adanya pengawal atau asisten pribadi. Bukannya Zai tidak menyukai Tama, tetapi terkadang Zai juga ingin memiliki kebebasan.
"Sudah siap? Hari ini mau bawa mobil sendiri atau saya antar?" Tama bertanya setelah melihat Zai yang sudah tidak lagi menyentuh makanannya dan malah sibuk dengan ponsel di tangan.
"Bawa mobil masing-masing aja." Zai memasukkan ponselnya ke saku dan berjalan keluar.
Zai memiliki lebih banyak kebebasan di negara ini. Ia tidak dikawal oleh banyak pengawal meskipun ia tahu kalau ayahnya sengaja menyewa beberapa pengawal untuk menyamar menjadi mahasiswa di kelasnya. Zai hanya didampingi oleh Tama yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi.
Zai juga diizinkan mengendarai mobil sendiri, tetapi Tama harus tetap mengawalnya dengan mobil lain. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada ia hanya duduk manis dan menunggu sampai tiba di tujuan. Zai sangat suka berkendara sendirian.
Setelah kedatangan ayahnya yang membuat ia harus terjaga hampir setiap malam karena kelas yang diberikan oleh tutor kuliahnya, Zai tidak pernah melewatkan satu kelas pun. Ia berusaha untuk tidak melewatkan kelas bukan karena ancaman dari ayahnya, tetapi ia hanya ingin memeriksa sampai kapan ia dapat bertahan dalam kondisi itu.
Terima kasih sudah membaca.
ODOC WH BATCH 4 Day 11
8 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...