Zai berada di ruangan bercat putih dengan tirai krem yang menutupi jendela. Pendingin ruangan ada tepat di atas kepalanya. Ia sengaja memilih tempat itu sebagai tempat duduknya karena ia ingin duduk di sudut ruangan. Zai memutar pulpen yang ada di tangannya. Matanya memandang sekeliling dan ia menyadari bahwa semua bangku di ruangan itu sudah terisi penuh.
Putaran pulpen di tangan Zai berhenti ketika seseorang dengan rambut pirang menyerahkan selembar kertas padanya. Zai menerima kertas itu dan menatap jejeran huruf yang ada di sana. Matanya terpaku pada kertas itu. Kata-kata Tama terputar ulang layaknya rekaman lama yang tiba-tiba muncul. Cukup jadi diri sendiri. Kamu nggak perlu menyakiti diri sendiri dengan pura-pura baik-baik aja.
Zai bangkit dari duduknya dan meraih kertas tersebut. Ia menyampirkan salah satu tali tasnya ke bahu. Lantas ia membawa kertas itu kembali ke wanita berambut pirang tadi. Kemudian ia melangkah keluar dari ruangan itu.
Zai menghampiri Tama yang tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon. Tama dibuat heran karena Zai keluar dari ruangan dengan waktu singkat.
"Sudah selesai, Zai?" Kening Tama berkerut.
"Gue mau balik, Bang." Zai berbicara dengan wajah serius. Ia berdiri tepat di hadapan Tama dan kelihatannya tidak berniat untuk duduk.
"Kamu sakit? Apa ada yang salah?" Tama bangkit dari duduknya. Ia mendekati Zai untuk memastikan kalau tuan mudanya baik-baik saja.
"Gue mau balik, Bang. Balik ke Indonesia." Zai mengatakan kalimatnya dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannya terkepal dan matanya menampilkan sorot penuh keyakinan. Ia menatap lurus pada mata Tama yang kini memandangnya.
"Kenapa? Kamu sudah melakukan yang terbaik di sini."
"Ini bukan hidup gue, Bang. Hidup yang sekarang gue jalani adalah hidup dari Zaivan Oktora Arkanayaka. Gue mau hidup dengan cara gue sendiri. Hidup sebagai seorang Zaivan Oktora. Cukup Zaivan Oktora tanpa ada Arkanayaka di belakang nama." Mata laki-laki dengan tas ransel itu memerah.
"Kita pulang dulu. Masalah ini harus dibicarakan dengan tenang."
***
Zai mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tama sampai kerepotan untuk menyesuaikan kecepatannya. Beberapa kali suara klakson yang berasal dari mobil lain ia dengar. Beberapa kali pula Tama hampir mengumpat. Ia hampir menyenggol bahkan menabrak mobil lain karena ia berusaha tetap berada dekat dengan Zai. Begitu tiba di pelataran rumah, Tama keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Ia membuka paksa pintu mobil Zai. Begitu mobil terbuka, wajah Tama memerah.
"Ada masalah apa sebenarnya? Turun sekarang! Kamu sudah buat kita hampir kecelakaan." Tama berbicara dengan penuh emosi. Kekhawatirannya membuat emosinya meluap-luap.
Zai keluar dari mobilnya dengan segera. Ia berdiri tepat di hadapan Tama. Kemudian ia menutup pintu mobil dengan kasar.
"Abang sendiri yang bilang kalau aku nggak perlu menyakiti diri sendiri dengan pura-pura baik-baik aja. Sekarang aku nggak baik-baik aja. Aku mau berhenti." Zai mengutarakan pendapatnya dengan suara yang lantang.
"Bukan begini caranya. Kita hampir mati hanya karena emosi kamu." Tama masih berbicara dengan suara yang keras hingga ia menyadari kalau Zai tengah menahan emosi.
Tama menghela napas dan memelankan suaranya. "Kalau memang mau pulang. Kita pulang hari ini, tapi kamu harus siap menghadapi resikonya."
"Gue tahu. Maaf, Bang. Tindakan gue kali ini pasti akan berdampak buat lo, tapi gue benar-benar mau berhenti. Cukup satu tahun gue bertahan hidup seperti boneka."
"Kemasi barangmu. Kita pulang malam ini." Tama mengatakan kalimat itu dengan tenang. Namun, kepalanya pening seketika. Ia tahu kalau tindakannya kali ini bukan hanya membahayakan posisinya sebaagai asisten Zai tapi juga mengancam posisi ayahnya yang merupakan asisten ayah Zai.
Ayah Zai baru saja keluar dari ruangan rapat ketika asistennya menghampirinya dengan wajah yang kelihatan khawatir.
"Tuan Muda tidak mengikuti ujian semester. Beliau sempat hadir di kelas, tetapi keluar setelah mendapatkan kertas ujiannya." Asisten ayah Zai berbicara sambil berbisik karena beberapa kolega ayah Zai masih berlalu-lalang di depan ruangan rapat.
"Hubungi dia sekarang!" Ayah Zai tengah menahan emosi ketika menyampaikan perintah tersebut. Mereka berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai tertinggi gedung itu.
"Saya sudah coba hubungi Tuan Muda, tapi nomornya tidak aktif, Tuan." Asisten ayah Zai berbicara dengan hati-hati.
Ayah Zai tidak langsung menanggapi. Ia mempercepat langkahnya menuju lift. Begitu pintu lift ditutup, ayah Zai langsung melonggarkan dasinya dan melepas kancing teratas pada kemejanya.
"Hubungi Tama." Ayah Zai memerintahkan asistennya untuk menghubungi asisten Zai.
"Nomor Tama juga tidak aktif, Tuan." Asisten ayah Zai memundurkan tubuhnya setelah mengatakan kalimat itu karena ayah Zai kini berbalik dan mencondongkan tubuhnya.
"Hubungi Tama sebagai ayahnya. Bukan sebagai asistenku!" Ayah Zai berbicara dengan nada penuh penekanan.
Asisten ayah Zai meraih ponselnya dengan cepat dan segera memisahkan diri dari barisan setelah lift terbuka. Ia menghubungi nomor ponsel pribadi Tama, tetapi nomor tersebut juga dimatikan. Asisten ayah Zai akhirnya menelepon kepala pengawal yang ditugaskan di sana. Setelah mendapatkan informasi, ia langsung melapor pada ayah Zai.
"Saya sudah menghubungi pengawal yang berjaga di rumah, Tuan. Mereka sempat mendengar kalau Tuan Muda akan pulang ke Indonesia hari ini. Tim kita juga sudah memeriksa kalau hal itu benar karena ada transaksi tiket pesawat ekonomi dengan identitas Tuan Muda dan asistennya."
"Dasar anak tidak bisa diatur!" Ayah Zai menghentakkan kepalan tangannya ke meja. Hal itu membuat asisten serta pengawalnya terkejut.
"Kirim semua pengawal yang ada di sana untuk mengawal Zaivan pulang. Siapkan pesawat untuknya. Setelah tiba, bawa Zaivan dan Tama untuk menghadap saya." Ayah Zai memberikan perintah dengan tegas.
Kini asisten ayah Zai tengah dibuat was-was karena mungkin saja keselamatan anaknya akan terancam kerena kejadian yang baru saja terjadi.
***
Tama merapihakan pakaiannya. Ia sudah sangat siap dengan resiko yang akan ia terima nantinya. Ia sudah berdiskusi dengan Zai dan mereka sepakat untuk mematikan semua alat komunikasi hingga mereka tiba di Indonesia. Kali ini bukan merupakan kepulangan yang direncanakan, mungkin malah lebih mirip melarikan diri dibandingkan pulang. Tama sudah memesan tiket pesawat kelas ekonomi untuknya dan Zai. Hal ini adalah permintaan khusus dari Zai.
Belum usai Tama membereskan pakaiannya, pintu kamarnya dikuak oleh lima orang pria yang mengenakan pakaian setelan jas hitam. Tama mengenali mereka.
"Tuan Harsa memerintahkan kami untuk membawa Anda dan Tuan Muda pulang ke Indonesia." Salah satu pengawal yang kelihatannya adalah kepala tim itu mengatakan hal itu dengan lantang.
"Sudah kuduga, koneksi Arkanayaka memang luar biasa." Tama menggeleng. Kemudian ia menutup kopernya dan menarik koper tersebut keluar. Langkahnya diikuti oleh kelima orang pengawal yang menguak pintunya tadi.
Tama mendapati Zai yang sudah menunggu di pelataran. Laki-laki itu duduk di atas kopernya dengan santai. Ia mengenakan pakaian yang sama ketika mereka datang ke sini satu tahun lalu.
"Sepertinya kita nggak jadi melarikan diri. Keburu dijemput." Zai menyunggingkan senyum yang Tama sadari adalah senyuman palsu.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dengan sukarela. Zai terus tersenyum selama perjalanan. Hal ini sempat membuat Tama khawatir.
"Zai, kamu baik-baik aja?" Tama melihat Zai yang kini masih tersenyum menatap ke jendela.
"Mungkin mulai besok kita nggak akan ketemu lagi. Gue sudah buat keputusan."
Tama meneguk salivanya sendiri. Ia sudah siap jika harus menerima hukuman karena membiarkan tuan mudanya tidak mengikuti ujian, tetapi ia tidak menyangka kalau akan menerima salam perpisahan secepat ini.
Terima kasih sudah membaca.
ODOC WH BATCH 4 Day 12
10 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...