Keping 24

105 27 0
                                    

Pembicaraan ketiga pria yang ada di ruangan dengan kaca besar itu berakhir ketika ponsel Tama berdering. Tama mendapat satu telepon dari seseorang yang membuatnya cukup terkejut. Tama keluar dari tempat itu dan berusaha berjalan sejauh mungkin dari pintu ruangan Harsa kemudian ia mengangkat teleponnya.

"Iya, Zai."

"Lo bisa ke kamar gue sekarang?"

Tama khawatir karena mendengar suara yang serak dari benda pipih di tangannya. Ia segera berlari menuju lift dan bergegas menuju kamar Zai. Laki-laki dengan setelan jas itu mengedarkan padangannya ke sekitar dan tidak mendapati Zai ada di sana.

Jantung Tama berdebar dengan cepat. Tanpa sadar ia meraih pistol dari balik jasnya dan ia berjalan mengendap untuk berjaga-jaga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi. Tama membuka pintu yang terhubung dengan balkon dan seketika itu juga ia mengembuskan napas lega. Ia menarik tangannya dari balik jas dan membiarkan tangannya bergerak bebas mengikuti langkahnya.

"Punya waktu untuk cerita?" Zai bertanya setelah menarik sebuah kursi kayu yang ada di dekatnya dan mempersilahkan laki-laki berambut hitam itu duduk dengan satu anggukan.

Tama tidak menjawab meskipun ia menurut untuk duduk di samping Zai.

"Siapa Indira? Nama itu kedengarannya nggak asing."

Tama menelan salivanya sendiri untuk melegakan tenggorokannya.

"Masih nggak mau jawab, Bang?"

"Saya diminta kembali menjadi asistenmu." Tama berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Bagus, kalau gitu sekarang gue kasih lo perintah pertama setelah kembali menjadi asisten gue." Zai menggeser tubuhnya hingga tepat menghadap Tama. Tatapan matanya sangat tajam sampai membuat seseorang yang sebenarnya lebih dewasa darinya itu pun ikut dibuat terintimidasi, "Jawab pertanyaan gue!"

Selama menjadi asisten bagi putra tunggal keluarga Arkanayaka, Tama belum pernah melihat tatapan mengintimidasi dari Zai. Ia sempat dibuat tersekat. Namun, jantungnya kembali dibuat berolahraga karena tiba-tiba satu letusan terdengar dari arah taman belakang. 

Dengan cepat Tama menarik Zai untuk merunduk. Matanya segera menyisir semua area yang dapat dijangkau. Ia mengarahkan Zai untuk segera masuk ke kamarnya. Setelah mereka masuk ke ruangan, Tama langsung mengecek apa yang terjadi melalui satu panggilan telepon.

Ternyata suara letusan itu berasal dari salah satu pengawal yang menembak hewan liar yang memasuki area rumah keluarga Arkanayaka. Sepertinya kejadian tadi siang membuat pengawalan menjadi berlebihan. Zai menghela napas panjang kemudian tertawa mengejek.

"Sudah gue bilang, ini terlalu konyol. Untuk apa semua pengawal dikasih senjata kalau cuma buat tembak hewan liar?"

"Pengawasan sedang ditingkatkan karena kejadian tadi siang."

"Jadi, siapa Indira?" ucap Zai dengan suara yang tegas dan tatapan mengintimidasi.

"Indira Arkanayaka adalah adik ayahmu. Mungkin lebih tepatnya adik tiri." Suara berat yang berasal dari pintu membuat Zai dan Tama kompak menoleh.

"Mereka besar di dua rumah berbeda karena mereka punya ibu yang berbeda. Indira tidak bisa menjadi pewaris meskipun ia adalah anak dari istri pertama kakekmu dan karena itu ia memilih menikah dengan Jevais Narendra."

"Apa Indira Arkanayaka adalah ibu Jeff?" Zai tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini ia hanya tahu kalau ia dan Jeff bersaudara. Seluruh keluarga mereka tidak pernah membahas tentang Indira sebelumnya. Bahkan ia belum pernah mendengar nama wanita itu dari Jeff.

Pria paruh baya itu mengangguk dan hal itu membuat Zai langsung bergegas menuju ruangan ayahnya.

***

Saat pertama kali Zai mengikuti acara keluarga Arkanayaka, semua mata menatapnya dengan tatapan menghakimi. Semua orang kelihatan tidak menyukainya. Namun, ada seorang anak yang kelihatannya memiliki usia yang tidak jauh berbeda dengannya datang menghampiri.

Anak itu tersenyum hingga membentuk dua lesung pipi pada masing-masing sisi pipinya. Zai dibuat kagum dengan lesung pipi yang kelihatan sangat dalam itu.

"Halo, Zaivan. Kenalin aku Jeff." Anak itu mengulurkan tangannya dan terus tersenyum.

Zai tidak langsung menyambut tangan anak itu. Ia melihat ke atas untuk meminta persetujuan pria yang ada di sampingnya. Begitu pria itu mengangguk, Zai langsung tersenyum dan menyambut uluran tangan Jeff.

"Halo, Jeff. Senang bisa kenal kamu."

Dari semua orang yang ada di tempat itu, hanya Jeff yang mampu membuatnya merasa nyaman. Setelah pertemuan itu, mereka kembali dipertemukan di sekolah dan kelas yang sama. Dari sanalah hubungan persahabatan mereka dimulai.

Kedua anak itu tidak pernah membahas tentang masalah keluarga mereka. Yang Zai tahu Jeff bisa menjadi bagian dari acara Arkanayaka karena ibunya adalah salah satu anggota keluarganya. Mereka juga tahu kalau hubungan ayah mereka sama sekali tidak baik.

***

Jendela besar di ruangan itu bercahaya. Setiap sisinya memiliki lampu panjang yang mengitarinya. Ruangan besar itu sepi dan kini minim pencahayaan karena lampu utama dimatikan. Kursi besar yang ada di balik meja tengah menghadap ke arah jendela besar.

Zai masuk dengan keadaan penuh emosi. Banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Tangannya terkepal kuat-kuat ketika ia berhenti di depan meja besar itu.

"Kenapa Anda tidak pernah melakukan apapun saat dulu saya bilang kalau saya melihat pembunuhan?"

Ia tahu kalau ada seseorang yang tengah duduk di kursi besar itu dan ia yakin kalau itu adalah ayahnya.

"Aku harus bilang apa sama Jeff? Aku ada di sana waktu ibunya hampir mati." Kini air mata mulai mengalir dari sudut mata Zai.

"Apa kabar, Zaivan? Saya merindukan kamu meski kita baru bertemu tadi siang." Suara seorang pria yang Zai kenali dan itu bukan suara ayahnya.

Mata sipitnya berusaha melihat pria itu dengan jelas. Ia tahu kalau kini pria itu tidak mengenakan topeng.

"Hentikan. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini." Sebuah suara lirih terdengar dari sudut ruangan.

Mata Zai langsung menatap pada sudut ruangan dan mendapati ayahnya tengah diikat dan kondisinya kelihatan tidak baik-baik saja. Ia mengedarkan pandangannya dan baru menyadari kalau beberapa pengawalnya sudah terkapar di sisi kiri dan kanan.

"Apa alasan Anda mengganggu keluarga kami?" Zai bertanya dengan suara lantang.

"Saya bersahabat dengan Harsa, apa salah kalau saya mampir untuk melihat anaknya?"

Zai menatap ayahnya dan menuntut jawaban. Namun, ayahnya malah menggeleng dan menyuruhnya untuk diam.

"Saya sudah membuatmu terbebas dari masalah Indira. Saya bisa mengatakan kalau itu adalah tebusan untuk rasa bersalah saya karena tidak berhasil membuatmu bersamanya." Ayah Zai berusaha menjelaskan.

"Dosa Indira sudah ditebus dengan nyawanya, tapi dosamu belum kau bayar." Laki-laki itu mengacungkan pistol dengan peredam  ke arah ayah Zai.

Dengan cepat Zai berlari dan melindungi ayahnya. Satu tembakan berhasil menembus tubuh Zai. 

"Ow, pemandangan yang indah. Kalian seperti keluarga yang saling menyayangi." 

Satu tembakan lainnya kembali terdengar. Zai bisa melihat beberapa orang berpakaian seragam polisi lengkap dengan rompi anti peluru memasuki ruangan itu. Tiba-tiba semuanya berubah gelap. 

Gelembung Mimpi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang