Bab 28; A Step Before

439 58 29
                                    

   |“A-apa? Perjanjian apa?”

Jihoon menatap penuh tanya pada Hangyul juga Guanlin secara bergantian. Air matanya berurai membasahi wajahnya.

Hangyul meraih jemari Jihoon yang menjuntai, namun dengan cepat di tepis oleh si manis. “Sayang, aku akan menjelaskan semua. Tapi aku mohon kau tenang dulu ya?”

“Tak perlu menunggunya tenang. Jelaskan saja sekarang, lagi pula kau sudah terlanjur membuatnya kecewa. Memangnya ia akan tetap menuruti perkataanmu?” celetuk Guanlin, yang mana perkataan lelaki itu membuat Hangyul mengeraskan rahangnya. Sedangkan si manis menangis dalam diam. Masih tak menyangka bahwa pada akhirnya sang suami juga akan melepasnya.

Pada awalnya ia mengira, ia berharap, jika semuanya terungkap, sang suami akan memahaminya, berpihak padanya, mempertahankan rumah tangga mereka.

Tapi— semua angan-angan itu, semua harapan itu sirna. Angan akan tetap menjadi angan, dan harapan akan terus menjadi harapannya semata.

Pada kenyataannya, sang suami, satu-satunya harapan agar ia tidak bersama seorang Lai Guanlin, lebih memilih untuk melepasnya. Ia– amat sangat kecewa.

“Jelaskan Hangyul.” tekannya dengan lirih.

“Aku tak akan mengatakannya sampai kau merasa lebih tenang, Jih–”

“AKU BILANG JELASKAN!!”

Ck! Kau hanya perlu menjelaskan perjanjian kita. Hanya perlu katakan kalau kau akan melepas ia untukku dengan imbalan–”

“Cukup! Jangan katakan apapun lagi!” Hangyul menatap tajam Guanlin, memberi peringatan agar Guanlin tidak kembali membuka suara.

Ia kembali menatap si manis, yang kini benar-benar menatapnya penuh luka.

Tidak! Sebenarnya ia pula tidak ingin melepaskan istrinya tersebut, hanya saja— jika bukan karena ancaman yang Guanlin berikan padanya— ia bersumpah tidak akan pernah melepas Jihoon.

“Ya, seperti yang Guanlin katakan, aku– melepasmu Jihoon. Maafkan aku, aku tidak punya pilihan lain. Dan kita memang terlibat sebuah perjanjian, tapi sekali lagi aku mohon maaf, aku tidak bisa mengatakan perjanjian yang sudah kami sepakati,”

Hangyul menjeda kalimatnya sebentar hanya untuk meraih jemari Jihoon yang terlihat gemetar. “Tapi Jihoon, ini pilihan yang terbaik untuk kita.”

Jihoon menggeleng, menatap Hangyul tak percaya. Air matanya lagi-lagi turun tanpa di komando.

Pilihan yang terbaik katanya? Tidakkah Hangyul memikirkan posisinya saat ini? Dimana letak terbaiknya?!

Jihoon tak bisa mengendalikan tubuhnya. Ia oleng, dan hampir terjatuh jika saja Guanlin tidak menangkap tubuhnya cepat.

Ia melepas genggaman tangan sang suami dengan kasar, dan beralih mencengkram erat bagian depan kemeja yang Guanlin kenakan, menumpahkan tangisnya di dada lelaki tersebut.

Hangyul merasa tidak tega melihat Jihoon yang hancur seperti itu, tapi ia sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar memeluk atau menghapus air mata si manis pun, ia tak bisa.

Guanlin semakin mengeratkan pelukannya, sesekali telapak tangannya yang menempel pada punggung yang lebih tua ia gerakkan pelan.

Mencoba menenangkan guru manisnya, tanpa di sadari baik Jihoon maupun Hangyul, Guanlin diam-diam tersenyum penuh kemenangan.

Karena pada akhirnya, Jihoon jatuh kepelukannya.

Dan hanya tinggal satu langkah lagi agar Jihoon menjadi miliknya, seutuhnya.

⭐️°⭐️

   “Hangyul semua berjalan lancar, nak?”

“Ya, ma. Hanya saja– Hangyul masih belum rela harus melepas Jihoon.”

“Mama paham, tapi ini jalan yang terbaik untuk kalian. Semoga suatu saat nanti, Jihoon bisa mengerti mengapa kau lebih memilih untuk melepasnya. Kau sudah melakukan yang terbaik, nak.”

⭐️°⭐️

   Matahari sudah berada sedikit lebih tinggi saat Jihoon membuka kedua matanya yang sembab. Ia menyerit kala rasa pusing yang tiba-tiba menghampirinya, juga dengan adanya handuk kecil yang berada di keningnya.

Ia sedikit terlonjak kaget kala pintu terbuka, menampilkan Guanlin dengan kaus hitamnya dan celana training biru tua, sedang membawa baki makanan.

Jihoon hanya memperhatikan gerak gerik Guanlin yang sibuk menata makanan di nakas. Ia sedikit memundurkan tubuhnya saat lelaki yang lebih muda darinya tersebut berusaha ingin menyetuhnya.

“Apa? Aku hanya ingin mengecek suhu tubuhmu, Jihoon.” ujar Guanlin melayangkan pembelaan. Ia kembali mengulurkan tangannya ke arah kening Jihoon.

“Masih sedikit hangat. Ayo makan dulu baru setelah itu minum susumu.” Guanlin dengan telaten membenarkan posisi tubuh Jihoon, lantas beralih menyuapi dengan teratur lelaki manis dihadapannya.

Meski Jihoon tak mengatakan sepatah kata pun lagi, setidaknya Guanlin bersyukur bahwa gurunya tersebut tidak menolak ketika ia menyuapkan sesendok bubur untuknya.

Terus seperti itu, sampai bubur yang ia bawakan habis tak bersisa.

Guanlin meletakkan mangkuk bubur yang sudah tandas ke nampan yang berada di nakas. Ia mengulurkan segelas susu putih kehadapan Jihoon, yang langsung di terima oleh sang guru.

Seusainya, ia merapihkan kembali peralatan makan yang sudah di gunakan, dan membawanya menuju dapur, meninggalkan Jihoon yang diam tak berkutik. Ia bahkan hanya menatap kosong kearah depan, sembari menyadarkan tubuhnya di headboard ranjang.

Pikirannya berkelana, masih merasa tak percaya seluruh keluarga dari sang suami, tak ada yang mempertahankan posisinya.

Melepasnya dengan mudah, hanya karena ucapan yang Guanlin lontarkan pada mereka. Membiarkan ia menjadi orang bodoh, yang mempertahankan rumah tanggannya seorang diri.

Ah tapi, haruskah kita sebut Hangyul sebagai mantan suaminya sekarang?







To Be Continued.

Guys~ sooOoOOo sorry, lagi-lagi aku up lama hehe...

Idk, ini bakal memuaskan apa engga, atau justru kebalikannya?

Aku bahkan ngerasa tulisanku tuh aneh:")) Jadi mohon dengan sangat di maklumi segala kekurangannya.

Ea kayak nulis kata pengatar makalah;v

Yeaaa,

Hope u like it!

The Teacher Is Mine [Panwink]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang