"Hidup dan mati bukanlah di tangan manusia. Melainkan Tuhan-lah yang berkehendak. Manusia sebatas menjalani bukan menangani. Begitupun skenario kehidupan, semuanya Tuhan yang atur."
.
Ekspresi cemas, takut, gugup semuanya menjadi satu. Keringat dingin yang perlahan mengucur dari dahi sampai sedikit membasahi pipi berisi nya. Tubuhnya menegang sambil meremas-remas tangannya yang basah—berkeringat. Matanya membulat sempurna ketika mendengar penuturan orang di depannya.Ahn Jungkook membeku. Berusaha mencerna kalimat barusan. Jantungnya serasa mencelus begitu saja ketika sosok berjas putih tersebut mengeluarkan beberapa lembar kertas dari map dan satu foto yang didominasi warna hitam, tapi bisa dilihat gambarnya ketika terkena cahaya, menunjukkan kondisinya saat ini. Kemudian melepas kacamata yang menggantung. Menautkan kedua tangannya sambil menatap Jungkook serius.
"Tuan Ahn, anda harus rutin melakukan cek ke sini. Kalau bisa segera melakukan operasi untuk mencegah penyebarannya," saran sang dokter.
Masih tidak percaya, Jungkook berusaha menyangkal sambil tersenyum getir. "Dok, apa anda yakin? Mu-mungkin ada kesalahan ketika pemeriksaan. Saya tidak mungkin—sa-saya—" Jungkook tidak bisa lagi melanjutkan kalimatnya sebelum akhirnya ia menangis. Air mata yang sudah ia tahan, lolos begitu saja. Menutup wajah dengan kedua tangan sambil menggeleng tidak percaya.
"Tidak mungkin," lirihnya.
Rasanya seperti mimpi yang berubah nyata. Kelewat nyata sampai Jungkook tidak tahu harus berbuat apa. Yang ada di kepalanya saat ini hanya bagaimana caranya ia bisa sembuh total jika operasi saja hanya bisa mencegah penyebaran. Bukankah mencegah sama saja dengan bohong? Mencegah pun bisa saja tumbuh kembali meski dalam jangka waktu yang lama. Begitu pikirnya.
Jungkook menarik napasnya, berusaha untuk tidak lagi menangis. Memalukan memang, pria dewasa sepertinya harus menangis dihadapan orang dewasa lainnya. Tetapi, Jungkook juga pria normal yang masih punya rasa takut jika berurusan dengan nyawa. Jadi, wajar saja menangisi diri sendiri.
Tersenyum meski sulit adalah cara satu-satunya untuk bertahan dari rasa takut. Dan Jungkook melakukannya. "Apa tidak ada cara lain selain operasi? Saya ingin sembuh total," pinta Jungkook berharap.
Pria tua bername tag-an Lee Jaesung tersebut mengatupkan bibirnya. Menggelengkan kepala. "Jika Tuhan berkehendak, bisa jadi apa yang anda harapkan terwujud."
Sungguh, Jungkook merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Bukannya apa-apa, Jungkook sudah cukup kacau dengan masalahnya sendiri dan sekarang malah muncul masalah baru yang menentukan hidup dan matinya. Tidakkah itu membuatnya semakin terbebani? Jungkook memang pencipta beban hidup sendiri.
"Di sini saya hanya berusaha mencegah dan mengobati sebagai seorang dokter, bukan mengembalikan kondisi menjadi sempurna. Sebab saya juga manusia biasa. Seperti kondisi anda saat ini, saya hanya bisa memberikan perawatan yang terbaik. Untuk hidup dan mati, semua itu sudah Tuhan atur," ujar dokter Lee tersenyum tulus. "Sekarang pilihan ada ditangan anda, Tuan."
Takdir. Jungkook tidak bisa melawan itu. Kalaupun bisa, semuanya akan tambah berantakan, sebab ke depannya tidak akan pernah tahu karma apa yang sedang menunggunya karena menentang apa yang Tuhan tetapkan.
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Dan Jungkook menyesali semua perbuatannya terdahulu. Meremehkan kesehatan yang dulunya segar bugar mendadak rusak karena ulah sendiri.
"Dok," panggil Jungkook pelan. Hampir tidak terdengar. Tapi, karena ruangan sunyi maka sang dokter pun mendongak. Mengangkat kedua alis. "Kapan saya harus melakukan operasi?"
***
How? Yuk vote sama komennya. Biar semangat update ><
Jangan pada diem yaa, aku tahu siapa aja yg gak pernah vote dan komen. Biar aku santet online👀
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jung ✓
FanfictionKehidupan seorang Ahn Jungkook seketika berubah sejak kematian sang ibu. Ayahnya berambisi kuat untuk menjadikan Jungkook sebagai penerus Orbit Corp. sehingga memberikannya banyak tekanan. Alih-alih meminta tolong, Jungkook malah menemukan perubahan...