Laki-laki yang mengenakan kemeja kotak-kotak itu duduk canggung di depan sebuah jendela berterali. Ia menarik napas berkali-kali untuk mengurangi rasa gugupnya. Seorang lainnya yang baru tiba berdiri di sampingnya menepuk bahu laki-laki itu.
"Apa perlu saya temani?"
"Boleh, kalau lo nggak keberatan. "
Seorang pria dengan pakaian tahanan dan tangan yang diborgol muncul dari balik pintu. Pria itu tersenyum kemudian duduk di kursi yang ada di seberang.
"Gimana kuliahmu, Zaivan?" Pria itu tersenyum, tanpa ragu meletakkan tangannya yang diborgol di atas meja.
"Baik, Yah. Aku sudah masuk minggu ini." Zai menjawab turut tersenyum. Ada lega yang ia rasakan ketika melihat ayahnya tetap terlihat sama tanpa kekurangan berat badan.
"Bagaimana jabatan barumu, Naratama?" Pria itu beralih menatap laki-laki yang berdiri di samping Zai.
"Saya cukup kesulitan untuk mempelajari semuanya dengan terburu-buru, tetapi Zai selalu mau membantu saya, Tuan." Tama menjawab dengan sopan.
"Kerja bagus. Saya percaya padamu dan ayahmu. Ia sudah membesarkan anaknya dengan baik." Pria itu tersenyum ramah.
Setelah dua minggu dari kejadian waktu itu, ini kali pertama Zai datang mengunjungi ayahnya. Bukan karena tidak ingin, tetapi kondisinya membuat ia tidak bisa segera bertemu ayahnya.
"Ayah baik-baik aja di sini?" Zai bertanya dengan suara pelan.
Pertanyaannya malah dijawab tawa oleh ayahnya.
Zai menoleh pada Tama untuk memastikan kalau pertanyaannya bukanlah sesuatu yang patut ditertawakan. Laki-laki di sampingnya itu malah mengangkat bahu.
"Saya seperti mendapatkan liburan eksklusif di sini. Semua orang yang ada di sini memperlakukan saya dengan baik. Kamu tidak usah khawatir Zaivan. Ayahmu ini dulu pernah tidur di emperan toko. Tinggal di sini untuk beristirahat beberapa tahun bukanlah masalah."
Zai berusaha mencari keraguan dari tatapan ayahnya. Namun, yang ia dapati hanyalah mata yang penuh kesungguhan. Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali tersenyum.
"Lanjutkan kuliahmu. Kerjakan apa yang kamu mau. Semua bisnis dan properti akan diurus oleh Tama dan pimpinan lainnya."
Zai mengangguk dan tersenyum, "Ayah, sehat-sehat ya di sini."
Ayah Zai mengangguk, "Zaivan, saya harap kamu sering berkunjung ke sini."
"Pasti, saya akan datang ke sini setiap minggu."
***
Zai kembali ke indekosnya. Pattar tidak banyak bertanya mengenai menghilangnya Zai selama lebih dari dua minggu. Laki-laki itu kelihatannya mengerti.
"Nih, materi kuliah dua minggu lalu." Pattar membawa setumpuk kertas ke kamar sebelah setelah laki-laki itu melihat Zai kembali.
"Terima kasih. Lo nggak mau tanya gue ke mana?" Zai mengambil sebundel kertas dan membacanya.
"Lo pasti akan cerita kalau sudah waktunya."
"Selamat siang. Pattar main yuk." Suara seorang gadis dari depan pintu membuat Pattar menghela napas.
"Itu Hana." Zai terkekeh melihat Pattar yang kelihatannya enggan bertemu sahabatnya itu.
"Awas budek beneran loh. Jawab dong. Pattar, main yuk." Hana kembali memanggil Pattar layaknya seorang anak kecil memanggil temannya.
Akhirnya Zai beranjak dari duduknya dan bergerak membuka pintu.
"Zai ... " Hana langsung menyapa Zai dengan menepuk pundaknya, "dari mana aja lo?"
"Dari rumah." Zai menjawab sambil tersenyum.
"Kalo balik tuh bilang-bilang dong. Gue sama Pattar jadi khawatir tau."
"Lain kali gue pasti bilang kalau pulang."
Setelah itu, mereka berbincang mengenai banyak hal. Ketika melihat Hana dan Pattar tertawa, Zai jadi teringat sesuatu.
Tempat yang dulu enggan ia sebut rumah kini telah menjadi tempat pulang baginya. Indekos dan dua sahabatnya kini menjadi salah satu tempatnya untuk pulang. Ia merasa nyaman dan baik-baik saja meskipun tidak mengatakan apapun karena mereka tidak berusaha mendorong dan mendesaknya untuk bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelembung Mimpi ✓
Teen FictionApakah kekayaan bisa membawa kebahagiaan? Jika pertanyaan itu diajukan, maka kebanyakan orang akan menjawab bisa. Tidak begitu dengan Zaivan Oktora Arkanayaka, ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tawa. Menurutnya, kekayaan tidak bisa membawa keba...