34. Mari Bermain

197 31 0
                                    

Warning!
Terdapat adegan kekerasan dan adegan berdarah bagi yang belum cukup umur disarankan skip.
__________________________________

Mereka akhirnya terhindar dari pocong itu, mereka menemukan sebuah vila persis seperti yang tertulis di kertas.
"Waw vila tengah laut!" teriak Riski.
"Kita gak ada pilihan lain selain masuk," ucap Dityo serius.

Mereka semua mengangguk dan saling memberi semangat sebelum masuk ke vila itu.
Vila yang mengapung di tengah laut, memiliki halaman luas dan seperti sudah disediakan tempat untuk mereka memarkir perahu.

Begitu membuka pintu vila langsung terlihat 6 tirai berwarna putih dengan tulisan nama mereka di tengah tirai yang terukir besar berwarna merah seperti darah, melihat itu mereka sedikit panik tapi tetap memasuki tirai sesuai dengan namanya.

"Gila, apaan nih maksudnya?" cetus Dityo sedikit bernada tinggi.
"Gue gak mau masuk, ma Riski mau pulang ma..." sambung Riski merengek.
"Jangan takut, percaya pada kemampuan sendiri," ujar Alister.

***

Semua masuk ke tirai masing-masing yang sudah disediakan untuk mereka.
Kepala Akio terasa pusing, dalam keadaan tengkurap ia melihat sebuah bangunan tinggi.
Akio belum bisa memastikan bangunan apa itu karena sangat gelap di sekitarnya, tak ada cahaya apapun.
Ia mulai berdiri sambil memegang kepalanya, saat ingin melangkah kakinya menyentuh senter.
Ia pun mengambil senter cukup terang yang ada di bawahnya dengan sebuah kertas diletakan bersama dengan senter itu.
"Ayo bermain!" Begitulah tulisan di kertas itu.
"A-apaan nih," ujarnya cemas.

Dia mengarahkan senter ke arah depan, ternyata bangunan dua tingkat itu adalah sebuah rumah sakit.
Akio melihat sekeliling dan sangat gelap, ia pun memutuskan memasuki rumah sakit itu.

Akio berjalan di lorong gelap rumah sakit sambil tetap memperhatikan kanan dan kiri.
Ia terhenti di sebuah ruangan rumah sakit bernomor 14 karena mendengar jeritan seorang perempuan.

Dari kaca ruangan ia melihat seorang wanita tengah terbaring dengan tangan terikat di atas tempat tidur rumah sakit, di sampingnya ada seorang pria berjaket kulit hitam, rambutnya kribo yang berdiri ke samping kiri dan kanan dengan pisau belati di tangan kiri dan kanannya.
Akio tak bisa melihat wajahnya karena ia membelakangi pintu.

"Jangan ... jangan kumohon." Wanita itu merintih.
"Yang tajam atau yang tidak?" tanya pria dengan suara serak basah.

Wanita itu membalas dengan gelengan kepala, sedikit air mata menetes dari sudut mata wanita yang tengah berbaring itu.

"Tumpul," jawabnya sendiri.
"Aku suka melihat penderitaan daripada kematian," sambungnya lagi.

Ia mengangkat pisau belati tumpul di tangan kirinya lalu ia hujamkan di perut si wanita, mulut wanita itu terbuka lebar dengan mata melotot.

"Jangan buka mulut aku tak suka!" teriak pria itu.

Sang wanita masih membuka mulut dengan napas terhengap.
Sang pria memasukan tangannya ke dalam mulut wanita yang terbuka itu lalu semakin melebarkan ke arah kanan dan kiri sampai hampir robek mulutnya.

Tubuh Akio mulai bergetar,
"Mesin chainsaw atau pisau?" tanya pria itu lagi.

Ia mengangkat mesin tajam untuk memotong kayu itu ke hadapan si wanita.
"Tidak jawab lagi? Baik kita gunakan pisau."

Ia meletakan mesin di bawah kakinya lalu ia mengangkat pisau belati yang sangat tajam dengan kedua tanggannya sampai melebihi atas kepalanya.

"Selamat tinggal, aku sudah bosan," ujar pria psikopat yang berjaket hitam itu.

Ia menghujam ke arah kemaluan wanita itu, pisau belati sangat tajam menancap di sana.
Wanita itu melotot sampai hampir keluar kedua bola matanya lalu ia mati di sana dengan pupil mata sangat besar dan tentunya mulut yang masih terbuka lebar.

Death Story!(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang