18. Lost

527 70 2
                                    

"Iseng kayaknya, Jin. Yakin gue."

Yuna, Lia, dan Chaca berusaha menenangkan Jina.

Di dalama kotak itu berisi sepasang sepatu milik Sadewa. Sadewa Sondaro Bimantara. Kakak kelas Jina, Lia, Yuna, Chaca, dan Yeji.

Sadewa adalah sosok siswa yang memiliki prestasi di dalam bidang akademik. Sadewa memiliki jiwa karismatik yang dapat memikat banyak perempuan. Sayang sekali umur Sadewa begitu pendek. Sadewa ditemukan meninggal dunia dengan label bunuh diri.

Jina mengenal Sadewa dengan ketidak sengajaan karena orang tua mereka yang sudah berteman baik sejak dahulu. Setahun yang lalu, dimana jiwa dan raga Jina jatuh sejatuhnya di dalam jurang gelap tanpa penerangan. Jina dapat dikatakan dekat dengan Sadewa, mereka sering bermain bersama, belajar bersama, sudah seperti saudara kandung sendiri. Jina sendiri sudah dianggap seperti adik oleh Sadewa.

Saat itu, di sore hari dengan warna senja yang begitu menarik. Jina mencari keberadaan Sadewa yang sudah berjanji akan mengajari Jina untuk ujian remidial. Jina bertanya kepada seluruh teman Sadewa tetapi tidak ada yang tahu kemana perginya Sadewa. Teringat akan tempat favorit Sadewa, langkah kaki Jina segera mungkin berjalan ke tempat tersebut.

Jina membelalakkan matanya kala itu, melihat sosok yang dicarinya berdiri di pinggiran atap gedung sekolah ini dengan wajah yang mengadah ke arah langin. Saat Jina hendak melangkahkan kaki dan mulut yang akan memanggil sosok itu, terlambat. Sadewa sudah terjatuh ke bawah menimpa mobil milik salah satu guru di sekolah itu. Bercak darah berada dimana-mana, mengalir deras di atas atap mobil yang di hantam oleh tubuh Sadewa.

Jina yang melihat dari atas tidak percaya dengan semua itu. Tubuh Jina langsung bergetar hebat, kakinya lemas seketika, dan air matanya mulai bercucuran begitu deras.

Sadewa, kakak kesayangannya meninggal di depan matanya. Jina menganggap itu semua salahnya.

Andai, jika dirinya datang lebih cepat.

Andai, jika dirinya langsung berteriak kepada Sadewa.

Andai....

Tangan jina segera menutup kotak tersebut. Jina berjalan cepat menuju tempat sampah di depan kelasnya. Membuang kotak tersebut kedalam tempat sampah. Tidak lama kemudian guru mata pelajaran selanjutnya masuk dan memulai pelajaran.

.
.
.
.
,
.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Jina langsung berjalan keluar kelas dengan tergesa-gesa tanpa berpamitan kepada teman-temannya.

"Tolong lo ikutin Jina ya." ucap Lia pada seseorang yang berdiri tepat di sampingnya.

Jina berjalan menuju salah satu toko bunga. Dirinya membeli setangkai bunga dan berjalan menuju suatu tempat.

Rumah Abu. Tempat dimana abu tubuh milik Sadewa di istirahatkan.

Sesampainya di depan kotak guci abu milik Sadea. Air mata yang sedari tadi Jina tahan tiba-tiba lolos terjatuh begitu saja.  Jina melihat sepatu Sadewa berada di dalam kotak guci abu. Lalu siapa yang memakai sepatu bermodel sama persis itu? Setahu Jina, jika sepatu itu di rombak oleh Sadewa sendiri.

"Kak Sadewa, aku dateng jenguk Kakak. Kakak apa kabarnya?"

"Kalau aku baik, Kak." jawabnya bermonolog dengan diri sendiri.

"Kak hari ini aku dapet sesuatu. Tadi di sekolah aku lihat sepatu punya, Kakak."

"Apa aku kangen sama Kakak ya?"

"Kakak belum nepatin janji sama aku. Kakak belum ngasih tau aku siapa perempuan spesial kakak yang beda sekolah itu?"

"Pasti dia cantik kan, Kak?"

"Apa dia ada di deket aku Kak sekarang?"

"Apa sekarang di marah sama aku. Karna aku nggak bisa nyelamatin Kakak?"

"Aku bodoh banget ya, Kak. Nggak bisa genggam tangan kakak. Maafin aku, Kak."

"Aku memang lemah banget."

"Mungkin Juna benci sama aku juga karena aku pembunuh."

"Maafin aku kak hiks...hiks"

Suara tangisan milik Jina begitu keras, menggema di seisi ruangan. Di dengarkan oleh sosok laki-laki yang sedari tadi mendengarkan serta menatap Jina dari tempat jauh.

Selesai dengan tangisannya, Jina berpamitan untuk pulang. Meninggalkan rumah abu itu dengan perasaan campur aduk. Dan tentu dengan wajah yang sudah membengkak karena menangis.

Sosok yang sedari tadi mengikuti Jina berjalan menuju kotak abu milik Sadewa.  Melihat sekilas kotak guci abu milik Sadewa itu dengan tersenyum ikhlas.

"Tenang, Bang. Gue bakal jaga baik-baik adik kesayangan lo itu."

.
.
.
.
Pintu kamar milik Jina di ketok oleh  Felix. Tanpa menunggu jawaban dari si pemilik kamar, Felix masuk begitu saja. Meletakkan kotak berbentuk persegi itu di meja belajar milik Jina.

"Ada paket buat lo. Gue pergi keluar dulu. Nanti gue beliin makan malam sekalian." kata Felix lalu keluar dari kamar Jina.

Jina bangkit bangun untuk  membuka kotak yang baru saja ditaruh oleh Felix di meja belajarnya. Batin Jina berkata jika kotak yang berada di tangannya ini berisikan hal yang tidak menyenangkan. Tangan mungil Jina bergerak membuka kotak tersbut.

Dan benar saja apa kata batin Jina, kotak tersebut berisikan bangkai ayam dan selembar kertas bertulisa dengan tinta warna merah.

'Next, You.'

Jina langsung mengambil handphonenya dan segera menelpon Xavello. Memberitahu agar Xavello segera datang ke rumahnya secepat mungkin. Tanpa di sangka Xavello datang bersama seseorang yang sangat tidak di harapkan kedatangannya. Rejuna Wirangga Gefoza.

"Lo kenapa bawa dia?"

"Tadi gue lagi beli makan sama Juna."

"Gue pulang duluan aja. Gue bawa motor lo, Sung." Ucap Juna berjalan pergi keluar rumah Jina meninggalkan Xavello.

Karena Juna sadar, kedatangannya tidak di harapkan oleh si pemilik rumah. Sejujurnya, Juna sangat ingin tahu kenapa dan ada apa dengan Jina akhir-akhir ini. Saat berada di perjalanan menuju rumahnya Juna di telpon oleh Jennifer untuk datang ke rumah perempuan itu. Juna yang semula sudah berada di jalur menuju rumahnya langsung putar balik menuju ke arah rumah Jennifer.


"Ada apaan dah?" tanya Xavello.

Jina langsung menyerahkan kotak yang tadi sudah sempat dirinya buka. Xavello tergaket pastinya. Xavello sangat tahu dan paham. Xavello juga mengetahui isi kotak yang diberikan oleh Tzuyu saat tadi di sekolah. Xavello tidak sebodoh itu untuk tidak tahu apa yang dialami oleh sepupunya ini.

"Gue nggak tau harus gimana, Xav."

"Kita liat aja dulu sejauh apa orang itu main-main. Kalau udah kelewatan, lo bilang sama gue, Felix, dan Bang Jae tentunya."

Keesokan harinya. Jina berangkat seorang diri karena Felix sudah pergi terlebih dahulu bersama dengan Xavello. Hyunjin tidak jadi menjembut Jina, katanya Hyunjin sedanb sakit.

Di jalan Jina merasa ada yang janggal seperti ada yang mengikuti dirinya, tetapi dirinya tetap berusaha untuk positive thinking. Sampai sebuah tangan membekapnya dan dirinya langsung terjatuh lemas. Alias pingsan tidak sadarkan diri.

.
.
.
.
Jina mulai mengerjapkan matanya. Jina tidak tahu dirinya sedang dimana sekarang ini. Ruangan ini gelap dan hanya ada cahaya remang-remang. Tangannya dirasakan diikat pada sebuah kursi yang saat ini dirinya duduki. Kedua mata Jina melihat sekeliling ruangan itu. Banyak foto milik Sadewa. Entah ekspresi lucu, tertawa , atau hanya sedekar dibuat-buat marah. Dan disitu juga ada salah satu foto Sadewa dangan dirinya saat ulang tahun Jina tepat pada tahun kemarin.

Langkah kaki seseorang muncul di balik pintu ruangan tersebut. Sesosok perempuan berambut panjang dari balik pintu, parasnya cantik namun isi kepalanya sangat licik.

"Hai, Girls! Lo kenapa kaget begitu ngelihat gue? Santai aja dong."

Curious Feeling [Renjun ft. Ryujin]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang