8. Sebuah Ikatan Baru yang Samar

143 28 2
                                    

[Yoohan's Eyes]

"Taehyung tadi menghubungiku. Dia minta aku untuk datang ke bar, entah untuk apa. Saat aku tiba di sana, dia sudah mabuk." Jimin memulai ceritanya saat aku menyuguhkan secangkir teh hangat untuknya. "Dia cerita, tadi dia pergi ke rumah mantan kekasihnya."

Netraku melebar. "Mantan kekasihnya?! Kim Sohyun itu?"

Jimin tersenyum. "Sudah tahu kau rupanya. Yah, begitulah. Kabarnya Sohyun sempat pulang ke Korea dan Taehyung baru tahu itu dari blog yang ditulis gadis itu. Taehyung memang ke rumah gadis itu, tapi dia tidak berani menemui Sohyun dan memilih untuk pergi."

Ah ... begitu rupanya. Itu alasannya tadi menyuruhku untuk pulang lebih dulu.

"Taehyung merasa stres karena tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan, tersiksa atas perasaan rindunya sendiri. Maka dari itu, dia pulang dalam keadaan mabuk malam ini," kata Jimin lagi, mengakhiri ceritanya. Pria itu meraih secangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan. "Taehyung itu selalu memendam semuanya sendirian. Meskipun kami sudah berapa kali mengajaknya berbicara, dia tidak pernah melakukannya. Kami pun baru tahu dia sempat pacaran saat kami tahu dia putus dengan kekasihnya. Dia se-tertutup itu."

Aku hanya bisa diam mendengarkan Jimin bercerita. Wajahnya terlihat sendu, tentu dia khawatir pada Taehyung selaku sahabatnya. Pria itu lanjut bicara lagi. "Tapi sepertinya Taehyung bisa seterbuka itu padamu. Aku bisa melihat itu karena Taehyung orang yang tidak mudah percaya pada orang lain, apalagi orang yang baru ia kenal. Aku penasaran, bagaimana kalian bertemu."

Aku tersenyum tipis. Sedikit ragu harus memberitahunya atau tidak. "Pertemuan kami tidak terlalu baik. Tuan Kim menyelamatkanku saat aku hampir mati di London."

Dan mengalirlah cerita singkat tentang hidupku pada Jimin. Pria itu sempat terkejut dengan latar belakang hidupku, mulai dari orang tuaku yang meninggalkan utang, hidup sebatang kara, dan dikejar-kejar rentenir hingga aku nyaris mati karena kedinginan. Pertemuanku dengan Taehyung di London merupakan sebuah anugrah yang tak bernilai bagiku. Tuhan menyelamatkanku lewat seorang malaikat seperti Taehyung, dan aku sangat bersyukur akan hal itu.

"Wah, hidupmu ternyata tak mudah juga," gumam Jimin dengan wajah simpati, yang hanya kujawab dengan senyuman. "Yah, Taehyung memang orang baik. Tapi aku masih tak menemukan alasan kenapa dia mau menerimamu jadi asistennya, bahkan bercerita padamu hal-hal yang kami tak tahu."

Aku menggeleng kecil karena itu juga pertanyaan yang masih ada di kepalaku. Meskipun Taehyung sudah menjawabnya waktu itu—bahwa dia memang ikhlas menolongku—tapi tetap saja, aku selalu penasaran dengan hal itu.

"Baiklah," Jimin bangkit dari duduknya setelah menghabiskan hampir seluruh cangkir teh hangatnya, "aku pulang dulu. Tolong rawat Taehyung dengan baik."

"Terima kasih banyak, Tuan Park," jawabku.

"Hei, panggil Jimin saja," balas Jimin sambil tersenyum. Pria itu lalu melambaikan tangannya sembari pergi keluar dari rumah Taehyung. Setelah Jimin pergi, aku memutuskan untuk naik ke lantai dua untuk memeriksa keadaan Taehyung. Di sana, Pelayan Park baru saja keluar dari kamar pria itu.

"Bagaimana keadaan Tuan Kim?" tanyaku.

"Tuan Taehyung sudah tidur. Beliau selalu seperti ini. Ia selalu minum alkohol sebelum tidur dan tentu saja itu membuat kami khawatir karena kami tak pernah melihatnya seperti beberapa bulan terakhir ini." Ia menghela napas, kemudian tersenyum sembari menatapku. "Kumohon Nona bisa membantu kami menjaga Tuan Taehyung jika sedang berada di luar kota."

"Baiklah," jawabku sembari membungkuk sopan pada pria itu. Setelah para pelayan pergi untuk istirahat, aku memutuskan untuk masuk ke kamar Taehyung. Saat malam hari, kamarnya berubah menjadi nuansa yang sangat nyaman untuk istirahat. Lampu-lampu yang berpendar itu memiliki warna caramel yang membuat siapa saja merasa nyaman, berpadu dengan sempurna dengan warna ruangannya.

Snow in Hallstatt ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang