Cassadey's POV
Vanisa hari ini nggak masuk sekolah, which is unusual. Biasanya dia yang paling rajin masuk. Tapi, kalo misalnya dia sampe nggak masuk gini, mungkin dia sakit atau.. bisa jadi dia lagi emang 'nggak pengen masuk'. Yes, I know too much about her. So, I'm gonna find out.
"Can I sit here?" butuh waktu lama untuk mencerna kalimat tersebut. Gue menoleh ke arah sumber suara yang ternyata adalah Andrew.
Gue menaikkan kedua alis mata gue. "What? What's wrong with Karlie?" tanya gue datar. Karlie adalah teman sebangkunya dan kalau Andrew pindah berarti ada sesuatu dengan Karlie.
"Nothing's wrong with her." katanya.
"So?" gue tanya lagi. "Oh, you want to sit here next to Vanisa and you want me to sit next to Karlie?"
"No." Andrew menghela napas keras. "I want to sit here, in Vanisa's desk, right next to you."
"How about Vanisa? You let her sit next to Karlie, then. Vanisa is my best friend. What if our communication lessen because of this? What if her best friend become Karlie? What about me?"
"You're exaggerating." katanya sambil mengangkat sebelah alis matanya. "Nevermind. I'll just sit next to Karlie." dia mengibaskan tangannya dan beranjak ke tempat duduknya.
"Joking." gue memegang tangannya. "You may sit there." gue mengedikkan dagu ke meja Vanisa.
Andrew tersenyum lebar dan duduk di tempatnya Vanisa.
"Do you know why Vanisa isn't coming?" gue bertanya ke Andrew.
Andrew mengangkat bahunya. "How should I know?"
Iya, sih. Ngapain juga gue tanya ke Andrew. Gue aja nggak tau dia masuk apa nggak hari ini. Ah, fix, mau ke rumah dia abis ini.
***
Bel tanda pelajaran telah selesai, berdering. Gue langsung membereskan buku dan beranjak dari tempat duduk gue. Tiba-tiba ada tangan yang merangkul gue.
"Let's go somewhere." itu Andrew.
"Can't. Gotta go to Vanisa's. Check her out."
"Then, I'm in." katanya.
"You sure?" tanya gue nggak yakin.
"Yeah, why?"
"I thought you want to go to some place." iya kan? Dia barusan bilang gitu, kalo dia pengen jalan-jalan ke mana, gitu?
"Yeah, I mean with you, of course."
Ah. Gue baru ngerti. Tapi gue benar-benar nggak bisa. Gue mau ke rumah Vanisa. Mau ngecek keadaannya dia gimana sekarang. "Oh. Sorry, Andrew."
"No, don't. By the way, I got to take you to Vanisa's, right? So, it's fine." katanya.
Gue mengangguk. "Okay." hanya itu kata yang keluar dari mulut gue. Di satu sisi gue seneng karena Andrew ngerti--banget--sama keadaan gue--atau sebenarnya sih, Vanisa--sampe dia rela ngalah. What a gentlema, right?
Kita keluar dari gedung sekolah masih dengan tangannya yang terangkul di pundak gue. Dia mulai nge-jokes sesuatu yang cukup bikin gue ketawa. I mean, mungkin itu adalah caranya buat menenangkan gue.
Kita menuruni tangga yang berada di depan sekolah sampai gue mengangkat muka gue dan melihat sebuah sosok yang sangat gue kenal.
Dia nggak ngeliat ke arah gue. Dia cuma lagi melihat-lihat sekitar. Nggak. Mungkin itu cuma perasaan gue aja. Mungkin banyak orang yang mirip sama dia. Gue terus berjalan tanpa memedulikan orang itu tapi rasanya mata gue nggak bisa fokus ke jalan dan akhirnya mata gue melirik orang itu lagi dan mata kita bertemu. Gue langsung berhenti seketika begitupun Andrew.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Honesty
Teen Fiction"I promise that we always be together." "Always be together? really?" are you going to keep that promise? are you going to keep your words? i know you don't but i don't know why it hurts why it still hurts? *** itulah sebuah kebenaran akan janji. se...