"Kau pergi ke sana tanpa memberi tahu aku?! Wah ..."
"Memangnya aku selalu harus melapor padamu ke mana aku mau? Kenapa kau dan Yoohan ini mirip sekali?" Taehyung memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku mantelnya saat angin sore berhembus menerpa wajahnya. Sesekali netranya melirik Yoohan yang sedang memilah-milah bentuk daun untuk disimpan di buku catatan kecilnya.
"Yoohan juga ikut bersamamu?" tanya Seokjin di ujung panggilan.
"Tentu saja. Dia asistenku," jawab Taehyung.
"Berapa lama kalian ada di sana?" tanya Seokjin, "Perusahaan Redlie ingin bertemu denganmu untuk membicarakan kerja sama dan saham."
Taehyung menghela napas pelan. Selalu saja ada hal-hal yang mengganggunya, terutama tentang pekerjaan. Ingin sekali saja, Taehyung melepaskan semua pekerjaannya dan menjalankan semuanya dengan sesuka hatinya. Tanggung jawab. Kata-kata itu selalu terngiang karena Seokjin selalu mengingatkannya jika Taehyung mulai malas bekerja.
"Aku tidak akan pulang sampai aku menemukan gadis yang aku sukai, Hyeong," ujar Taehyung.
Kali ini Seokjin menghela napasnya. "Kau pasti ada maunya memanggilku seperti itu. Biasanya—"
"Aku serius," potong Taehyung. "Mungkin aku tidak akan kembali ke Korea sampai aku mendapatkan apa yang kumau."
"Kau ingin mati di tangan ayahmu?" tanya Seokjin, "bukan hanya kau yang kena. Tapi aku juga!"
"Ikutlah dengan kami. Lupakan soal pekerjaan itu. Biarkan pria tua itu kesulitan sendiri mengurusnya."
"Dasar anak durhaka," komentar Seokjin. Ia tidak terlalu terkejut dengan sikap Taehyung. Tuan mudanya satu itu memang tidak terlalu akur dengan sang ayah belakangan ini karena perjodohan itu. "Tapi tawaranmu tadi cukup menarik."
"Kau bisa temui kami nanti dua hari lagi. Salzburg. Kami akan ke sana setelahnya,"
"Kenapa? Tak menemukan apa yang kau mau di Jepang?"
Taehyung mengangguk, meskipun ia tahu lawan bicaranya tak akan tahu akan hal itu. "Sepertinya begitu."
"Cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, Taehyung. Percuma mencari hal itu sampai ke ujung dunia sekalipun. Karena sejatinya cinta itu ada ketika kau sudah terbiasa dengan sosoknya di dekatmu."
Taehyung menghela napas lagi, jengah karena Seokjin selalu meremehkan perasaannya, seperti sekarang ini. Biasanya Taehyung akan langsung membantah, lalu mulai berdebat tentang kesaksiannya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama itu adalah kenyataan, tapi kali ini atensi Taehyung teralihkan oleh Yoohan yang sedang menatapnya dan berjalan ke arahnya.
"Aku matikan dulu. Ada urusan,"
"Yak, Tae—"
Taehyung yakin nanti malam Seokjin akan menelponnya lagi sambil mengoceh-oceh soal sikapnya yang suka memutus panggilan secara mendadak. Tapi Taehyung tidak terlalu peduli soal itu. Entah kenapa tiba-tiba pria itu memasang wajah cuek saat Yoohan sudah tepat berada di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yoohan.
Taehyung menatap sungai yang mengalir sekilas lalu kembali menatap Yoohan. "Sedang melihat pemandangan saja."
"Kau lihat aku tadi di sana?" tanya Yoohan dengan mata membesar sambil menunjuk kursi panjang di pinggir sungai yang tadi ia dudukki.
"Ya, sekilas."
"Kenapa tidak memanggilku?"
Taehyung menoleh cepat ke arah Yoohan. Seketika ia merinding karena tiba-tiba ia jadi teringat Seokjin. "Kau benar-benar jadi mirip Seokjin saat pertama kali bekerja denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow in Hallstatt ✔️
Romance[SPIN-OFF OF "SILENCE LOVE"] Dia pria aneh yang misterius. Terkadang ia banyak bicara, terkadang ia diam seribu bahasa. Ia kelam bagaikan malam. Ia dingin bagaikan salju. Tidak bisa dengan mudah kuterka dirinya. Sosok pria yang bisa tersenyum lalu...